Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Pulang Kampung
Bab 16. Pulang Kampung
POV Lastri
Badan ku segar sekali rasanya hari ini. Kemarin tubuhku benar-benar di istirahatkan. Bahkan Mas Hendra pun tidak marah sama sekali. Sepertinya Mas Hendra sedang dalam mood baik. Apa sebaiknya pagi ini aku ngomong sama Mas Hendra untuk pulang ke kampung ya?
Oh, ya tadi malam Mas Hendra juga minta tanda tanganku. Sepertinya keputusan Mas Hendra sudah bulat, untuk menerima kenaikan jabatan meskipun dengan harus pindah dinas ke luar kota. Tapi dimana Mas Hendra akan tinggal?
Lebih baik aku tanyakan saja.
"Mas, jika Mas dinas nanti Mas tinggal dimana?" Tanyaku ketika aku merapikan tempat tidurku.
Mas Hendra langsung menoleh ke arah ku.
"Eng..., Oh... Mas akan tinggal di mes karyawan."
"Rame Mas?"
"Tidak, karena Mas jabatan naik jadi tinggal sendiri." Jawab Mas Hendra santai.
"Pasti Mas kerepotan, apa-apa di lakukan sendiri. Kapan-kapan, apa boleh aku dan Diah kesana Mas?"
"Untuk apa Lastri? Kamu di sini saja. Dua minggu sekali, Mas balik kok."
"Oh...."
Cukup lega rasanya, karena Mas Hendra bukan meninggalkan aku sampai berbulan-bulan. Aku pikir akan seperti orang-orang di luar sana. Bahkan tidak jarang aku mendengar mereka mengalami hal yang buruk ketika suami mereka berbulan-bulan tidak pulang, dan tahu-tahu sudah menikah lagi.
Aku bergidik membayangkan hal itu. Setidaknya waktu dua minggu tidaklah lama, dan kemungkinan untuk berselingkuh itu tidak memiliki peluang yang besar. Apalagi Mas Hendra pasti di sibukkan oleh pekerjaannya. Aku harus berpikir positif.
Lebih baik aku menanyakannya soal ibu yang meminta aku untuk pulang ke kampung.
"Mmm... Mas. Kemarin Ibu di kampung menelpon. Katanya, Bapak sakit keras. Berhubung sekolah Diah juga lagi libur menyambut puasa, jadi aku di minta pulang sama Ibu hari ini atau besok. Jadi... Apa boleh aku pulang Mas?"
Mas Hendra menoleh padaku. Awalnya raut wajah Mas Hendra tampak tidak senang sehingga membuat ku sedikit ragu dan takut. Kemudian Mas Hendra terlihat berpikir sejenak.
"Besok saja Mas antar kamu pulang, tapi tidak ke kampung. Kamu naik Bus yang menuju kampungmu. Sampai disana kamu tinggal naik ojek. Bisa kan?"
Aku cukup sedih mendengar Mas Hendra tidak mengantarkan ku sampai ke rumah Ibu dan Bapak di kampung. Tadinya aku berharap, Mas Hendra bisa sekalian menjenguk Bapak. Jadi, tidak lah Mas Hendra selalu di pandang buruk oleh tetangga-tetangga di kampung.
Tetapi, ya sudah lah. Di ijinkan pulang dan di antar sampai ke terminal Bus pun itu sudah lebih baik dari pada pergi sendiri apalagi tidak di ijinkan pulang. Setidaknya aku pulang ke kampung di setujui oleh Mas Hendra.
"Baiklah Mas."
"Siapkan sarapan untukku, sebentar lagi aku mau berangkat kerja. Oh ya, kalau sudah sehat, tolong bantu Ibu hari ini ya?"
"Iya Mas."
Aku tidak membantah perintah suamiku. Setidaknya itu yang di ajarkan Bapak padaku.
Tidak apa-apa Lastri, hari ini saja bantu ibu mertua. Besok kamu sudah tidak melakukannya lagi untuk beberapa hari kedepan. Anggap saja liburan. Begitu lah aku memotivasi diri sendiri untuk memulai aktivitas ku yang bakal melelahkan hari ini.
***
Keesokan harinya.
Aku sudah siap pulang ke kampung bersama Diah yang akan di antar Mas Hendra sampai terminal. Sebelum berangkat, aku berpamitan dulu kepada ibu mertua.
Wajah ibu mertua di tekuk. Sepertinya ia tidak suka aku akan berangkat pulang ke kampung. Namun biar begitu, tidak mengurangi etika ku padanya untuk menghormati orang yang lebih tua, apalagi seorang ibu mertua.
"Bu, aku pamit mau pulang kampung dulu." Kataku sambil mencium punggung tangannya meski ibu mertua menatapku tidak suka.
"Jangan lama-lama!"
Hanya kata itu yang di ucapkan ibu mertua, tanpa ingin berkirim salam buat orang tua ku di kampung apalagi menanyakan keadaan Bapak ku yang sedang sakit.
"Akan aku usahakan Bu..." Jawabku.
"Ayo Las segera berangkat! Aku tidak mau terlambat sampai ke tempat kerja." Ujar Mas Hendra.
"Bu, aku permisi. Assalamualaikum..."
Aku dan Diah pun menaik sepeda motor Mas Hendra, lalu Mas Hendra mulai menjalankan kendaraan itu.
Tidak ada percakapan selama perjalanan menuju terminal. Ketika tiba disana, terminal masih tidak terlalu ramai karena masih pagi.
Rasanya sedikit takut, apalagi ada Diah yang juga harus aku lindungi. Bukankah di terminal seperti ini banyak premannya?
Nyaliku menciut. Tapi bila mana memikirkan ibu dan bapak yang sudah menunggu kedatangan ku dan Diah, aku harus bisa menjadi wanita yang pemberani.
"Ini ongkos untuk pergi dan pulang nanti. Tidak perlu biaya makan bukan? Karena makan kalian pasti di tanggung di sana."
Aku tertegun sesaat. Memang Mas Hendra akan seperti ini. Tidak peduli pada hal yang tidak menguntungkan dirinya. Tapi tetap saja, aku merasa sedih Mas Hendra tidak ada prihatinnya sama sekali terhadap apa yang menimpa orang tuaku.
Aku menghela napas. Tidak seharusnya aku menaruh harapan yang tidak mungkin tersadar dalam hati nurani Mas Hendra.
"Aku berangkat dulu."
Mas Hendra berlalu tanpa sekedar mengucapkan kata 'hati-hati di jalan', apalagi membelai pucuk kepala anaknya yang beberapa hari kedepan tidak akan bisa melihat dirinya.
Diah menatap Ayahnya sampai jauh. Ia baru mau bergerak ketika Mas Hendra sudah tak terlihat lagi.
"Ayo nak..."
Aku menuntun Diah berjalan menuju bus yang akan mengantar kami sampai ke kampung. Membayar ongkosnya dan duduk dengan tenang di dalamnya.
Pedagang asongan mulai menjajakan barangnya. Melihat Diah yang sepertinya ingin, aku pun membeli beberapa untuk camilannya selama dalam perjalanan yang memakan waktu hampir 3 jam lamanya.
"Bu, Ayah tidak ikut?" Tanya nya polos.
Aku tersenyum. Mencoba mencari kata-kata yang pas agar anakku bisa mengerti dan tidak bersedih.
"Ayah sibuk, ada pekerjaannya yang tidak bisa di tinggal. Kalau tidak sibuk, Ayah pasti ikut kita seperti dulu-dulu." Kataku sambil membelai pucuk kepala Diah dengan lembut.
Diah mengangguk. Untung lah anakku itu tidak bertanya lagi. Diah pun membuka salah satu bungkusan camilan yang tadi aku beli dan mulai memakannya.
Setelah menunggu satu jam lamanya, bus pun berangkat walau penumpangnya tidak penuh. Bus mulai bergerak meninggalkan terminal dan perlahan melaju. Dalam hati aku berdoa, semoga saja kami selamat sampai tujuan.
Aku memejamkan mata bukan tidur, tapi merelaks kan pikiranku. Semoga saja Bapak di kampung tidak kenapa-kenapa, maksudnya bukan sakit yang benar-benar tidak ada obatnya. Berjauhan dengan orang tua seperti ini dalam keadaan seperti ini lah yang membuat aku takut. Takut bila aku tidak miliki kesempatan untuk melihat keluargaku jika itu untuk yang terakhir kalinya.
Aku menghela napas berat, mencoba membuang pikiran burukku tentang orang tuaku. Tetapi, bagaimana jika kelak Ibu atau Bapak bertanya mengenai kehidupan rumah tanggaku? Apa yang harus aku berikan jawabannya kepada mereka?
Seandainya saja, Mas Hendra itu sepertinya seperti para suami di luar sana yang selalu memperhatikan dan menyayangi keluarganya, sudah tentu rumah tangga ini pastinya menjadi salah satu bagian dari kehidupan orang-orang yang berbahagia di dalamnya.
Bersambung...