Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERBINCANGAN
“Ayah minta maaf, nak..”
Kalimat itu membuat Jingga menghela nafas panjang, selepas makan malam, Langit berpamitan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya di ruang kerja. Mungkin pria itu ingin memberikan waktu pada Jingga dan keluarganya untuk bicara.
Dan mereka berkumpul di ruang keluarga, di temani televisi berukuran besar yang menyala menonton mereka. Karena sedari di nyalakan, bukan mereka yang menonton tayangan yang tengah berputar di layar besar itu, tapi sebaliknya.
Aku tidak marah, ayah. Ayah tidak usah meminta maaf,” ucap Jingga. Lalu ia beralih menatap sang ibu yang juga tengah menatapnya, “Apa ibu juga tahu semuanya?” Tanyanya.
Yaya mengangguk pelan, “Maaf, nak..” cicitnya.
Jingga tersenyum, “Aku sudah menerima semuanya ibu. Jadi kalian tidak boleh merasa bersalah lagi.” Jingga menoleh pada Mega yang tampak diam saja, kakaknya itu tak ikut dalam perbincangan mereka. “Lagi pula, aku dan mas Langit sudah bahagia, kami saling mencintai. Bagiku, tidak penting tua atau muda, yang penting aku mencintainya dan dia juga mencintaiku. Rasanya tidak adil jika aku menghakimi suamiku karena keegoisanku, ayah. Karena dia mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan itu. Aku juga bukan seseorang yang sempurna, tapi dia menerimaku apa adanya. Kita berasal dari keluarga biasa saja, jauh berbeda dengannya. Tapi dia tidak pernah mempermasalahkan itu, dia menerima kita dengan baik. Jadi, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama? Aku juga bisa menerimanya apa adanya, mengenai masa lalunya, aku sudah mengetahuinya ayah, ibu. Dia menceritakan semuanya padaku bahkan sebelum kami saling mencintai.” Jelas Jingga, kalimat itu di akhirinya dengan senyuman, senyuman kelegaan juga kebahagiaan.
Begitu pula dengan ayah dan ibu, mereka tampak menghela nafas lega. Bersyukur karena putri mereka sudah hidup bahagia. “Syukurlah, percayalah nak, suamimu itu tidak akan mungkin bertindak tanpa alasan. Ayah sangat mengenalnya, dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab,” timpal ayah.
Kalimat yang membuat Jingga penasaran, apa sang ayah memang sangat mengenal Langit? Sejak kapan mereka saling mengenal, Jingga sangat ingin mendengar cerita ayah dan suaminya, tapi suara Mega membuatnya urung bicara.
“Kapan kita pulang, ayah?”
Pertanyaan itu membuat semua orang menoleh, menatap Mega yang juga tengah menatap mereka, “Aku sudah mengantuk,” ucap Mega lagi.
“Iya, nak.” Sahut ayah, “Kita pulang sekarang, sudah malam ternyata,” ucapnya lagi. Ia menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, waktu sudah menunjukan pukul Sembilan malam, memang sudah waktunya mereka pulang. Mereka juga tak ingin mengganggu Jingga dan Langit.
“Aku panggilkan mas Langit dulu ayah, bu..” ucap Jingga, ia hendak beranjak, tapi ayah menahannya.
“Tidak usah nak, dia pasti masih bekerja. Ayah dan ibu tidak mau mengganggunya, sampaikan saja salam kami untuknya,” ucap ayah.
Jingga terdiam sejenak, kemudian mengangguk. Yang di katakan ayah ada benarnya juga, ia juga tak berani mengganggu Langit di ruang kerjanya, karena ada Alex juga disana, sudah pasti pekerjaan yang tengah mereka kerjakan sangat penting.
“Kalian sudah mau pulang?”
Pertanyaan itu membuat semua orang menoleh, Langit menghampiri mereka, dan Alex berjalan di belakangnya.
Ayah tersenyum, begitu pula dengan ibu, “Iya nak, sudah malam. Kami pamit pulang,” ucap ayah.
Langit mengangguk, merangkul bahu Jingga lalu mengecup puncak kepala perempuan itu. Membuat Jingga tersenyum malu dan memukul dada suaminya dengan pelan, Jingga malu karena semua orang tersenyum menatap mereka.
“Alex, antarkan ayah dan ibu pulang. Ini sudah malam, tidak ada kendaraan umum yang lewat disini,” perintah Langit. Karena dari jam 8 malam, di kompleks perumahan elit itu di jaga lebih ketat. Kendaraan umum tak boleh masuk kesana, meski taksi sekali pun.
Alex mengangguk, “Baik Tuan, saya permisi. Mari Nyonya,” pamit Alex.
Jingga dan Langit kompak mengangguk, mereka mengantar sampai pintu depan.
Ayah dan ibu pun tak menolak, karena memang tak ada kendaraan umum disana, jika harus berjalan ke gerbang kompleks, lumayan membuat kaki pegal karena jauh.
***
Perjalanan menuju ke rumah Hardi menempuh waktu kurang lebih dua puluh menit. Sangat membosankan untuk Mega, karena sedari di rumah Langit pun ia sudah bosan dan ingin cepat pulang mengingat ia tak pernah ikut dalam perbincangan apapun disana.
Di dalam mobil hanya Hardi dan Alex yang berbincang-bincang, sesekali ibu pun ikut menimpali. Untuk mengusir sepi selama perjalanan, apapun mereka bahas.
Mega memang tak tertarik sedikitpun untuk ikut nimbrung ke dalam perbincangan ayah dan Alex, ia hanya menatap keluar kaca jendela mobil. Melihat suasana malam dengan segala aktivitas di ibukota yang seolah tak pernah ada habisnya.
"Tuan tidak usah cemas, Tuan Langit dan nyonya Jingga sudah bahagia. Kita hanya tinggal menunggu Langit junior hadir di tengah-tengah mereka," ucap Alex menjawab kalimat Hardi sebelumnya. Hardi mengutarakan kecemasannya pada hubungan Langit dan Jingga yang sempat nyaris kacau.
"Kamu benar nak, sepertinya mereka memang sudah sangat bahagia. Semoga saja aku segera bisa menimang cucu," ungkap Hardi.
Dua puluh menit berlalu, mobil yang Alex kendarai pun sudah terparkir sempurna di halaman rumah sederhana milik Hardi.
"Masuklah dulu, nak. Ngopi dulu," ajak Hardi.
"Iya nak Alex, mati mampir dulu," timpal ibu.
Sedangkan Mega, gadis itu masuk lebih dulu ke dalam rumah.
"Tapi tuan, ini sudah malam.." tolak Alex.
"Tak apa, ayolah. Kita minum kopi sama-sama, kamu belum pernah merasakan kopi buatan ibunya Jingga kan? Rasanya tidak kalah dengan kopi yang di buat di cafe-cafe yang sering kamu datangi," seloroh ayah.
"Ayah berlebihan," ucap Ibu seraya tersenyum. "Mari nak, ibu buatkan kopi dan pisang goreng."
Alex diam sejenak, mungkin menimang apa harus menerima ajakan mereka atau menolak. Tapi untuk menolak pun tak enak, akhirnya Alex mengangguk mengiyakan.
Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Ternyata hujan turun, membuat Alex menyesal tak langsung pulang saja. Ia takut mengganggu Hardi dan keluarganya.
"Hujannya sangat deras, memang enaknya minum kopi dan makan pisang goreng kan nak?" ucap Hardi yang baru saja kembali menghampiri Alex di ruang tamu. Sesaat yang lalu Hardi memang pamit ke kamarnya sebentar, lalu kembali menghampiri Alex yang menunggu di ruang tamu.
Alex tersenyum seraya mengangguk, "Benar tuan, tapi apa saya tidak mengganggu? Mungkin tuan ingin beristirahat," ucap Alex.
"Sama sekali tidak, justru ayah senang karena ada teman bicara. Disini hanya ada dua perempuan, tidak ada laki-laki yang bisa ayah ajak bicara. Bicara dengan mereka tidak nyambung seperti bicara denganmu," ucap ayah lagi. "Dan satu lagi, jangan memanggilku tuan. Panggil saja ayah, seperti nak Langit."
"Tapi tuan.."
"Wes, tidak ada tapi tapi.." tolak ayah seraya mengibaskan sebelah tangannya. ia tak mau di bantah.
"Baiklah, ayah.." ucap Alex seraya tertawa. Ia tak bisa menolak.