Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Pertemuan yang Membingungkan
Hari itu, suasana sekolah terasa berbeda bagi Alastar. Bukan karena pelajaran yang sulit atau tugas-tugas yang menumpuk, melainkan pikirannya masih terganggu oleh kenyataan bahwa Frasha sudah memiliki pacar. Sejak pagi hingga jam pelajaran usai, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban.
Ketika bel berbunyi tanda jam pelajaran terakhir selesai, Alastar tidak langsung keluar seperti biasanya. Ia tetap duduk di bangkunya, memandang kosong keluar jendela. Teman-temannya sudah pergi lebih dulu, meninggalkannya sendirian di kelas.
Lamunannya terhenti ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh, dan di sana, Frasha berdiri dengan raut wajah yang sulit ditebak.
"Star," panggil Frasha pelan, membuat Alastar sedikit terkejut. Ia tidak menyangka gadis itu akan mendatanginya.
"Kenapa?" balas Alastar dengan nada datar, meskipun dalam hatinya ia merasa gugup.
Frasha berjalan mendekat, berdiri tepat di depan meja Alastar. "Lo kenapa belakangan ini? Tumben nggak gangguin gue lagi," tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Alastar terdiam. Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa ia sedang mencoba menjaga jarak karena tahu Frasha sudah memiliki pacar? Akhirnya, ia memilih menghindari topik itu.
"Nggak ada apa-apa," jawabnya singkat, sambil mengalihkan pandangan.
Frasha mengerutkan kening. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda dari Alastar, tapi ia tidak tahu apa itu. "Kalau nggak ada apa-apa, kenapa lo jadi diem gitu? Biasanya lo bawel banget," ujarnya, mencoba memancing jawaban.
Alastar menghela napas, lalu menatap Frasha dengan mata yang dalam. "Gue cuma lagi sibuk, itu aja," katanya, meskipun ia tahu jawaban itu tidak sepenuhnya benar.
Frasha masih tidak puas dengan jawaban itu, tapi memutuskan untuk tidak memaksa. "Kalau lo bilang begitu, ya udah," katanya akhirnya. Ia berbalik untuk pergi, tapi sebelum ia melangkah terlalu jauh, Alastar memanggilnya.
"Frasha," panggilnya, membuat gadis itu berhenti dan menoleh.
"Apa?" tanya Frasha, dengan nada datar.
Alastar ragu sejenak, lalu berkata, "Lo bahagia sama dia?" Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa ia sadari.
Frasha bingung dengan pertanyaan tersebut. Ia menatap Alastar dengan dahi mengernyit. "Dia siapa maksud lo?" tanyanya, masih bingung dengan arah pembicaraan ini.
"Cowok lo," balas Alastar singkat, suaranya terdengar serius.
Frasha langsung mengerti arah pembicaraan Alastar. Ia menarik napas pelan, mencoba menjaga ketenangannya. "Itu privasi gue," jawabnya akhirnya, sambil mengalihkan pandangan.
Alastar tidak membalas. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mengalihkan tatapannya ke jendela.
"Kalau nggak ada lagi yang mau lo tanyain, gue pergi dulu," ujar Frasha, sebelum berbalik meninggalkan kelas.
Alastar memandang punggung Frasha yang semakin menjauh, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Di luar kelas, Frasha bertemu dengan Ilva yang sudah menunggunya di depan pintu. "Kenapa lama banget?" tanya Ilva, sambil melipat tangan di dadanya.
"Barusan gue ngobrol sama Alastar," jawab Frasha singkat.
Ilva mengangkat alisnya. "Ngobrol? Sama si tengil itu? Tumben."
Frasha hanya mengangkat bahu. "Nggak tahu kenapa. Gue cuma penasaran aja kenapa dia belakangan ini jadi beda."
Ilva tertawa kecil. "Mungkin dia lagi jatuh cinta," katanya sambil mengedipkan mata.
Frasha menggeleng pelan, meskipun dalam hatinya ia juga bertanya-tanya apakah Ilva benar. Tapi ia memilih untuk tidak memikirkan itu lebih jauh.
****
Sementara itu, Alastar keluar dari kelas dan berjalan menuju parkiran. Ia tidak berniat langsung pulang. Ada sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang membuatnya merasa gelisah. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke tempat favoritnya di pinggir kota, sebuah bukit kecil yang memberikan pemandangan indah ke arah kota.
Sesampainya di sana, Alastar duduk di atas motor sportnya sambil menatap matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Angin sore yang sejuk membelai wajahnya, sedikit membantu menenangkan pikirannya yang kusut.
"Gue harus gimana, sih?" gumamnya pada diri sendiri. Ia tahu bahwa ia tidak seharusnya memiliki perasaan ini terhadap Frasha, tapi ia juga tidak bisa mengendalikannya. Setiap kali ia mencoba untuk melupakan gadis itu, rasa itu justru semakin kuat.
Saat ia tenggelam dalam pikirannya, suara sebuah mobil terdengar mendekat. Alastar menoleh, dan ia terkejut melihat Kayana datang dengan mobilnya. Gadis itu turun dan berjalan mendekatinya dengan senyum di wajahnya.
Kayana melangkah dengan tenang ke arah Alastar yang duduk di atas rumput, pemandangan hijau di sekeliling mereka terlihat semakin memesona di bawah sinar matahari sore. Alastar, yang menyadari kehadiran Kayana, mendongak menatapnya.
"Lo ngapain di sini sendirian?" tanya Kayana, sambil duduk di samping Alastar.
Alastar hanya mengangkat bahu. "Cuma lagi pengen sendiri," jawabnya singkat.
Kayana memandangnya dengan tatapan penuh perhatian. "Gue tahu lo lagi ada masalah. Kalau lo mau cerita, gue siap dengerin," katanya, mencoba menawarkan bantuan.
Alastar terdiam. Ia tahu Kayana tulus, tapi ia tidak yakin apakah ia bisa menceritakan apa yang sebenarnya ia rasakan.
"Gue cuma... lagi bingung aja," akhirnya ia berkata. "Ada banyak hal yang gue nggak ngerti."
Kayana tersenyum lembut. "Kadang-kadang, nggak semua hal perlu lo ngerti. Kadang lo cuma perlu nerima," ujarnya, dengan nada bijak.
Alastar menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Mungkin lo bener," katanya pelan.
Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan sore itu. Meskipun Alastar tidak sepenuhnya tenang, kehadiran Kayana sedikit membantunya merasa lebih baik.
"Lo suka banget ke sini, ya?" tanya Alastar, mencoba mencairkan suasana.
Kayana tersenyum kecil. "Iya. Tempat ini... selalu bikin gue tenang."
Alastar mengangguk pelan. Ia memandang ke depan, ke arah pemandangan hijau yang terbentang luas, sebelum akhirnya ia membuka pembicaraan yang lebih serius. "Kay, lo benar-benar suka sama gue?"
Pertanyaan itu membuat pandangan Kayana menoleh ke arahnya. Ia menunduk, ragu sejenak sebelum mengangguk pelan. "Iya, Star. Gue suka sama lo."
Suasana mendadak kembali hening. Hanya ada suara angin yang berhembus pelan, membawa aroma rumput yang segar. Kayana beranjak hendak pergi, mungkin merasa suasana terlalu canggung. Namun, tiba-tiba tangan Alastar menahannya.
"Kayana, tunggu." Alastar mendongak menatap Kayana, yang kini berdiri menunduk, menatapnya dengan tatapan bingung. Kayana meringis kecil dan dengan cepat menjauhkan tangannya dari pegangan Alastar.
Melihat itu, Alastar segera berdiri, ekspresinya berubah panik. "Lo kenapa?" tanyanya khawatir.
Kayana gugup, mencoba tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Star."
Namun, mata Alastar yang tajam menangkap sesuatu yang aneh. Ia menyadari ada perban melilit tangan Kayana. "Bentar... Tangan lo pake perban?" tanyanya, memastikan.
Kayana menggeleng cepat. "Nggak, ini cuma luka kecil, Star," katanya gugup, berusaha menyembunyikan tangannya.
Tapi Alastar dengan sigap meraih tangan Kayana dan menggulung jaket rajut yang gadis itu pakai. Tatapannya langsung berubah bingung melihat luka yang tampak di balik perban tersebut.
"Tangan lo kenapa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.
Kayana tetap tidak menjawab. Ia hanya menatap Alastar dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah menyimpan sesuatu yang berat.
"Kay, gue nanya. Tangan lo kenapa?"
Akhirnya Kayana menarik tangannya dengan cepat. Ia menunduk, mencoba menutupi wajahnya yang mulai terlihat emosional. "Cuma luka kecil. Ini nggak sengaja kena pecahan kaca kemarin," jelasnya dengan nada terburu-buru.
Alastar masih menatapnya penuh selidik. "Kenapa lo nggak bilang sama gue?"
Kayana terdiam. Ia tahu Alastar tidak akan berhenti bertanya sampai ia mendapatkan jawaban. Namun, Kayana memilih untuk tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perhatian. "Nggak penting, Star. Gue baik-baik aja. Lagipula, lo juga udah nggak peduli lagi kan sama gue, semenjak perhatian lo cuma berpusat sepenuhnya pada Frasha."
Alastar menghela napas panjang, tapi ia memilih untuk tidak menekan lebih jauh. Ia tahu bahwa Kayana adalah tipe orang yang sulit membuka diri, terutama tentang hal-hal yang menyakitkan.
Mereka berdua akhirnya duduk bersama di atas rumput, tanpa banyak bicara. Suasana kembali hening, hanya diiringi oleh suara alam di sekitarnya. Meskipun tidak ada kata-kata, kehadiran satu sama lain terasa cukup.
Alastar memandang Kayana yang terlihat menikmati angin sore. Dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu, tapi ia tidak ingin memaksanya untuk berbicara. Bagi Alastar, yang penting adalah memastikan Kayana tahu bahwa ia tidak sendirian.
"Kalau lo butuh tempat buat cerita, gue ada, Kay," ujar Alastar pelan, memecah keheningan.
Kayana menoleh, tersenyum kecil, dan mengangguk. "Gue tahu, Star. Makasih."
Saat itu, di atas bukit yang tenang, tanpa mereka sadari, hubungan mereka sedikit demi sedikit mulai berubah. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan, meskipun tidak ada yang berani mengatakannya dengan lantang.