Gadis muda, bernama[Resa anggraini], yang haus kasih sayang dan perhatian,pertemuan dia dengan seseorang yang bernama [Hari ramadhan],berusia 32 tahun mempersatukan dua insan itu dalam sebuah ikatan di usianya yang masih 18 tahun.Konflik muncul ketika [Resa] berusaha menemukan kebahagiaan dan kasih sayang dalam pernikahan tersebut,berawal dari perkataan frontal gadis itu membawanya pada takdir yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
babb 31 Titik terendah
Setelah drama kejar-kejaran antara mobil angkot dan motor sport, gadis cantik dengan mata sembab itu tak turun juga. Meskipun hari sudah mohon-mohon,resa masih tetap diam dan akhirnya dia berhenti mengejar. Mungkin gadis remaja itu lagi butuh waktu sendiri juga. Dan hari hanya mengikuti dari arah jauh, memastikan bahwa calon istrinya sampai rumah dengan selamat.
Gadis itu berjalan dengan cepat setelah turun dari angkot dan sampai di rumah tanpa mengucapkan salam, dia lari gitu aja. Masuk ke dalam kamar, nangis sendirian. Hingga Komala merasa heran dengan kepulangan Resa yang masih awal. Itu pula dengan matanya sembab. Namun Komala tak menghampiri anak sambungnya itu, dia hanya akan menunggu, menunggu sampai anak itu sendiri yang cerita, setelah perasaannya lebih tenang.
Dan itu sudah biasa ia lakukan. Namun baru beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Komala bangkit dari tempat duduknya dan melihat siapa gerangan yang datang bertamu? Dan ternyata si calon mantu yang datang.
"Assalamualaikum, Bu. Bisa bicara dengan Resa?"
"Waalaikumsalam. Duduk dulu, Hari. Saya panggilkan dulu Resa nya," ucap Komala sambil berlalu menuju kamar anaknya.
"Res, Resa. Itu ada Hari di depan. Temuin dulu sana," panggil Komala, namun tak ada sautan dari dalam. Kemudian Komala membuka pintu kamar perlahan, namun tak terlihat keberadaan anak itu. Lalu ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut dan orang yang dicari sedang menunduk di pojokan kamar dengan merangkul kedua kakinya, terlihat bahunya yang naik turun.
Lalu Komala menghampiri Resa yang masih terisak dan bertanya,
"Resa, kamu kenapa tiba-tiba pulang dan menangis seperti ini?" tanya Komala dengan khawatir. "Itu si Hari sampai mengejar mu segala, samperin sana. Dia sudah menunggu di ruang tamu."
Resa mendongak dan menatap pada ibu sambungnya dengan raut muka sendu. Kemudian, dia menggeleng pelan, pertanda dia belum siap untuk menemui laki-laki itu.
Komala pun keluar kamar tanpa berkata apa-apa lagi dan menyampaikannya pada Hari. "Sepertinya Resa belum siap untuk bicara. Biasanya, nanti setelah emosinya reda, baru dia akan cerita."
Hari terlihat salah tingkah. Ia berusaha menetralkan perasaannya. "Begitu, ya, Bu. Saya juga tidak tahu Resa kenapa. Tadi Bu Kayla memberi tahu saya kalau Resa tiba-tiba pulang. Karena khawatir, jadi saya menyusulnya ke sini."
Komala menatap Hari dengan muka datar. "Kamu mau menunggu Resa? Apa mau kembali ke tempat kerja dulu? Sepertinya, ini masih masuk jam kerja."
Hari mengusap tengkuknya, merasa sungkan. Kemudian, dia melihat arah jarum jam yang melingkar di tangannya. "Harusnya sih tidak apa-apa, saya belum tenang kalau belum mendengar penjelasan dari Resa."
Komala menyarankan, "Ya sudah, kalau mau menunggu. Tapi, saran saya, mendingan balik kerja aja. Soalnya, Resa tidak akan mau di temuin sebelum emosinya stabil. Mungkin besok baru dibicarakan lagi."
Hari merasa bahwa Komala tidak ingin dia menunggu Resa. Dia merasa bahwa dia harus memilih antara menunggu Resa atau kembali ke tempat kerja.
Setelah menunggu selama satu jam, namun gadis cantik dengan raut wajah sedih itu tak kunjung keluar dari kamarnya. Padahal, pria itu sudah mengirimkan beberapa pesan dan telpon tak dijawab juga. Akhirnya, dia berpamitan pulang.
Resa mengintip dari balik jendela saat Hari keluar dari rumahnya, kemudian mengambil hp yang tergeletak di atas meja dan membuka pesan yang sedari tadi berdering.
(Aini, kamu kenapa?)
(Apa ada yang jahat sama kamu di tempat kerja?)
(Iya, yah? Kalau enggak, gak mungkin kamu nekat pulang kaya gini)
(Ai, buka dulu pesannya. Jangan bikin aku khawatir dong, Ai)
(Sayang, keluar dulu dong. Kamu gak kasian sama aa. Udah nungguin kamu dari tadi loh)
(Ya udah, kalau kamu belum siap cerita. Aa pamit pulang, Ai. Kalau udah baikan dan udah siap cerita, telpon aa, yah. Aa tunggu)
Resa menghembuskan nafas dengan kasar, kemudian meletakkan ponselnya kembali. Pikiran sedang semrawut saat ini. Mana mungkin dia bisa bicara dengan tenang pada pria itu, sedangkan emosinya lagi kacau.
"Aku terlalu perasa dan pemikir. Namun aku kesulitan untuk bicara. Apa yang aku rasakan dan apa yang aku pikirkan. Aku tidak tahu, harus menjelaskannya seperti apa. Tapi, rasanya sakit sekali. Dan aku sudah terbiasa memendamnya sendirian. Terkadang, di saat titik terendah itu tiba. Aku butuh pelukan seorang ibu dan semangat seorang ayah. Namun, aku tak mendapatkan keduanya," batin Resa yang sedang memeluk dirinya sendiri dengan linangan air mata di pipinya.
Setelah ashar tiba, Hari menghubungi Resa kembali, namun telponnya masih tak diangkat juga. Kemudian, ia mengirimkan pesan pada kekasihnya itu agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
(Ai, kenapa gak diangkat telponnya? Aa udah tahu penyebabnya. Dan kamu gak usah khawatir masalah itu. Aa udah bicara sama Bi Ika, agar dia gak mengusik kamu lagi)
Lagi-lagi Resa hanya membaca pesan dari Hari tanpa membalasnya. Dia masih termenung, menatap langit-langit di ruang tamu, tanpa disadarinya ada seseorang yang dari tadi selalu memperhatikan gerak-geriknya.
"Resa, masalah kamu gak akan hilang kalau cuman ditangisi aja. Emangnya kamu kenapa? Tunangan kamu ditanya juga bilangnya gak tahu," ucap Komala mengagetkan lamunannya, kemudian Resa menoleh dengan senyum yang dipaksakan.
Resa ragu untuk cerita.
"Gak papa, Ko. Cuman ada salah paham aja sama rekan kerja," elak Resa beralasan.
"Helehh... Gitu aja lebay. Pake acara pulang nangis-nangis, kamu caper ya?" sela Wati yang mencuri dengar percakapan Resa dengan ibunya.
Alih-alih menjawab, Resa malah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Wati dan ibunya yang masih menatap intens padanya.
"Lebih baik aku ke rumah Teh Rima aja. Males di recokin Wati, yang ada dia makin kepo kalau di ladenin," gumam Resa sambil melangkahkan kaki menuju arah rumah kakaknya.
"Teh, Teh Resa, mau kemana?" tanya Tina saat berpapasan di jalan.
"Ke rumah Teh Rima," jawab Resa kemudian melanjutkan langkahnya menuju tempat yang dituju.
"Eh, tunggu tunggu... Kenapa tuh muka kusut bener? Kaya baju yang belum di setrika aja," cegah Tina.
Namun Resa tak menghiraukan ucapan adiknya.
"Ck, kenapa sih Teh Resa? Tumben irit bicara..." pikir Tina merasa heran dengan kakaknya.
"Haduh, lupa... dia emang irit bicara ya," ucap Tina sambil menepuk jidatnya kemudian terkekeh, mentertawakan kebodohannya.
"Yang tadi nangis-nangis, yang satu lagi malah cekikikan," usil Wati saat Tina melewati dirinya yang sudah berada di halaman rumah.
"Apa si ember bocor, nyaut aja," ejek Tina merasa jengah dengan keusilan saudaranya, sedangkan Wati hanya mendelik sebal. seseorang untuk mengeluarkan uneg-unegnya.