Pernikahan Tanpa Cinta

Naya menatap sebuah rumah satu lantai yang terlihat mewah di depannya. Sepertinya ada yang aneh. Naya pernah dua kali datang ke rumah Damar dulu, tapi seingatnya dulu rumahnya lebih besar dan berlantai dua.

Pintu mobil terbuka membuyarkan pikiran Naya, Damar kemudian mengangkat tubuh Naya dan meletakkan di kursi roda.

"Mulai hari ini kita akan tinggal di sini." kata Damar sambil mendorong kursi roda Naya masuk ke dalam rumah.

Damar sengaja membeli sebuah rumah yang berlantai satu karena mengingat Naya kondisi Naya yang menggunakan kursi roda.

"Hanya berdua. Aku tau kau tidak nyaman jika tinggal di rumah keluarga ku." lanjut Damar lagi yang seolah mengerti perasaan Naya.

Naya menghela napas lega. Ternyata Damar masih memikirkan perasaannya.

"Terima kasih, pak."

Damar kemudian membawa Naya ke dalam kamar. Sebuah kamar yang cukup luas namun tidak begitu banyak perabotan. Hanya ada tempat tidur berukuran besar, satu set sofa, lemari pakaian dan meja rias.

Damar kemudian mengangkat tubuh Naya ke tempat tidur. Setelah itu ia membuka tirai jendela kaca dan langsung menampakkan pemandangan taman bunga yang sangat indah.

Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Naya.

"Masuk." kata Damar dengar suara yang lebih keras agar orang di luar bisa mendengarnya.

Tiga orang perempuan dan satu orang laki-laki masuk ke dalam kamar. Seorang laki-laki dan perempuan yang berumur lebih kurang empat puluhan yang tadi membantu membawa barang dari mobil. Sedangkan dua orang perempuan lainnya masih muda dan memakai seragam perawat.

Damar berdiri di samping Naya, kemudian mengenalkan mereka satu persatu.

"Ini pak Maman dan istrinya Bi Tatik. Mereka yang akan mengurus semua pekerjaan di rumah ini." kata Damar menunjuk pasangan suami istri yang berumur empat puluhan.

"Dan mereka adalah perawat khusus yang akan merawat dan mengurus mu." kata Damar menunjuk dua orang perempuan yang memakai seragam perawat.

"Jika kau merasa tidak nyaman dengan mereka atau tidak suka, beritahu aku. Aku akan menggantinya." lanjut Damar.

Naya tidak menyangka Damar telah menyiapkan semuanya sampai sedetail ini. Jika saja dia tidak mengenal Damar sejak dulu, Naya pasti akan jatuh cinta dengan segala perlakuan Damar padanya. Tapi mereka menikah hanya karena Damar ingin bertangung jawab dan menjalankan amanah dari ayahnya.

Selesai perkenalan, mereka semua keluar dari kamar. Tapi, bi Tatik sempat memberitahu jika makan siang sudah siap.

"Mau makan sekarang atau istirahat dulu ?" tanya Damar.

Sekarang memang sudah waktunya makan siang, tapi mereka baru saja tiba di rumah dan Naya juga baru ia pindahkan ke tempat tidur.

"atau mau makan di sini saja ?" sambung pria itu.

Astaga, mengapa pak Damar jadi selalu bertanya terus. Tidak mungkin aku yang harus membuat keputusan. Tapi, untuk menolak pun aku takut. Batin Naya.

Mana mungkin dia yang memutuskan dan Damar akan mengikuti keputusannya. Memangnya dia siapa. Jiwa seorang kuli begitu kental dalam diri Naya.

"Em, bapak makan saja dulu. Aku masih ingin istirahat." putus Naya karena bagai manapun dia harus menjawab pertanyaan Damar.

Tapi lima belas menit kemudian Damar dan Naya sudah duduk di meja makan. Memang sebelumnya Naya meminta Damar untuk makan duluan tapi setelah berganti pakaian, Pria itu malah membuka laptopnya dan mengatakan jika dia akan makan jika Naya juga mau makan.

Lagi-lagi sikap Damar membuat Naya meleleh.