Fakultas peternakan x Fakultas Hukum
Nyambung nggak jelas ngak Nyambung bangetkan, bau sapi sama tumpukan undang-undang, jelas tidak memiliki kesamaan sama sekali. Tapi bagaimana jika terjalin asmara di dalam perbedaan besar itu, seperti Calista Almaira dan Evan Galenio.
Si pawang sapi dan Arjuna hukum yang menjalin hubungan dengan dasar rasa tanggung jawab karena Evan adalah pelaku tabrak lari kucing kesayangan Calista.
Kamu sudah melakukan tindak kejahatan dan masih bertanya kenapa?" Calista sedikit memiringkan kepala menatap Evan dengan tidak percaya, laki-laki yang memakai kaos putih itu pun semakin bingung.
"Nggak usah ngomong macen-macem cuma buat narik perhatian gue, basi tau nggak!" Hardik Evan emosi.
"Buat apa narik perhatian pembunuhan kayak kamu!"
Beneran kamu bakal ngelakuin apapun?" Tanya Calista yang gamang dan ragu dengan ucapan Evan.
Evan mengangguk pasti.
"Hidupin joni lagi bisa?"
"Jangan gila Lu, gue bukan Tuhan!" sarkas Evan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Najis
Setelah memastikan kondisi Calista stabil dan dokter mengizinkannya pulang, Evan segera mengantar Calista ke mobilnya. Calista terlihat masih lemas, bahkan nyaris tertidur saat ia membantunya masuk ke kursi penumpang.
Di dalam mobil, suasana hening. Evan sempat melirik Calista yang duduk dengan kepala bersandar pada kaca jendela. wajah gadis itu terlihat pucat, sesekali merintih tanpa sadar.
"Ca, kasih tau alamat kos Lu," pinta Evan pelan.
Namun, tidak ada jawaban. Ketika ia menoleh, Calista sudah terlelap, napasnya teratur dan wajahnya tampak jauh lebih tenang dibanding sebelumnya. Mungkin efek obat mulai bekerja sampai membuatnya tertidur. Evan menghela napas, tangannya menggenggam setir sambil berpikir keras.
"Ya Tuhan, gue nggak tau alamat kosnya..." gumamnya. selama ini Evan hanya mengantar jemput Calista di tempat pengisian bahan bakar, gadis itu juga tidak pernah mau di antar sampai ke kos.
Mata Evan kembali tertuju pada Calista yang tertidur dengan posisi yang sedikit tidak nyaman, Evan memijit kepalanya yang sedang berpikir keras. Setelah beberapa detik mempertimbangkan, ia akhirnya memutuskan sesuatu.
"Ya udah, sementara ke apartemen gue aja. Setidaknya lo bisa istirahat lebih nyaman di sana," kata Evan pada dirinya sendiri, meskipun Calista tidak bisa mendengarnya.
Evan mendengus kecil membayangkan reaksi Calista jika gadis itu tahu mereka akan pulang ke apartemen EVan. Pastinya gadis itu akan bawel sekali, mungkin menolak mungkin malah bersemangat Evan tidak bisa menebak, tapi yang pasti gadis itu akan bawel sekali mengutarakan pendapatnya. Tapi sekarang, si bawel malah membisu. Evan merasa ada sesuatu yang kurang tanpa bawelnya Calista. Evan tersenyum kecil lalu menyentuh kening gadis itu, masih terasa hangat walau tidak sepanas tadi.
"Cepet sembuh bawel," lirih Evan.
Ia pun kembali fokus ke jalanan, membelokan arah mobilnya berlawanan dengan tempat dimana ia biasa mengantar jemput Calista. Setelah setengah jam berkendara mereka pun sampai di apartemen, Evan memarkir mobilnya dengan hati-hati. Ia berjalan ke sisi penumpang, membuka pintu, dan mendapati Calista masih tertidur pulas.
"Caca..." Evan memanggil pelan. Tidak ada reaksi.
Evan mengusap wajahnya dengan tangan, calista masih tidur dengan pulasnya.
"Gue bangunin nggak, ya? Tapi kalau gue bangunin, dia pasti bakal ngeluh dan maksa pulang sendiri. Ribet."
Setelah beberapa detik berdiri canggung, ia akhirnya menghela napas panjang.
"Oke, Evan. Lu angkat aja dia. Anggap ini bonus cardio," ucap Evan meyakinkan dirinya.
Dengan hati-hati, Evan mengangkat tubuh Calista dalam gendongannya. Gadis itu tetap terlelap, kepalanya bersandar di dada Evan. Langkah Evan sedikit kikuk saat memasuki apartemen, tapi ia memastikan setiap gerakan tetap lembut agar tidak membangunkan Calista. Tanpa sadar seulas senyum terbit dibibir Evan, jadi begini rasanya mengendong tubuh mungil bawel ini.
Langkah Evan terhenti, dia sadar sesuatu.
'Jadi si Erzan juga gendong Caca kayak gini? Bangsat!' monolog Evan dalam hatinya.
Di apartemennya, Evan langsung membaringkan Calista di sofa yang empuk, kemudian mengambil selimut dari kamarnya untuk menutupi tubuhnya.
Ia duduk di kursi seberang sofa, matanya tidak lepas dari Calista yang tampak jauh lebih tenang sekarang. Napas Evan perlahan mengikuti irama tenang dari gadis itu.
"Gue nggak tau apa yang Lu pikirin, Ca. Keras kepala banget sampai peringatan tubuh Lu pun Lu cuekin. Gue yakin sebelum Lu tumbang, Lu pasti udah ngerasain sakit dari lama kan," gumam Evan sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
Sesaat, ia terdiam, memandangi wajah Calista yang tidur dengan ekspresi damai. Tiba-tiba, sudut bibir Evan terangkat membentuk senyum kecil.
"Tapi... gue lega Lu di sini, sama gue," bisiknya lirih, hampir tidak terdengar.
Tanpa sadar, Evan terus menjaga gadis bawel itu. Ia memastikan selimut Calista tidak bergeser dan gadis itu tetap nyaman. Meski gengsinya selalu tinggi, saat ini ia tidak bisa memungkiri satu hal—ia benar-benar peduli pada Calista, lebih dari yang pernah ia rasakan.
Suara ponsel Calista tiba-tiba memenuhi kesunyian apartemen Evan. Pria itu yang tengah duduk di kursi seberang sembari memangku laptopnya, langsung menoleh ke arah sofa. Calista masih tertidur lelap, tidak terpengaruh oleh dering ponselnya di dalam tas. Evan mendesah sebal, suara telepon itu bisa menganggu istirahat Calista.
"Aduh, siapa sih nelpon malem-malem gini? ganggu banget," gumamnya.
Ponsel Calista terus berdering nyaring tanpa henti. Evan pun memindahkan laptop dari pahanya dengan gerak ragu Evan akhirnya meraih tas Calista dan mencari ponselnya.
"Bibi," gumam Evan membaca nama penelpon yang masuk.
"Kayaknya penting," pikirnya. Dengan sedikit ragu, Evan menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan itu.
"Halo?" sapanya pelan.
Namun, sebelum Evan sempat memperkenalkan diri, suara perempuan dari seberang langsung terdengar tajam.
"Calista! Dimana kamu?! Udah jam segini belum pulang juga! Kamu tuh anak perempuan nggak tau diri, ya! Mau jadi apa kamu keluyuran malem-malem kayak jalang?! Apa nggak cukup bikin malu keluarga ini, hah?!"
Evan tertegun. Napasnya tercekat mendengar kata-kata kasar itu. Ia melirik Calista yang masih tertidur, wajahnya tampak damai, sama sekali tidak tahu badai yang sedang datang dari teleponnya.
"Bibi, maaf—" Evan mencoba menjelaskan, tapi suara di seberang terus memotongnya.
"Kamu mau ngejawab apa lagi, hah?! Kalau kamu masih terus-terusan kayak gini, mending nggak usah pulang sekalian! Denger ya, Calista, daripada balik bawa malu, lebih baik kamu jadi jalang sekalian!"
Evan mengepalkan tangannya, mencoba tetap tenang meskipun darahnya mulai mendidih.
"Maaf, ini bukan Calista. Saya Evan. Calista pingsan tadi siang, sekarang dia lagi istirahat di apartemen saya."
Telepon di seberang terdiam sejenak.
"Evan?" Nada suara perempuan itu berubah.
"Jadi... dia di tempat cowok sekarang? Ya Tuhan! Calista benar-benar mempermalukan keluarga ini!"
"Bibi, dengar dulu. Calista pingsan karena demam tinggi, saya cuma bantu dia biar—"
"Tunggu." Suara bibi Calista memotong Evan dengan nada dingin.
"Kamu cowok yang beli jasa dia, ya? Kalau iya, dengerin ini baik-baik. Jangan kasih dia pulang! Anak itu udah nggak punya harga diri. Biar dia sekalian jadi jalang, nggak usah balik lagi ke sini! Saya tidak mau tempat saya jadi kotor karena dia!"
Evan tercekat, rahangnya mengeras.
"Tolong jaga ucapan Anda!" Nada suaranya meninggi.
"Calista tidak seperti itu dan saya nggak bakal biarin Anda ngomong sembarangan soal dia!" imbuh Evan dengan menahan marah.
"Halah, kalau kamu mau ambil saja dia, nggak usah banyak omong. Ambil sekalian barang-barang dia di sini. bikin najis tempat saya!"
"Baik. Share lokasi Anda, saya akan mengambil semua milik Calista!"
Klik. Telepon langsung diputus tanpa tanggapan.
Evan memandang ponsel di tangannya, masih gemetar karena marah. Ia menoleh ke arah Calista yang tetap tertidur di sofa. Wajah gadis itu terlihat damai, kontras dengan isi pembicaraan yang baru saja ia dengar.
"Lu..." Evan berbisik pelan, menelan ludah seolah menahan emosi yang meluap.
"Jadi ini yang selalu Elu sembunyikan Ca, apa ini alasan yang buat lu nggak mau gue anterin pulang sampai kos?" gumam Evan sambil mendesah panjang.
"Gue nggak ngerti gimana Lu tahan sama orang kayak gitu."
Ia menaruh ponsel Calista di meja, mematikannya agar tidak ada lagi panggilan yang mengganggu. Evan mendekati sofa, menarik selimut Calista agar lebih nyaman.
ada yang salting woyyyy 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
kok selalu ngintilin ibu nya terus
gue ikutan mewek loo, padahal udah end anak sapi.
sukurinnn
makanya jadi orang jangan sombong. untung saja papa nya gak punya kuasa di Universitas nya
tapi haloooo ortu nya gaby??
begini kan cara anda mendidik gaby ?? ingat pak bu, anda itu dosen loo. apa gak malu kalau si gaby buat masalah melulu
padahal hinaan si gaby udah booming loo. kok belum ada sangsi nya.
jangan biarkan si gaby besar kepala dong. dia sama saja udan menjelek kan kampus nolite
di kampus kamu berjuang untuk cita-cita kamu. di rumah kamu berjuang untuk melawan ego bibi kamu
minta di slepet emang si Gaby oh Gaby, untung Evan datang ah Evan kamu memang datang diwaktu yg tepat setidaknya datangnya Evan bisa membungkap mulut kotornya si Gaby itu hahaha mampooos lu
udh di blacklist dari pandangannya si Evan dasar