Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkumpul Berlima
Langit mulai berwarna jingga saat Netha terbangun dari tidurnya. Kelelahan setelah seharian bersama si kembar di Mini Zoo mulai mereda. Ia meregangkan tubuhnya sejenak, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi, ia mengenakan pakaian rumahan sederhana namun tetap rapi dan nyaman, seperti biasa.
Keluar dari kamar, ia langsung menuju ruang tengah. Pandangannya tertuju pada Sean yang duduk di sofa, menatap televisi yang menyala, tetapi jelas pikirannya sedang melayang entah ke mana.
“Sean,” panggil Netha pelan namun cukup tegas.
Sean tersentak, lamunannya buyar seketika. Ia menoleh ke arah suara itu dan matanya langsung terpaku pada sosok Netha. Penampilan Netha yang sederhana namun elegan, ditambah wajahnya yang segar setelah mandi, membuat Sean terpesona. Sekilas, ia merasa sedang melihat sosok Netha yang dulu ia nikahi, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih memikat.
“Ya?” jawab Sean, berusaha mengendalikan dirinya agar tidak tampak terlalu kagum.
“Kamu sudah makan?” tanya Netha, nadanya biasa saja seperti seorang tuan rumah bertanya pada tamunya.
Sean menggelengkan kepala. “Belum.”
Netha mengangguk kecil. “Aku mau ke dapur dulu untuk memasak makan malam. Tunggu sebentar ya,” katanya sambil berlalu menuju dapur.
Sean hanya bisa mengiyakan, tetapi matanya terus mengikuti langkah Netha. Cara Netha berjalan, kesigapannya saat masuk ke dapur, dan caranya mulai memasak dengan lincah seolah-olah rumah itu sudah lama menjadi tempat tinggalnya, semuanya membuat Sean merasa seperti sedang bermimpi.
Meskipun televisi menyala di hadapannya, Sean sama sekali tidak fokus. Ia terus mencuri pandang ke arah dapur, di mana Netha sedang sibuk. Sesekali ia mendengar suara wajan yang bersentuhan dengan spatula, aroma masakan mulai menguar, menciptakan suasana rumah yang hangat.
Sean merasa aneh. Rumah yang dulu terasa sepi dan dingin kini berubah menjadi tempat yang nyaman. Netha, yang biasanya hanya terlihat acuh dan jarang menunjukkan perhatian pada anak-anak atau dirinya, kini tampak seperti ibu rumah tangga sempurna.
Sean mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ada banyak pertanyaan yang harus ia tanyakan, tetapi ia merasa tidak tepat untuk membahasnya sekarang.
Setelah sekitar satu jam, Netha selesai memasak. Ia menata hidangan di meja makan dengan teliti, memastikan semuanya rapi dan sempurna. Kemudian ia memanggil Sean.
“Sean, makan malam sudah siap. Tolong bangunin Al dan El, ya. Suruh mereka mandi dulu sebelum makan,” kata Netha sambil menatapnya sekilas.
Sean mengangguk. “Oke,” jawabnya sebelum berjalan menuju kamar si kembar.
Reuni Kecil: Al dan El Bertemu Sean
Sean membuka pintu kamar si kembar dengan perlahan. Di sana, Al dan El masih tertidur dengan wajah polos mereka. Sean berdiri sejenak, memandang kedua anak itu dengan perasaan campur aduk. Sudah lama ia tidak melihat mereka sedekat ini.
“Al, El, bangun,” panggil Sean dengan suara lembut sambil menggoyangkan bahu mereka pelan.
Keduanya mengerjap-ngerjapkan mata, dan begitu melihat siapa yang membangunkan mereka, ekspresi kaget langsung berubah menjadi kegembiraan yang tak tertahan.
“Papa!” seru Al sambil langsung memeluk Sean dengan semangat. El, meskipun lebih kalem, ikut memeluk papanya dengan erat.
Sean tersenyum, perasaan hangat menyelimuti hatinya. “Iya, Papa di sini. Tapi kalian harus cepat mandi dulu, nanti makan malamnya keburu dingin,” kata Sean sambil tersenyum kecil.
Al langsung berlari ke kamar mandi tanpa pikir panjang. “Ayo cepat, El, kita mandi dulu!” serunya.
Melihat antusiasme anak-anaknya, Sean hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. “Mereka benar-benar bahagia,” pikirnya. Ia merasa bersalah karena sudah lama tidak memberikan perhatian penuh kepada mereka.
Setelah memastikan Al dan El masuk ke kamar mandi, Sean kembali ke ruang makan.
Ketika Sean sampai di ruang makan, ia melihat Netha masih sibuk menata peralatan makan. Ada sesuatu tentang caranya bekerja yang memancarkan ketenangan dan efisiensi.
“Duduk saja dulu, nanti anak-anak menyusul,” kata Netha tanpa menoleh.
Sean menurut. Ia duduk di salah satu kursi dan memandangi meja makan yang sudah penuh dengan hidangan lezat. Suasana rumah benar-benar terasa berbeda sekarang, seperti rumah yang selalu ia impikan.
“Semua ini... kau yang masak?” tanya Sean akhirnya, memecah kesunyian.
“Ya,” jawab Netha singkat, lalu meliriknya. “Kenapa? Tidak percaya?”
Sean menggeleng. “Bukan begitu. Aku hanya... tidak menyangka,” ujarnya pelan, merasa malu untuk melanjutkan kalimatnya.
Netha tidak menanggapi lebih jauh, tetapi senyuman kecil tersungging di wajahnya. Ia kembali sibuk memastikan semuanya siap sebelum Al dan El bergabung.
Sean hanya duduk diam, memandang sosok perempuan yang kini terlihat begitu jauh berbeda dari yang ia ingat. Di dalam hati, ia tahu ada banyak hal yang harus ia pelajari tentang perempuan yang kini tampak seperti orang asing dan sekaligus sangat familiar itu.
Beberapa menit setelah Sean duduk di meja makan, Al dan El muncul dengan wajah segar setelah mandi. Rambut mereka masih sedikit basah, dan wajah mereka berseri-seri.
"Papa! Mama!" seru Al dengan riang, langsung menghampiri Sean.
Sean membeku sejenak. 'Mama?' pikirnya, kebingungan. Sudah lima tahun terakhir ini, mereka selalu memanggil Netha dengan sebutan "dia," "wanita itu," atau bahkan "kamu." Tidak pernah sekalipun ada kata Mama yang keluar dari mulut mereka. Dan sekarang, anak-anaknya memanggil Netha dengan sebutan itu tanpa ragu.
"Ayo, cepat makan sebelum dingin," suara Netha yang lembut namun tegas membuyarkan lamunannya.
Sean memandang Netha, lalu beralih ke Al dan El yang duduk dengan penuh semangat. Mereka mulai makan tanpa menunggu lama. Sean mengikuti, mengambil nasi dan lauk yang ada di depannya.
Saat menyuap makanan ke mulutnya, Sean terkejut. Masakan ini... enak sekali. Sangat berbeda dengan apa yang pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan makanan di kantin markas kalah dibandingkan masakan ini.
"Sejak kapan dia bisa masak seperti ini?" pikir Sean sambil melirik Netha yang sedang menyuapi Al dengan sabar.
Sean diam-diam memperhatikan interaksi Netha dengan anak-anak. Cara Netha berbicara, tersenyum, dan melayani mereka terasa sangat alami. Seolah-olah ia adalah ibu yang sempurna.
"Papa, kok diem aja?" suara El memecah pikirannya.
Sean tersenyum kecil. "Papa lagi menikmati masakan Mama kalian," katanya, mencoba terlihat santai.
"Enak, kan, Pa?" Al ikut bersuara sambil mengunyah makanan.
Sean mengangguk. "Iya, enak sekali."
Mendengar itu, Netha tersenyum kecil. “Sudah, makan yang banyak. Nanti kalau masih lapar, bilang saja, ya.”
Setelah makan selesai, Netha berdiri sambil melihat ke arah si kembar. "Al, El, bawa piring kalian ke dapur, cuci sendiri ya. Jangan lupa bersihkan dengan sabun."
Al dan El langsung mengangguk. "Siap, Ma!" seru mereka bersamaan sambil membawa piring mereka ke dapur.
Sean tercengang. Anak-anaknya... mencuci piring? Biasanya, mereka akan mengeluh atau bahkan membiarkan piring berantakan begitu saja. Tapi sekarang, mereka melakukannya tanpa protes sedikit pun.
Sean memutuskan untuk ikut membawa piringnya. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan meletakkan piringnya di wastafel. Al yang sedang mencuci piring menoleh dan tersenyum lebar.
"Papa juga cuci piring?" tanya Al dengan nada bercanda.
Sean tertawa kecil. "Kalau kalian bisa, masa Papa nggak bisa?"
Netha yang sedang membereskan meja makan hanya melirik mereka dengan senyum samar. Ia merasa ada perubahan kecil yang baik di antara Sean dan anak-anak malam itu.
Setelah semuanya selesai, mereka pindah ke ruang tamu. Sean duduk di sofa, diapit oleh Al dan El.
Sean memandang anak kembarnya, mereka juga berubah setelah di tinggal Sean. Mereka terlihat lebih berisi, bersih, dan lebih tampan dari sebelumnya..Mereka lebih terurus, wangi pula.
...Elbarack...
...Albarack...
Pikiran Sean hilang setelah El dan Al mulai berbicara kepadanya.
"Papa, tadi pagi kami pergi ke Mini Zoo!" kata Al dengan semangat.
"Iya, Pa. Banyak banget binatangnya," tambah El, meskipun lebih tenang dibandingkan adiknya.
Sean mendengarkan cerita mereka sambil sesekali tersenyum. Al bercerita panjang lebar tentang kura-kura, ular, dan rusa, sementara El lebih banyak mengomentari wahana dan kolam renang.
Sean merasa aneh sekaligus bahagia. Sudah lama ia tidak mendengar suara mereka seceria ini. Biasanya, setiap kali ia pulang, suasana rumah selalu terasa dingin dan kaku.
"Papa kapan datang? Kok nggak bilang-bilang?" tanya Al tiba-tiba.
Sean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Papa baru pulang dari tugas. Makanya, langsung ke sini," jawabnya.
Percakapan mereka berlangsung sekitar setengah jam, sampai akhirnya Netha berdiri dan berkata dengan nada lembut tapi tegas, "Al, El, kalian tahu apa yang harus dilakukan sekarang, kan?"
Mereka langsung bangkit dari sofa. "Belajar dulu, Ma!" jawab mereka serempak, lalu berlari ke kamar untuk mengambil buku dan alat tulis mereka.
Sean, yang masih duduk di sofa, hanya bisa melongo. Anak-anaknya... belajar? Biasanya, mereka selalu harus dipaksa untuk membuka buku, bahkan seringkali berakhir dengan adu argumen. Tapi sekarang, mereka melakukannya dengan sukarela.
Netha duduk di meja ruang tamu sambil menunggu si kembar datang dengan buku mereka. Al dan El segera kembali, duduk di depan Netha, dan mulai belajar.
Netha dengan sabar mengajari mereka berhitung, sambil sesekali bercanda untuk mencairkan suasana. Al, seperti biasa, lebih sering berceloteh dan membuat lelucon, sementara El lebih fokus meskipun sesekali tertawa mendengar komentar kakaknya.
Sean hanya duduk diam, menyaksikan momen itu dari sofa. Sean juga heran, El dan Al sudah bisa membaca dan menulis, bahkan sekarang belajar menghitung?. Ia merasa seperti orang luar yang sedang melihat keluarganya sendiri dari kejauhan.
"Ini semua... sejak kapan?" pikirnya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa Netha, yang dulu sering ia anggap tidak peduli, kini bisa menciptakan suasana seperti ini.
Sampai jam menunjukkan pukul sembilan malam, Netha menutup buku mereka dan berkata, "Sudah malam. Sekarang waktunya tidur."
"Selamat malam, Papa! Selamat malam, Mama!" seru Al dan El sebelum masuk ke kamar mereka.
Sean merasa hatinya hangat mendengar ucapan itu. Anak-anaknya tampak begitu bahagia malam ini.
Setelah si kembar masuk ke kamar mereka, Netha menoleh ke Sean. "Sudah malam. Kalau ada yang mau diobrolin, besok saja, ya. Sekarang kamu juga istirahat dulu."
Sean hanya mengangguk, meskipun masih banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya.
Ia menuju kamar utama dan langsung merasa seperti berada di tempat yang berbeda. Kamar itu masih sama, tapi semuanya terasa lebih bersih dan segar. Sprei baru, tirai yang tampak bersih, dan udara yang wangi.
Sean merebahkan dirinya di tempat tidur, menatap langit-langit. Bayangan Netha dan anak-anak terus bermain di pikirannya.
"Apakah aku benar-benar mengenal mereka? Netha... apa yang sebenarnya terjadi padamu? Dan anak-anak... kenapa mereka tiba-tiba berubah?" pikirnya.
Sean menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi satu hal yang pasti, malam ini ia merasa lebih dekat dengan keluarganya daripada yang pernah ia rasakan selama bertahun-tahun terakhir.
dan yg jebak udh mau kebongkar