Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Acuh
Di Selasar rumah sakit, duduk dua orang paruh baya menunggu keajaiban sang pencipta. Kecemasan jelas tergambar di wajah hampir keriput mereka, tatapan kosong mengawang ke depan, pada sang Kuasa mereka menggantungkan asa.
Si wanita berkali-kali menyeka sudut mata, mengusir air yang tak henti meninggalkan jejak di pipinya yang bulat. Pun dengan si lelaki, helaan napas terhembus berat darinya mengurai sesal yang kian menumpuk dalam jiwa.
"Mudah-mudahan Non Sei dan bayinya selamat, Gusti. Ya Allah ...." Terisak wanita itu.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menyembunyikan tangis dari semua orang yang hilir-mudik di selasar, yang sebenarnya percuma karena mereka masih bisa melihat guncangan di bahunya.
Mang Udin melirik, tapi tak dapat melakukan apapun. Laki-laki berperawakan tinggi kurus itu mengusap wajah lelah nan kuyu miliknya, beriringan dengan helaan napas panjang lagi berat. Seolah-olah beban yang dipikul bahunya teramat berat.
"Semua ini salah saya, Bi. Seharusnya saya nggak bawa Bu Sei ke gudang karena saya tahu pasti akan begini jadinya," ungkap Mang Udin penuh sesal.
Keluhan yang didengar Bi Sari dari laki-laki di sebelah membuat tangisnya terhenti seketika. Lambat-lambat mengangkat wajah, melayangkan tatapan aneh penuh tanya padanya.
"Emangnya apa yang terjadi? Kenapa Non Sei bisa sampe kayak gini?" cecar Bi Sari sambil membalik tubuh Mang Udin sehingga menghadap ke arahnya.
Seraut wajah gugup tertangkap jelas di manik tua Bi Sari, wanita dengan sanggul ala kadarnya itu semakin menajamkan pandangan. Menuntut jawaban dari laki-laki yang saban hari mengantar sang majikan.
"I-itu .... mmm-"
"Apa? Ada apa? Apa Tuan Zafran selingkuh sama si perempuan gatel itu? Iya, 'kan?" cecar Bi Sari lagi sembari meremas kemeja Mang Udin cukup kuat.
Laki-laki itu terperangah, melirik bergantian wajah berminyak Bi Sari dan tangan yang mencengkeram pakaiannya. Kemudian, spontan Bi Sari menghempaskannya sambil berpaling dengan mata yang memicing.
"Udah saya duga, dia emang perempuan nggak bener. Suka ngerebut suami orang, nggak peduli status laki-laki itu adalah suami sahabatnya. Saya udah bilang ini sama Non Sei, tapi karena hatinya seputih salju Non Sei nggak pernah mau berburuk sangka. Sekarang, malah jadi begini. Duh, Gusti! Mugia Neng dunungan sing dikuatkeun hatena," ratap Bi Sari kembali meneteskan air mata.
Sudah sangat lama ia curiga karena di gudang itu pegawai perempuan hanyalah satu, Lita. Tentu saja, siapa lagi? Wanita berusia dua puluh tujuh tahun, yang notabene teman baik Seira. Dia kerap meminta bantuan ketika dalam masa sulit bahkan Seira dengan suka rela melunasi hutangnya pada rentenir dan membawanya bekerja di gudang dengan bayaran yang layak.
Namun, ternyata, dia hanyalah seekor serigala berbulu domba. Kelicikan, ketamakan, rasa iri dan dengki berada di balik wajah lugu dan menyedihkan miliknya itu. Bi Sari sudah tidak menyukainya dan memperingatkan Seira agar berhati-hati sejak pertama kali melihatnya.
"Saya udah nggak suka sama dia, sejak dia pertama kali datang ke rumah. Kamu tahu, Mang? Dia suka ngeliatin Tuan dan matanya kayak orang yang jatuh cinta. Saya juga pernah mergokin dia menggoda Tuan, tapi Non Sei tetep nggak percaya," sambung Bi Sari sambil terisak-isak pilu.
Mendengar itu sontak Mang Udin menoleh, menatap tak percaya pada ungkapan yang dilayangkan wanita di sampingnya itu.
"Yang bener kamu?" tanyanya terkejut.
"Buat apa saya boong, Mang? Nggak ada gunanya," jawab Bi Sari sambil mengusap air matanya yang terasa basah di pipi.
"Jadi bener, Mang, Tuan selingkuh sama perempuan itu?"
Mang Udin mengangguk sambil membuang napas panjang.
"Udah berapa lama?"
"Yah, sekitar lima bulanan yang lalu kayaknya," sahut Mang Udin.
"Itu, 'kan, sebulan dia kerja di gudang. Ah, dasarnya aja emang Tuan juga yang kegatelan. Kurang apa, sih, Non Sei? Cantik, baik, pinter ngurus rumah sama suami. Terus sekarang lagi hamil juga. Kurang apa, duh, Gusti!" keluh Bi Sari sangat menyayangkan dengan tingkah sang Tuan majikan yang selingkuh.
Padahal, dia memiliki istri sempurna tak hanya di mata keluarga, tapi juga di mata semua orang.
"Yah, yang namanya manusia, Bi. Nggak lepas dari hawa nafsu, dan Tuan lagi dibutakan sama nafsu. Makanya nggak bisa lihat istri cantik kayak Bu Sei," timpal Mang Udin yang juga menyesali tindakan Tuannya.
Keduanya menghening, tak lagi saling bicara. Berbincang dengan hati masing-masing tentang apa yang dilakukan oleh Zafran di belakang sang istri.
"Apa kita perlu kabari Tuan kalo Bu Sei masuk rumah sakit?" tanya Mang Udin memecah hening, "Saya takut kenapa-napa sama Ibu," lanjutnya lagi sambil menghela napas panjang.
Bi Sari masih bungkam, enggan menimpali. Masih berpikir tentang Zafran, laki-laki yang tak tahu diuntung.
"Nggak tahu, coba aja telepon. Siapa tahu Tuan masih peduli sama Non Sei," sahut Bi Sari dengan malas. Rasanya ia enggan bertatap muka dengan laki-laki peselingkuh itu.
Mang Udin mengeluarkan ponselnya, menghubungi sang majikan yang baru saja selesai menuntaskan hasrat terlarangnya.
"Ada apa, Din?" tanya Zafran segera setelah ia mengangkat telepon yang berkali-kali dilakukan Mang Udin.
"Anu, Tuan. Mmm ... Bu Sei masuk rumah sakit," jawab Mang Udin takut-takut. Pasalnya itu adalah panggilan telepon kelima yang ia lakukan.
"Hah, apa? Sei masuk rumah sakit? Sejak kapan?"
Zafran yang duduk bersandar sontak menegakkan tubuh terkejut mendengar kabar tentang sang istri. Jelas terlihat pancaran kecemasan di kedua maniknya itu. Bagaimanapun tak mudah untuk Zafran melepaskan wanita yang telah lima tahun dinikahinya itu.
Dia masih ingat betapa berat perjuangan saat ingin mendapatkan hatinya. Seira wanita sempurna dalam segala hal, pandai memanjakan mata juga hati suami. Tak pernah menuntut apapun meskipun Zafran mampu mengabulkan apapun yang dia inginkan. Mungkin hanya satu kekurangannya di mata Zafran, dia tak kunjung hamil hingga usia pernikahan mereka menginjak tahun kelima.
Kenyataannya, semua kesempurnaan Seira kikis hanya karena satu wanita yang terus menggodanya.
"Apaan, sih!" Satu pukulan cukup kuat dari wanita yang berbaring di pangkuannya, menyentak kesadaran Zafran bahwa dia tidak sedang sendiri.
Melihat Lita yang mengerucutkan bibir, Zafran menjadi gugup. Bekas pergulatan mereka saja masih bertebaran di lantai, bahkan mereka belum memakai penutup tubuh dengan sempurna.
Ia tersenyum canggung, kembali menyandarkan punggung mendengarkan Mang Udin berbicara tentang istrinya. Lita yang tak ingin Zafran pergi menemui Seira, mulai kembali menggodanya. Ia menjamah keperkasaan laki-laki itu, demi mengundang renjana yang baru saja pergi.
"Maaf, Din. Saya nggak bisa ke sana, ada kamu sama Bi Sari, 'kan? Udah kalian jaga aja dia, ya. Saya lagi sibuk di gudang," jawab Zafran membuat Lita menyeringai di tengah aksinya.
Ia lantas mematikan sambungan, beralih kedua tangannya meremas rambut wanita itu. Bibirnya berdesis, kelopak mata terpejam dan terbuka menikmati aksi liar yang dilakukan selingkuhannya itu.
Sesungguhnya, ia sempat mencemaskan keadaan Seira, tapi godaan Lita melenyapkan semua rasa. Seluruh tubuhnya kembali memanas, bergejolak menuntut lebih. Lalu, pergulatan haram pun kembali terjadi tanpa dapat ditolak.
Sementara itu, Mang Udin menurunkan ponsel dengan kecewa. Menatap layar kecil yang berkedip-kedip sebelum akhirnya mati.
"Gimana?" sambar Bi Sari penasaran.
Laki-laki itu menoleh, menggeleng lemah menjawab pertanyaan darinya.
"Keterlaluan!" geramnya, tanpa sadar mencengkeram bangku yang ia duduki.
"Maaf ...."