Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ke-8
Hari ke -8
"Duh maaf sepertinya gak kebawa," Hanya kata itu yang bisa ku lontarkan.
"Huh si Ujang teh kumaha? Masa yang pentingnya gak dibawa?" Orang-orang sibuk menggerutu, dan kulihat May sedih menahan malu.
"Yaudah nanti aja Pak Otang lamarannya. Ini mah kayaknya gak bisa diteruskan. Kalau kata adat mah gak pake cincin teh belum ke iket resmi atuh. Mending nanti kita kumpul lagi kalau si Ujang Ridwan bawa cincinnya."
Seorang bapak ikut angkat suara untuk menengahi permasalahan kami. Meski ia sama kecewa, tapi beliau berusaha menenangkan tamu yang datang.
"Alhamdulillah," ucapku lirih. Keadaan masih berpihak kepadaku kali ini. Aku menghembuskan nafas lega. Setidaknya aku tidak terlalu bersalah kepada istri dan anakku.
Tamu undangan May, mulai bubar dan rumah ini lenggang dari sesaknya orang-orang. Juga sesaknya situasi yang terus mendesak ku berbuat salah.
"Jangan diulangi lagi ya, May!" Aku meninggikan suara. Lama-lama aku kesal dibuatnya. Kenapa May bisa melakukan hal yang berada di luar batas? Aku sama sekali tidak merencanakan hal ini.
"Maaf ya, A. Aku kira Aa kesini mau sekalian lamar, May. Kan nanti 32 hari lagi kita menikah." Dia menundukkan pandangan, aku tahu dia salah, namun rasa malunya sore ini lebih banyak tergambar di raut wajahnya.
"Jangan bertindak sendiri!" cercaku. Dua kali dia membuatku kecewa. Satu karena makanan yang hampir membuatku terbunuh karena rasanya, dan keadaan ini yang membuatku sesak seketika.
"I, iya, A maaf, ya!” Matanya mengembun. Ah sudahlah! Aku tidak mau melihatnya semakin terluka.
"Pak, Bu, maaf. Kedatangan saya kesini bukan melamar, May. Saya hanya ingin memberi hadiah ulangtahunnya." Aku menyerahkan kado yang tadi sempat terbengkalai tak berarti.
"Ari si, May kumaha? Katanya Jang Ridwan kesini mau ngelamar? Ibu the udah beli kue dadakan, ngumpulin warga setempat, dll. Jangan bikin malu atuh, May!" Bu Rumi menggerutu memarahi May. May menyembunyikan air matanya dengan menghapusnya cepat. Tak tega sebenarnya dia diperlakukan seperti itu.
“Permisi, Bu, Pak, May, saya pamit pulang. Saya minta maaf atas kesalahan ini. Semoga kedepannya tidak ada lagi salah paham seperti ini.” Aku langsung pamit pulang, pikiranku sudah tidak bisa bekerja dengan baik.
***
Malam ini aku termenung dalam lamunan yang cukup dalam. Ku tatap photo pernikahanku dengan Limah lima tahun yang lalu.
Photo-photo lain berjejer di sampingnya. Dari mulai Jingga lahir, ia mulai telungkup, merangkak, berjalan, hingga dia berusia 4 tahun. Halimah memang suka mengabadikan moment pertumbuhan Jingga. Menurutnya waktu akan segera berlalu, dan kondisi itu tidak akan terulang dua kali.
Suara jangkrik menemani sepinya malam malamku.
Benarkah yang sudah ku perbuat sekarang ini?
[Assalamu'alaikum Dik, bagaimana kondisi di sana?] Entah kenapa onlinenya seperti candu bagiku, balasan pesannya seperti oase di tengah gurun.
Kadang perasaanku aneh tak menentu. Terkadang merasa hambar, terkadang pula bergejolak dalam dekapan rindu.
[Waalaikumsalam, Alhamdulillah semuanya baik.] Balasnya setelah beberapa saat. Bahkan kata Mas tidak terlampir di pesannya lagi.
[Kamu lagi apa, Dik?] tanyaku cepat. Aku tidak mau keluar dari ruang chatnya, agar kami semakin cepat berbalas pesan. Padahal dulu, aku selalu terburu-buru melepaskan ponsel dari genggaman bila ia sedang mengetik pesan untukku. Nyatanya kondisi bisa berubah begitu cepat.
[Apa tidak ada pertanyaan lain?] Setelah menunggu hasil ketikannya, aku merasa sedih. Biasanya ia tak pernah bosan berbasa-basi denganku.
[Banyak. Aku takut kamu kewalahan membalasnya,] kilahku cepat.
[Maksud?]
[Tidak ada maksud. Kapan kalian pulang?] Aku segera mengalihkan pembicaraan, khawatir ia salah faham dengan ucapanku barusan.
[Kenapa?] Astaga, apa ia tidak merasa rindu terhadapku?
[Aku hanya bertanya,] dustaku. Padahal rinduku menggebu.
[Oh,] balasnya singkat.
[Kapan?] tanyaku lagi untuk memastikan.
[Kenapa?] Dia bertanya perihal yang sama.
[Rumah sepi,] jawabku jujur.
[Bukannya tadi kau sudah pergi ke keramaian?] Deg, aku mencerna balasan terakhir darinya. Ambigu, apakah dia tahu? Atau maksudnya aku pulang dari kantor?
[Kantor?] tanyaku memastikan.
[Entahlah. Mungkin keramaian yang membuat jantungmu berdetak lebih keras.] Darimana dia tahu?
[Siapa yang bilang?] Kedua kakiku ku selonjorkan agar lebih rileks berbalas pesan.
[Bukankah jantungmu akan berdetak lebih keras ketika bersamanya?] Aku diam tak berkutik. Kata-kataku dahulu ia ungkit kembali. Malu rasanya bila harus mengingatnya.
[Haruskah ku pasang cctv untuk melihat gerak-gerik seseorang yang bahkan tidak memegang ucapannya sendiri?] sambungnya lagi.
Kondisi ruangan seperti memanas tiba-tiba. Dadaku ter tikam sakit ketika istriku tahu aku menodai janji yang ku buat sendiri.
[Maaf.] Hanya kata itu yang bisa ku lontarkan. Meski aku tahu, maaf tidak bisa menyembuhkan luka yang sudah ku torehkan padanya.
[Sudahlah, sepertinya kau sudah tak sabar bukan menikah dengannya?]
[Tidak begitu,] pungkas ku cepat.
[Tak usah selesaikan waktu yang tersisa. Janjimu saja sudah kau ingkari. Aku tidak ingin mengurung seseorang dalam janji yang berusaha dia ingkari,] balasnya cepat. Kini aku terdiam kebingungan. Jemariku mulai dingin.
[Dik, dengarkan Mas dulu!] bujuk ku. Berharap ia masih mau mendengar penjelasanku.
[Dengar apa? Dengar kau dengan bangga meminang perempuan lain? Tak cukupkah baktiku untuk membuatmu jatuh cinta? Ah, memang benar, aku tak sebaik dan secantik perempuanmu itu. Memang pantas kau memperjuangkannya.] Perkataannya bagai belati yang menikam jantungku.
[Kau salah faham, Dik.] Aku berusaha meluruskan. Memang ia sudah salah faham dengan apa yang terjadi. Sama sekali aku tak ingin melamar May sore tadi. May sendiri yang mempersiapkan itu semua.
[Pergilah jika kau mau! Aku tidak akan menahan mu dengan apapun lagi.]
[Aku mohon. Beri aku waktu. Jangan begini!] Air mataku sudah berjatuhan, aku tak peduli.
[Waktu? Untuk apa? Untuk terus menyakitiku? Apa belum puas? Apa kamu sangat menderita ketika bersamaku?]
Aku terhenyak dengan berbagai pernyataannya yang memang benar sudah kulakukan. Aku dicekam rasa takut yang teramat. Entahlah. Rasanya aku begitu takut ia marah dan benar-benar pergi dari kehidupanku. Padahal akulah yang memintanya sendiri untuk itu. Aku meremas rambutku dengan frustrasi.
[Aku tidak mau!]
[Kenapa? Karena kau merasa belum puas membuatku sakit?]
[Astaghfirullah bukan seperti itu.] Dia tak membalas lagi.
[Dik, Mas mohon. Bukan itu tujuanku kesana. Percayalah!] Halimah sudah tidak menggubris pesanku.
"Hingga pada batasnya, ada yang diam-diam mulai menyerah, lalu menghapus namamu dari daftar rencananya." Tak seberapa lama kulihat statusnya yang baru saja diunggahnya di aplikasi hijau. Benarkah dia benar-benar menghapus aku dari rencana masa depannya? Dia bahkan pernah berkata ingin menua bersamaku. Lantas kenapa dia menyerah sekarang? Air mataku luruh. Nyatanya bukan perempuan saja yang memiliki air mata. Aku juga.