realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kapan menu itu di ganti
Gadis itu mengangguk pelan. Ia menyunggingkan senyum kecil yang nyaris tak terlihat, tapi itu cukup untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. “Baiklah, kalau begitu,” ujarnya lirih.
Setelah itu, Aluna berbalik kembali ke ruangan tempatnya tadi, sementara Elvanzo memperhatikannya sampai pintu menutup di belakang gadis itu. Elvanzo menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya, kembali ke mejanya untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai.
"gadis yang menarik namun penuh tanda tanya " gumam elvanzo tanpa sadar memikirkan aluna di tengah pekerjaan yang sedang ia kerjakan
...~||~...
Keesokan paginya, Aluna terbangun dari tidurnya di ruang istirahat klinik, tempat ia menginap semalam karena tidak ada jadwal kuliah hari itu. Dengan tubuh yang masih terasa sedikit lelah, ia menaiki tangga menuju balkon untuk menikmati udara segar dan mentari pagi yang hangat.
Di balkon, mata Aluna memandang ke hamparan langit biru yang dipenuhi semburat jingga. Sinar matahari pagi menerpa wajahnya yang pucat, membawa sedikit warna ke pipinya yang biasanya merona.
"Aluna," panggilan lembut Yuri membuyarkan lamunan Aluna. Yuri baru saja tiba di klinik dan langsung naik untuk menikmati matahari pagi seperti Aluna.
"Iya, Kak Yuri," jawab Aluna sambil menoleh. Tatapannya lekat pada langkah Yuri yang mendekat dengan ekspresi lembut namun khawatir.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Yuri dengan nada cemas, masih teringat betapa lemahnya Aluna kemarin.
Aluna tersenyum, meski Yuri tahu itu hanya sebuah upaya untuk menenangkan hatinya. "Agak baikan, Kak. Makasih," jawabnya singkat.
Yuri menghela napas kecil, merasa lega sekaligus tak tega melihat senyum palsu itu. Meskipun Aluna yang seharusnya membutuhkan hiburan, ia malah mencoba menghibur orang lain. **Kuat sekali gadis ini,** pikir Yuri.
"Kau menginap di sini? Pagi sekali kau sudah di balkon," tanya Yuri, mencoba mencairkan suasana.
"Ya, aku menginap. Kebetulan, hari ini aku tidak ada jadwal kuliah," balas Aluna santai sambil terus memandangi matahari yang baru terbit.
Yuri tersenyum tipis sambil berdiri di samping Aluna. "Baiklah. Tapi... sudahkah kau sarapan?"
Aluna menggeleng. "Belum," jawabnya ringan.
"Mau makan bubur ayam di depan klinik? Aku yang traktir," ucap Yuri antusias. Sudah beberapa hari terakhir ia sangat mendambakan bubur ayam dari warung kecil di seberang jalan.
Aluna terkekeh kecil. Sejujurnya, ia mulai bosan dengan menu bubur ayam yang kini menjadi makanan favorit Yuri. Namun, ia menahan diri dan menjawab dengan nada setuju, "Baiklah, sepertinya itu nikmat. Tapi... ajak Kak Ale juga. Biar aku tak jadi satu-satunya korban ‘ngidam’-mu kak."
Dari ujung balkon, Alendrox yang ternyata sudah berdiri di sana sambil menikmati matahari pagi ikut menyela. "Kalian saja. Aku ada rapat pukul 8 pagi ini," katanya, mencoba menghindari ajakan.
"Serius, Kak Ale? Ini untuk anakmu, lho," protes Aluna dengan mata menyipit, menatap tajam Alendrox.
Alendrox terlihat bingung. Keringat kecil mulai mengalir di pelipisnya, tetapi sebelum ia sempat beralasan lagi, Yuri berkata dengan nada penuh sindiran, "Biarkan saja, Aluna. Dia memang lebih mencintai pekerjaannya daripada anaknya."
Akhirnya, dengan wajah pasrah, Alendrox mengalah. "Baiklah, ayo," gumamnya, setengah dipaksa.
Aluna tertawa kecil melihat adegan itu. Ia senang tak jadi ‘berjuang’ sendirian melawan keinginan ngidam Yuri.
Ketiganya turun menuju pintu keluar klinik. Namun, di halaman depan, mereka bertemu Elvanzo yang baru saja selesai memarkir mobilnya. Melihat peluang, Alendrox langsung memanggil, "Vanzo! Sini sebentar!"
Elvanzo menghampiri dengan alis terangkat, "Ada apa?"
"Yuri traktir bubur ayam pagi ini. Kau harus ikut," ucap Alendrox sambil merangkul bahu Elvanzo dengan erat, tak memberinya pilihan.
"Aku..." Elvanzo terlihat ingin menolak, tapi suara Yuri memotong, "Ayo, Vanzo. Lumayan, sarapan gratis!"
Setelah berdebat singkat dengan pikirannya sendiri, Elvanzo mengangguk pasrah. Ia tahu percuma menolak saat Yuri dan Alendrox sudah ‘kompak.’
Pagi itu pun mereka nikmati bersama dengan sepiring bubur ayam hangat di warung depan klinik. Namun, di hati masing-masing—terutama Alendrox dan Elvanzo—ada keluhan kecil yang tak terucap: "Bubur ayam lagi? Kapan menu ini akan diganti?"
Yuri, yang tampak puas menyantap makanannya, mungkin tak pernah tahu bahwa kebiasaan ‘ngidam’-nya telah menjadi sedikit cobaan bagi mereka. Aluna hanya bisa menahan senyum, merasa bahwa pagi ini akhirnya terasa lebih cerah, meski dengan menu bubur ayam yang berulang.
...~Siang harinya~...
Saat jarum jam beranjak ke tengah hari, suasana klinik mulai ramai oleh kedatangan pasien, terutama di bagian psikologi. Ruang tunggu penuh dengan wajah-wajah yang membutuhkan tempat untuk berbagi cerita, beristirahat dari kepenatan mental, dan mungkin mencari jawaban dari beban pikiran mereka. Di tengah kesibukan itu, Aluna tampak mencuri perhatian.
Aluna, yang biasanya dikenal pendiam dan kaku dalam urusan sosial, tiba-tiba berubah 180 derajat. Di balik meja pendaftaran bagian psikologi, ia menyambut setiap pasien dengan senyum lembut yang begitu tulus. Ia mengangguk penuh perhatian setiap kali seorang pasien menyampaikan masalahnya dengan ragu-ragu. "Seolah semua energi dunia terkumpul untuk membantunya bersikap ramah" pikir Elvanzo dari balik ruangannya.
Seorang ibu paruh baya yang tampak bingung mendekati meja tempat Aluna duduk. "Permisi, Nak... saya kurang tahu, apa saya harus daftar dulu di sini?" tanyanya dengan suara pelan.
Aluna berdiri dan membungkukkan tubuh sedikit, menunjukkan sikap hormat. "Benar, Bu. Saya akan bantu mendaftarkan Anda. Apakah Ibu datang untuk sesi konsultasi dengan dokter kami hari ini?" tanyanya dengan nada lembut.
Mendengar suara hangat itu, wajah sang ibu yang awalnya tegang perlahan mencair. "Oh, terima kasih, Nak... iya, saya ingin bertemu dokter psikologi di sini," jawabnya, sedikit lega.
"Saya paham, Bu. Jangan khawatir. Di sini semua orang ada untuk membantu Ibu," kata Aluna, menenangkan. Ia dengan cekatan mengarahkan sang ibu, memastikan ia nyaman duduk di ruang tunggu sambil menyiapkan dokumen pendaftarannya.
Tak jauh dari sana, Elvanzo memperhatikan interaksi itu dari balik pintu ruangannya yang sedikit terbuka. Ia mengenal Aluna sebagai gadis yang cenderung dingin, bahkan kadang sinis dan sedikit kaku dalam kesehariannya. Namun, di hadapan pasien, ada kelembutan dalam sorot matanya yang berbeda. Sejenak ia termenung, pikirannya melayang, memproses perbedaan sikap gadis itu.
“Gadis yang baik…” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Seakan mendengar, rekannya di ruangan yang sama menoleh sambil tersenyum. “Apa tadi, Vanzo?”
Elvanzo cepat-cepat menggeleng, sedikit salah tingkah. "Ah, tidak apa-apa... hanya sedang berpikir," jawabnya sembari berpura-pura membaca dokumen di tangannya.
Namun, matanya kembali tertuju pada Aluna yang kini sedang membantu seorang remaja laki-laki mengisi formulir. Ia bicara dengan nada ramah sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan si anak merasa nyaman. "Ini aneh, tapi aku tak pernah melihat sisi ini darinya sebelumnya" pikir Elvanzo.
Siang itu berlalu dengan lancar, berkat suasana yang diciptakan oleh Aluna di meja psikologi. Banyak pasien yang merasa diperhatikan dan disambut dengan baik, bahkan ada yang memberikan pujian singkat tentang keramahan Aluna.
“aluna, kau seperti sosok mu yang dulu hari ini,” kata Yuri yang senang menghampiri setelah jam makan siang.
Aluna hanya tersenyum, lalu mengangkat bahu santai. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya, Kak Yuri. Lagipula, mereka datang ke sini untuk mencari ketenangan, bukan?”
Sementara itu, Elvanzo, yang kini berdiri dekat meja kerja Yuri, kembali mencuri pandang ke arah Aluna. Dalam hati, ia tidak dapat menyangkal bahwa Aluna bukan hanya gadis yang penuh teka-teki, tapi juga memiliki kebaikan yang kadang-kadang lebih mudah terlihat dalam momen-momen kecil seperti ini.