Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 16
Baru saja hendak memejamkan mata, Gisela dibuat terkejut atas kedatangan Abram yang baru memasuki ruangan itu. Lelaki tersebut membawa satu kotak nasi dan langsung meletakkan di atas meja kecil yang terletak tidak jauh dari sofa tempat Gisela tiduran.
"Makanlah. Jangan sampai kamu kelaparan dan mati di sini." Abram berbicara sangat ketus. Ia bahkan langsung berbalik tanpa berani menatap Gisela.
"Kamu saja yang makan, Mas. Kebetulan aku sudah dinner sama Dirga." Gisela menolak.
"Dinner? Cih! Makan di kantin rumah sakit saja bilangnya dinner. Kampungan!" cemooh Abram. Namun, Gisela justru terkekeh saat mendengar itu. "Apa yang kamu tertawakan?"
"Tidak ada." Gisela melipat bibir untuk menahan tawa agar tidak meledak. Melihat raut wajah Abram yang sangat tidak bersahabat justru sangat lucu menurut Gisela. Tidak lagi menyeramkan seperti dulu. Mungkin karena wanita itu sudah terbiasa dengan raut wajah suaminya yang selalu dipenuhi emosi.
"Jangan meledek seperti itu atau aku akan mencekikmu sampai mati!" ancam Abram.
"Silakan saja. Aku justru senang karena tidak harus merasakan luka ketika harus hidup satu atap bersama selingkuhan suamiku."
"Dasar! Kamu yang pelakor!" Stevani yang sejak tadi diam pun langsung berteriak dan menatap Gisela penuh kebencian. "Asal kamu tahu, kamulah yang merebut Abram dariku!"
"Sudah! Jangan bertengkar. Lebih baik sekarang kamu mau makan atau tidur terserah apa pun yang akan kamu lakukan, dan kamu ... Stev, istirahatlah. Aku tidak ingin terjadi apa pun terhadap anak kita," perintah Abram. Mendengar perhatian Abram untuknya, senyum Stevani pun mengembang sempurna. Sementara Gisela langsung memejamkan mata karena tidak ingin melihat kemesraan itu lagi.
***
"Bisakah kamu mengambilkan minum untukku dengan baik!" Bentakan Stevani terdengar menggema di kamar utama. Bahkan, beberapa saat kemudian terdengar bunyi gelas yang membentur lantai. Suaranya berdenting keras.
"Itu sesuai pesanan kamu. Hanya pakai gula satu sendok," kata Gisela. Mendes*hkan napas ke udara secara kasar. Sungguh, ia sudah sangat muak dengan sikap Stevani yang makin hari justru makin keterlaluan.
Seperti orang yang tidak punya hati, Stevani memperlakukan Gisela seperti seorang pembantu. Ia sangat suka memerintah dan menjadikan kehamilannya sebagai alasan. Untuk saat ini, Gisela hanya diam dan menurut. Ia hanya memendam semuanya dalam hati dan berharap suatu saat tidak akan meledak.
"Itu tidak enak! Lebih baik sekarang kamu pergi dari kamar ini." Stevani mengusir. Tanpa membersihkan lantai itu, Gisela segera pergi karena dirinya pun sudah merasa malas berada di sana.
Tatapan Gisela tampak nanar saat ia sudah merebahkan diri di atas ranjang dan melamun menatap langit kamar. Ia lelah. Merasakan semua ini. Namun, rasanya ia tidak mungkin menyerah untuk saat ini. Hatinya masih sanggup untuk menahan dan memendam semua.
Mata Gisela terpejam perlahan dan berusaha untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah sangat letih. Ia ingin meraih mimpi indah sebelum berhadapan dengan dunia nyata yang cukup menyakitkan untuknya.
"Gisela! Gisel! Buka pintunya!"
Suara gedoran pintu berhasil membuat mata Gisela sontak terbuka lebar. Jantung gadis itu terasa berdebar kencang. Baru saja terlelap dan terbangun dalam keadaan terkejut sontak membuat kepalanya terasa berdenyut sakit.
"Buka pintunya atau aku tidak akan segan-segan mendobraknya!"
Embusan napas kasar keluar dari mulut Gisela saat mendengar teriakan Abram yang begitu memekakkan telinga. Dengan bermalasan wanita itu turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu.
Plak!
Tubuh Gisela membeku ketika baru saja membuka pintu langsung dihadiahi tamparan oleh Abram. Ia mendongak dan menatap mata suaminya yang menyorotkan kilatan amarah.
"Dasar wanita sialan! Berani sekali kamu mau membunuh anakku!" bentaknya. Gisela hanya terdiam sembari mengusap pipinya yang terasa memanas dan sedikit perih karena tamparan tadi cukup kencang.