cerita sampingan "Beginning and End", cerita dimulai dengan Kei dan Reina, pasangan berusia 19 tahun, yang menghabiskan waktu bersama di taman Grenery. Taman ini dipenuhi dengan pepohonan hijau dan bunga-bunga berwarna cerah, menciptakan suasana yang tenang namun penuh harapan. Momen ini sangat berarti bagi Kei, karena Reina baru saja menerima kabar bahwa dia akan pindah ke Osaka, jauh dari tempat mereka tinggal.
Saat mereka duduk di bangku taman, menikmati keindahan alam dan mengingat kenangan-kenangan indah yang telah mereka bagi, suasana tiba-tiba berubah. Pandangan mereka menjadi gelap, dan mereka dikelilingi oleh cahaya misterius berwarna ungu dan emas. Cahaya ini tampak hidup dan berbicara, membawa pesan yang tidak hanya akan mengubah hidup Kei dan Reina, tetapi juga menguji ikatan persahabatan mereka.
Pesan dari cahaya tersebut mungkin berkisar pada tema perubahan, perpisahan, dan harapan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : penghancur barat dan timur.
Mentari pagi menyinari medan perang yang kelabu. Bau darah dan keringat sudah mulai menusuk hidung, meski pertempuran sesungguhnya belum dimulai. Kei, dengan tatapannya yang sedingin es, berdiri tegak di samping Liu Bei. Di seberang, Reina, Zhang Fei, dan Guan Yu bersiap di bawah panji-panji emas yang berkibar gagah. Keenam puluh prajurit di belakang masing-masing jenderal, tampak tegang namun bersemangat. Reina, khususnya, tampak berbinar-binar; kesempatan untuk melepaskan kekuatan penuh Ashinamaru telah tiba.
Suara sangkakala perang memecah kesunyian. Dentumannya bergema di seluruh lembah, menggetarkan hati setiap prajurit.
“Semua prajurit… ikut aku dan Kei!” seru Liu Bei, suaranya bergetar dengan semangat yang terkendali. Pedangnya berkilau di bawah sinar matahari, siap membelah baja musuh. Prajurit-prajuritnya, terdorong oleh aura kepemimpinan Liu Bei yang tenang namun tegas, bergerak maju ke arah barat laut.
Di sisi timur, Reina melepaskan sorak yang berbeda. Suaranya penuh energi, bercampur dengan semangat juang yang membara. “Semua prajurit… kita serbu bagian timur laut! Ingat, ini pertempuran bersejarah! Hancurkan semua musuh tanpa ampun!!”
“HAAAAAAA!!!” Teriakan prajurit Reina mengguncang bumi. Seketika, cahaya emas menyinari tubuh mereka, aura Ashinamaru membungkus mereka dalam perlindungan ilahi. Mereka berlari, seperti gelombang emas yang siap menghancurkan segalanya.
“Hei… Mas Zhang Fei, Tuan Guan Yu. Kalian pernah nggak ngajak semua musuh makan malam bareng?” tanya Reina, sambil berlari, suaranya masih riang, meskipun situasi genting.
“Ha… itu mustahil, bodoh! Belum sempat ngomong, kita udah diserbu duluan!” Zhang Fei tertawa, suaranya menggelegar seperti guntur. Guan Yu, dengan senyum tipis di wajahnya, hanya menggelengkan kepala.
“Mwehehe…” Reina terkekeh kecil.
Seketika, dunia berputar. Kei, Liu Bei, dan pasukannya telah muncul di belakang pertahanan barat musuh. Begitu pula Reina dan pasukannya di timur. Keheningan sesaat menyelimuti mereka sebelum kekacauan kembali pecah.
“A… apa yang terjadi?” Beberapa prajurit Kei dan Liu Bei tampak kebingungan.
“Tidak usah banyak komentar,” Kei memotong, suaranya datar, tanpa emosi. Tatapannya yang dingin membuat bulu kuduk prajurit-prajurit itu merinding. Ketakutan memenuhi wajah mereka.
Liu Bei, dengan tenang, memberikan instruksi. “Ingat semuanya… jika kalian sudah tidak kuat, tukar formasi. Dengan begitu, kita bisa menghemat tenaga. Sekarang… MAJU!”
Di timur, kebingungan serupa muncul.
“Kenapa kita ada di sini?” bisik beberapa prajurit Reina.
Reina, dengan pose imut, menutup mulutnya dengan tangan. “Rahasia,” katanya, sambil memicingkan mata. Prajurit-prajuritnya hanya bisa tertawa kecil melihat kelucuan komandan mereka.
“Bagaimana sekarang, Nak? Serbu, kah?” tanya Guan Yu, suaranya berat namun lembut.
Reina kembali menatap musuh. Tatapannya berubah, menjadi setajam Kei. “IYA! Semuanya serbu! Jangan mau kalah dengan para pemberontak hina ini!”
“HAAAAAAA!!!” Teriakan mereka kembali menggema.
Di barat, pertempuran sengit terjadi. Liu Bei dan Kei, dua pedang di tangan masing-masing, berkolaborasi dengan sempurna. Gerakan mereka lincah dan mematikan. Clang! Swish! Clang! Bunyi pedang beradu memenuhi udara. Screams! Jeritan musuh yang terluka terdengar di antara teriakan prajurit.
“Kei… pakai serangan gelombang kejutmu! Pedangmu telah mengeluarkan aura kegelapan!” seru Liu Bei. Kei, merespon perintah itu, menggerakkan kedua pedangnya dengan kecepatan luar biasa, membentuk pola lingkaran cepat yang menghasilkan pusaran energi gelap. WHOOSH! Gelombang kejut berbentuk spiral itu melesat ke arah musuh, menghancurkan puluhan prajurit dalam sekejap. Aura kegelapan yang pekat terpancar dari pedang Kei, menambah efek menakutkan dari serangannya. “Bunuh… bunuh…” bisik Kei, suaranya tanpa emosi. Prajurit Kei, ketakutan namun terdorong oleh aura kegelapan, menyerang dengan brutal. Liu Bei, dengan gerakan dash yang cepat dan tepat, menggerakkan kedua pedangnya seperti kilat. THWACK! THWACK! THWACK! Setiap ayunan pedangnya menembus beberapa tubuh musuh, menciptakan jalur kematian yang efisien.
Di timur, pertempuran tak kalah dahsyat. Reina, dengan gerakan samurai yang cepat dan mematikan, menggerakkan katana cahayanya dengan teknik iaijutsu yang luar biasa. Gerakannya begitu cepat hingga hampir tak terlihat. SHING! Suara katana yang merobek daging terdengar nyaring. Bukan hanya memotong, setiap ayunan katana Reina menciptakan gelombang energi yang memotong musuh-musuh di sekitarnya. Bayangan katana cahaya Reina tampak berlipat ganda, menciptakan ilusi kecepatan dan kekuatan yang luar biasa. Zhang Fei, dengan amarahnya yang membara, mengayunkan Ji Long Qiang-nya dengan liar. CRASH! BOOM! Musuh-musuh terpental ke segala arah. Setiap ayunan Ji Long Qiang Zhang Fei menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan musuh di sekitarnya. Guan Yu, dengan tenang dan terukur, mengayunkan Guan Dao-nya dengan kekuatan yang luar biasa. SWOOSH! Puluhan musuh terpotong menjadi dua. Ayunan Guan Dao Guan Yu menciptakan semburan angin yang memotong musuh-musuh di sekitarnya.
Setelah serangan dahsyat Zhang Fei dan Guan Yu, udara bergemuruh dengan teriakan musuh yang terluka. Reina, dengan gerakan yang begitu cepat hingga nyaris tak terlihat, menyatakan kepada kedua jenderal itu, "Tukar..." Suaranya tenang, seperti bisikan angin sebelum badai.
Zhang Fei, yang baru saja melampiaskan amarahnya, berteriak cemas, "Hei... jangan gegabah—" Namun, kata-katanya terpotong. Reina telah melesat. Bukan sekadar berlari, ia bergerak seperti kilat, bayangannya melintas di antara prajurit musuh. Katana cahayanya, yang memancarkan cahaya emas menyilaukan, menari-nari dengan kecepatan yang tak terbayangkan.
SHING! SHING! SHING! Suara katana itu beradu dengan daging dan tulang, menciptakan simfoni kematian yang mengerikan. Bukan hanya memotong, tetapi setiap ayunan katana Reina melepaskan gelombang energi yang merobek tubuh musuh-musuh di sekitarnya. Gerakannya begitu cepat dan tepat, seperti tarian kematian yang mematikan. Ia melewati lima puluh prajurit dalam waktu kurang dari lima detik, tubuh mereka terbelah dua dengan presisi yang luar biasa. Darah menyembur bak air mancur, membasahi tanah yang sudah berlumuran darah. Reina berhenti, berdiri tegak dengan kaki kanan di depan, badan sedikit membungkuk, kepala menunduk. Katana berlumuran darah itu dimasukkannya ke sarung dengan gerakan perlahan dan anggun, seperti seorang penari yang menyelesaikan pertunjukannya.
Zhang Fei dan Guan Yu terpaku, mulut mereka menganga tak percaya. Zhang Fei, yang terkenal dengan keberaniannya, merasa sedikit ngeri melihat keganasan Reina. "Dia... dia seperti dewi kematian," gumamnya, suaranya bergetar tak percaya. Guan Yu, yang lebih tenang, hanya mengangguk, mata tajamnya mengamati Reina dengan penuh kekaguman.
“Nak... kau tidak apa-apa?” tanya Zhang Fei, suaranya penuh kekhawatiran.
Guan Yu, dengan suara yang lebih tegas, memberi perintah, “Semua prajurit, serbu ke depan!”
Reina, dengan perlahan, menatap Zhang Fei. Mata emasnya bersinar sejenak, menunjukkan kekuatan Ashinamaru yang masih bersemayam di dalam dirinya. Namun, segera setelah tatapannya bertemu dengan mata Zhang Fei, cahaya itu meredup, mata Reina kembali ke warna aslinya, lembut dan ceria. “Ya... aku baik-baik saja...” katanya, senyumnya mencairkan ketegangan di udara. Guan Yu, mengamati Reina dari samping, tersenyum lega. Namun, di dalam hatinya, ia berpikir, “Sepertinya, Reina melampiaskan amarah masa lalunya di medan peperangan ini.”
Di benteng, Jenderal He Jin mengamati pertempuran dengan cemas. Pertahanan belakang musuh semakin menipis. “Kemana Liu Bei dan sahabatnya?” gumamnya, kecemasannya semakin meningkat.
Seorang kurir berlari tergesa-gesa, “Lapor Jenderal! Komandan Reina dan beberapa prajuritnya telah menyapu bersih jebakan musuh dari arah timur laut... dan Komandan Reina berhasil menghancurkan dua ballista yang akan menyerang pertahanan terdepan kita...”
He Jin tercengang, “Baiklah... laporan diterima... kembali ke posisi...” Namun, di dalam hatinya, pertanyaan besar muncul, “Siapa sebenarnya Reina itu?”
Di barat, pertempuran mencapai puncaknya. Prajurit Kei, dipenuhi oleh kegilaan dan semangat juang yang membara yang di sebabkan tersebar nya kekuatan kegelapan Ashura dari dalam tubuh Kei, membantai musuh dengan brutal. Kei, di tengah-tengah kekacauan itu, tetap tenang dan terkendali. Dua pedangnya menari-nari, membelah tubuh musuh dengan presisi yang menakutkan. Darah musuh membasahi pedang-pedangnya, memberi kekuatan tambahan pada Kei.
Tanduk iblis mulai tumbuh dari kepalanya, sayap hitam besar mengepak di punggungnya. Matanya, yang semula biru tua, berubah menjadi hitam pekat, memancarkan aura kegelapan yang sangat kuat. Ia seperti iblis yang turun ke bumi, menebar teror dan kematian. Kei telah mengaktifkan mode Ashura nya.
Setelah beberapa saat, Kei menancapkan kedua pedangnya ke tanah. Dengan gerakan yang cepat dan tepat, ia mengangkat kedua pedangnya, membentuk huruf V terbalik. Energi gelap yang sangat pekat berkumpul di antara kedua pedang itu, bergetar hebat. WHOOSH! Gelombang kejut kegelapan berbentuk V yang dahsyat melesat ke arah musuh, menghancurkan segalanya dalam radius satu kilometer. Suara gemuruh yang luar biasa mengguncang bumi. Darah dan potongan tubuh musuh beterbangan di udara, menciptakan pemandangan yang mengerikan. Setelah serangan itu, tanduk dan sayap iblis Kei menghilang, meninggalkan sosok yang tenang dan dingin.
Prajurit Kei yang menyaksikan keganasan Kei dan Liu Bei hanya bisa merinding ketakutan. Kei berjalan beriringan dengan Liu Bei, suaranya datar, “Aku tidak akan memakan kalian…” Kalimat itu, yang seharusnya menenangkan, justru menambah rasa takut di hati para prajuritnya.
Liu Bei, dengan suara tegas namun tenang, memerintahkan, “Kirimkan pesan kepada kurir Jenderal He Jin bahwa Kei telah menghancurkan semua jebakan di arah barat.”
Seorang prajurit, dengan gemetar, menjalankan perintah itu, diteleportasi oleh Kei ke tempat Jenderal He Jin. Begitu prajurit itu muncul, semua orang di sekitar He Jin terkejut.
Prajurit itu keluar dari portal kegelapan.
Lalu, prajurit Kei berlari dan tersungkur di depan Jenderal He Jin. “Jenderal... komandan Kei telah menghancurkan semua jebakan barat tanpa sisa...” sambil mengambil napas dalam-dalam. “Dan Komandan Kei memberi saran agar Tuan Cao Cao, Jenderal Huangfu Song, dan Jenderal Zhu Jun menyerang dari arah utara ke timur guna menyerbu habis-habisan ke arah Zhang Jiao...” jelas prajurit yang telah dikirim oleh Kei dengan suara gugup.
“Bagaimana dengan semua jebakan musuh?” tanya Jenderal He Jin, ingin memastikan semuanya aman.
“Semuanya telah disapu bersih oleh Komandan Reina dan Komandan Kei...” jawab salah satu penasehat He Jin.
“Baiklah... perintahkan Cao Cao, Huangfu Song, dan Zhu Jun untuk bergerak ke arah timur dan hancurkan semua musuh!” sorak Jenderal He Jin.
“Lalu... kemana Kei dan Reina bersama dengan pasukannya?” tanya Jenderal He Jin kepada prajurit Kei.
“Sesuai dari strategi Komandan Kei, Komandan Reina dan Tuan Liu Bei... mereka akan menyerang dari timur guna mempermudah gerakan sekutu...” ucap prajurit Kei.
“Baiklah, beristirahatlah...” ucap Jenderal He Jin, berusaha menenangkan pikirannya yang penuh pertanyaan.
“Baiklah... akan kulihat, bagaimana cara Kei dan Reina menghancurkan pertahanan belakang musuh di timur...” gumam Jenderal He Jin, rasa ingin tahunya semakin menggebu.