Menjadi bahan taruhan untuk dijadikan mainan oleh pria terpopuler di kampusnya membuat Naina terperangkap dalam cinta palsu yang ditawarkan oleh Daniel.
Rasa cinta yang semakin berkembang di hatinya setiap harinya membuat Naina semakin terbuai akan perhatian dan kasih sayang yang pria itu berikan hingga Naina dengan suka rela memberikan kehormatannya pada pria itu.
Nasib buruk pun datang kepada Naina setelah ia mengetahui niat buruk pria itu menjadikannya kekasihnya hanya untuk barang taruhan semata. Karena setelah itu Naina pun dinyatakan hamil. Dan untuk menutupi aib anaknya, orang tua Naina pun beralih untuk megalihkan fakta jika anak Naina adalah anak mereka dan adik dari Naina.
Ikuti cerita lengkapnya di sini, yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku yang berbeda
"Ibu... Ayah... Naina pamit berangkat dulu." Mengulurkan tangan pada Ibunya.
Ibu menahan tangan anaknya. "Kenapa buru-buru sekali? Kau bahkan belum memakan sarapan pagimu sayang." Ucap Ibu merasa heran.
"Nai harus segera berangkat sekarang juga, Bu. Masih ada berkas yang belum Nai selesaikan di bagian administrasi jurusan." Terang Naina.
"Tunggulah sebentar. Ibu akan menyiapkan bekal untukmu." Ibu segera beranjak dari kursinya kemudian berjalan dengan cepat masuk ke dalam dapur.
"Kenapa matamu masih bengkak saja, Nai?" Tanya Ayah melihat mata sembab putrinya.
"Mungkin karena Nai terlalu lama begadang, Ayah. Jadinya matanya tetap sembab." Jawab Naina dengan berbohong.
Tak lama ibu pun keluar dari dalam dapur menenteng kotak bekal untuk Naina. "Ini... Kau harus sarapan saat sampai di kampus nanti." Perintah Ibu sambil menyerahkan kotak bekal pada Naina.
Naina menerimanya. "Baik, Bu." Balasnya tersenyum.
"Semoga sidangmu hari ini berjalan dengan lancar ya, Nai..." Ucap Ayah begitu tulus.
"Aamiin... Semoga anak Ibu bisa mendapatkan gelar yang akan bermanfaat nantinya." Timpal Ibu.
Naina tersenyum. Kemudiam memeluk ibu dan ayahnya bergantian barang sejenak. "Terimakasih Ibu... Ayah..." Ucapnya yang diangguki Ibu dan Ayah dengan senyuman.
"Apa Amara belum juga bangun, Bu?" Tanya Naina karena tak melihat keberadaan adiknya di sana.
"Ya. Adikmu masih tidur, Nai..."
"Anak itu..." Gumam Naina menggelengkan kepala. "Ya sudah. Kalau begitu Nai pamit pergi dulu ya, Bu... Ayah..." Ucapnya yang diangguki Ibu dan Ayahnya. Ibu dan Ayah pun beranjak mengantarkan kepergian putrinya di teras rumah.
*
Naina menghembuskan nafas lega setelah keluar dari ruangan sidang yang terasa menghimpit dadanya. Senyuman manis terkembang di kedua sudut bibirnya saat sudah melewati sidang skripsinya dengan lancar.
"Ayah... Ibu... Nai sudah sarjana..." Gumam Naina mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.
Naina menatap pada keramaian dimana teman sidang skripsinya hari ini tengah di kelilingi oleh teman-temannya sambil memberikan beberapa hadiah untuknya. Naina tersenyum kecut. Dirinya memang selalu berbeda dari lingkungan sekitarnya. Tidak seperti yang lainnya disambut setelah keluar dari ruangan sidang, Naina justru keluar sendiri dalam kehampaan. Hati Naina terasa teriris. Dirinya di kampus itu bagaikan sebuah figuran. Tidak pernah terlihat oleh orang-orang sekitarnya.
Helaan nafas Naina kian memberat. Tak ingin berlama-lama dalam kesedihan, Naina pun memutuskan untuk pergi meninggalkan kerumunan orang-orang yang sedang berfoto ria di sana.
"Naina..." Suara seseorang yang cukup dikenalinya menghentikan langkah kakinya.
"Nadine..." Ucap Naina saat wanita bernama Nadine itu sudah berada di dekatnya.
Nadine membenahi letak kacamatanya. "Selamat atas gelar barumu, Naina." Ucap Nadine mengulurkan tangannya pada Naina.
Nadine. Wanita yang menggambarkan sosok Naina itu adalah anak Ibu kantin yang sering menjadi tempat keluh kesah Naina selama hampir empat tahun kuliah di kampus favorit itu.
"Terimakasih, Nadine..." Balas Naina menerima uluran tangan Nadine.
"Nadine..." Suara wanita paruh baya yang berjalan tergopoh-gopoh ke arah mereka membuat Naina dan Nadine mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.
"Nadine... Tolong belikan ibu saos di warung tempat biasa, ya. Saos Ibu ternyata sudah habis." Pinta Ibu Nadine.
Nadine menganggukkan kepalanya. "Baik, Bu." Balasnya menerima beberapa lembar uang dua ribuan dari tangan Ibu.
"Naina... Aku harus pergi dulu. Lain kali kita bisa bercerita kembali." Ucap Nadine setelah Ibunya pergi meninggalkan mereka.
Naina mengangguk. Setelah kepergian Nadine, Naina pun kembali melanjutkan langkahnya menuju parkiran motornya. Naina berniat untuk langsung pulang. Lagi pula tidak ada gunanya ia berlama-lama di kampus yang akan membuat hatinya kian terluka.
***
Untuk mendukung karya author yang baru. Mohon berikan dukungan dengan cara...
Like
Komen
Votenya
Agar author semakin semangat melanjutkan ceritanya. Terimakasih😊😊