Mengandung adegan yang tidak pantas untuk ditiru. Happy Reading. CERITA INI BELUM TAMAT DAN SANGAT SLOW UPDATE.
Mencoba meraih kebenaran atas kematian ibunya, ternyata membuat Laura terjebak dalam pernikahan dengan seorang mafia. Namun, kehidupan mereka tidak semudah yang dibayangkan. Karena bagi seorang mafia, wanita tidak boleh menjadi sebuah kelemahan.
"Jangan harap kau bisa melarikan diri dariku!"
Akankah kisah kasih Laura dan Michael berakhir bahagia? Bagaimana mereka menjalani setiap masalah yang ada? Lantas sekuat apakah sosok Laura hingga berhasil meraih hati Michael, padahal dia sendiri sudah berusaha menutupi identitasnya?
Yukk kepoin, jangan cari wanita lemah di sini! Karena wanita itu sejatinya sosok yang kuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rissa audy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16: Bodoh
Waktu seakan berhenti di antara Laura dan Michael. Keduanya bersitatap tegang dengan perasaan yang berbeda. Namun, ternyata Laura tidak menyanggah jika dia memiliki maksud lain dan memilih terang-terangan mengatakannya kepada Michael.
"Kau akan tahu nanti." Tak ingin terlama dalam situasi canggung. Laura memilih segera beranjak.
Sementara itu, Michael yang merasa jika Laura malah semakin membuatnya penasaran hanya bisa tersenyum tipis di balik wajah dinginnya. "Cepat kemasi barang-barangmu! Kita pergi hari ini."
"Ke mana?"
Michael hanya berdecih kecil. "Dasar pikun. Bukankah sebelumnya sudah kukatakan kalau kita akan tinggal bersama. Apa kau lupa, baru saja kau juga yang melukaiku? Apa kau ingin me—"
Belum sempat Michael menghabiskan kalimatnya, Laura sudah lebih dulu menyela. "Sudah-sudah, diamlah! Dasar brisik!" Dengan kesal Laura berjalan ke kamarnya, sedangkan Michael tersenyum penuh kemenangan.
Lagipula Catherine sudah menyarankan agar membuat pria itu jatuh cinta. Akan lebih mudah nantinya jika keduanya tinggal bersama.
Setelah semuanya selesai, keduanya pun bergerak menuju tempat di mana Michael akan membawa Laura tinggal bersama. Sesekali gadis tersebut melirik pria di sampingnya yang tampak tenang. Padahal jelas-jelas perutnya baru saja terluka.
"Apa kau mulai terpesona padaku?" tanya Michael tetap fokus mengemudi tanpa melihat ke arah Laura.
"Perasan! Aku hanya ingin mengingatkanmu. Pergilah ke rumah sakit setelah ini dan cek bagaimana kondisi lukamu. Atau bisa jadi dia membusuk karena infeksi nanti," jawab Laura membuang wajah ke arah lain.
"Apa yang perlu dirisaukan? Lagi pula kalau sampai aku mati karena infeksi, kau akan dikubur hidup-hidup bersamaku nanti. Jadi, berdoalah saja umurku panjang jika kau masih ingin lebih lama menghirup udara bebas!"
Michael sungguh menganggap enteng apa yang dikatakan Laura. Gadis tersebut pun tidak menyangka ternyata pria yang dihadapi sekeras ini untuk ditebak. Sangat sulit menghadapi sosok arogan seperti Michael. Bagaimana bisa dia membuatnya jatuh cinta nanti.
Memikirkan hal itu, Laura pun berdecih. "Mustahil," gumamnya lirih.
"Apanya yang mustahil?"
"Mustahil kau mau berhenti untuk membelikan aku makanan. Padahal cacing di perutku sudah berdemo sejak tadi. Tapi, sepertinya kau tidak peduli," kesal Laura beralasan.
Michael tidak menjawab. Dia terus mengemudi menuju tempat yang telah disiapkan bersama Laura nantinya. Semakin jauh keduanya bergerak, kerutan di dahi Laura pun juga bertambah banyak.
Mereka seolah meninggalkan kota, memasuki jalan penuh dengan hutan rimbun, yang meskipun beraspal, tetapi sangat sepi. Bahkan lolongan hewan terdengar begitu jelas, di kala hari semakin senja.
Walaupun cukup mengerikan, tetapi Laura tidak bertanya sepatah kata pun pada Michael. Padahal rasa penasaran membuncah begitu hebat dalam dirinya yang sedikit bergetar. "Apa dia ingin membunuhku di tengah hutan belantara," batin Laura sedikit bergindik.
Namun, tak selang berapa lama, sebuah atap bangunan yang menjulang tinggi menjawab sudah semua kerisauan Laura. Hingga pintu gerbang tinggi pun terbuka dengan sendirinya dan Michael melesat melalui jalan satu-satunya.
Tak lama setelah itu, sebuah kastil besar dan mewah tampak bertengger di antara pemandangan hutan dan pegunungan yang indah. Satu-satunya tempat milik Michael Wilson yang tak pernah dijamah oleh keluarganya.
Dua orang penjaga membuka pintu, melihat kedatangan tuannya. Untuk kali ini, Laura cukup terkesima akan bangunan yang baru pertama kali dilihatnya itu. "Apa kau berniat menjadikan aku Rapunzel?" tanyanya tanpa sadar.
"Kau juga akan tahu nanti." Tanpa basa-basi, Michael mengisyaratkan pada anak buahnya agar membawakan barang-barang mereka.
Pria tersebut lantas membawa Laura memasuki kediaman yang sebenarnya sangat jarang dikunjungi. Hanya saja, dengan begini barulah Michael bisa memastikan keselamatan Laura tanpa perlu risau ketika dia harus bertugas berhari-hari bahkan bisa sampai bulan lamanya. Keamanan dalam kastil jelas terjamin, bahkan anak buahnya bukan sedikit yang tinggal di sana.
"Antarkan dia ke kamarnya dan siapkan makanan. Aku tidak ingin dia menyebutku pelit hanya karena tidak memberi makan," ucap Michael pada seorang pria berambut putih, pengurus kastil tersebut selama ini.
"Baik, Master." Dia pun beralih menghadap Laura dan memersilakan wanita pertama yang dibawa Michael itu pulang agar mengikuti. "Mari, Nona."
Laura hanya mengangguk patuh, sedangkan Michael bergerak ke arah lain karena sebuah panggilan. Ternyata itu berasal dari ayahnya Jacob. Michael lantas menggeser bulatan hijau di ponselnya, hingga suara pria paruh baya terdengar begitu jelas di telinganya.
"Selamat sore, Tuan Michael," sapa pria itu di seberang panggilan.
"Selamat sore," jawab Michael singkat.
"Terima kasih sebelumnya karena Anda Jacob bisa kembali dengan selamat. Sesuai perjanjian, perusahaan saya akan bekerja sama dengan Anda dalam urusan persenjataan nantinya. Silakan Anda datang besok untuk menandatangani dokumen."
"Baiklah."
"Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Mich."
Michael hanya berdeham, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Memang inilah tujuan utama misinya dari sang ayah. Untuk membantu problema yang terjadi di keluarga Jacob, dengan bayaran kerjasama dua perusahaan dengan skala besar.
Namun, di balik kedinginan sikap Michael ini, dia masih sangat yakin jika masalahnya belum sampai di sini. Pasti akan ada buntut permasalahan yang lebih besar nantinya. Seharusnya, keluarga Jacob tidak bertindak seolah di awan seperti itu. Karena putra sulung mereka pasti tidak akan tinggal diam posisinya di ambil sang adik.
"Bodoh," gumam Michael menyeringai lantas bergerak ke kamarnya.
To Be Continue...