Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Hari demi hari berlalu, tekanan yang dirasakan Rose semakin berat. Nathan dan Elise, dua staf baru yang terlihat sempurna di permukaan, ternyata jauh dari ramah. Mereka seolah membuat misi pribadi untuk menjatuhkan Rose.
Pagi-pagi sekali, Rose tiba di kantor, berharap bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum jam kantor dimulai. Namun, setumpuk dokumen baru sudah menunggunya, ditambah dengan catatan yang ditulis oleh Elise: “Harus selesai sebelum rapat jam 11. Jangan sampai ada kesalahan.”
Sebelum Rose sempat mulai, Nathan datang dengan senyum sinis. “Oh, Rose, aku lupa bilang. Presentasi yang Elise minta? Kau juga harus membuat slide-nya. Dia ingin itu sempurna, jadi pastikan semuanya rapi. Deadline-nya? Jam 10.”
Rose menatap Nathan dengan bingung. “Tapi saya sudah punya pekerjaan lain yang harus selesai pagi ini.”
Nathan hanya mengangkat bahu santai. “Kau kan magang. Sudah tugasmu menangani apa pun yang diminta. Jika kau tidak sanggup, mungkin tempat ini terlalu besar untukmu.”
Rose menggigit bibir, menahan komentar tajam yang hampir keluar. Ia tahu melawan tidak akan mengubah apa pun. Dengan napas panjang, ia kembali duduk, mencoba membagi waktunya untuk menyelesaikan semua tugas.
Saat jam mendekati pukul 10, Rose akhirnya menyelesaikan slide presentasi. Tangannya gemetar karena terburu-buru, tapi ia yakin hasilnya cukup baik. Ketika ia menyerahkan pekerjaannya kepada Elise, wanita itu hanya meliriknya sekilas sebelum berkata dingin, “Slide-nya membosankan. Ubah desainnya. Aku tidak akan memakai ini.”
Rose menahan napas, menahan diri agar tidak menangis. "Tapi, Bu, waktu rapat tinggal sebentar lagi..."
Elise menatapnya tajam. "Bukan urusanku. Kalau kau ingin bertahan di sini, jangan pernah memberi alasan."
Nathan yang berdiri di dekat mereka terkekeh pelan, seolah menikmati penderitaan Rose.
Siang harinya, tekanan terus bertambah. Nathan dengan sengaja mengirim email ke Dylan, mencantumkan Rose dalam salinan, dan menyebutkan kesalahan kecil dalam laporan yang ia buat. Meskipun itu bukan masalah besar, Nathan mempresentasikannya seolah-olah kesalahan itu fatal.
Dylan memanggil Rose ke ruangannya. “Kesalahan dalam laporan ini. Apa kau tahu berapa nilai proyek ini?” suaranya datar, tapi matanya menusuk.
Rose, yang sudah kelelahan, mencoba menjelaskan. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya segera.”
“Kesalahan seperti ini tidak bisa diterima,” kata Dylan tegas. “Aku tidak butuh permintaan maaf. Aku butuh hasil.”
Rose hanya bisa mengangguk. Setelah keluar dari ruangan Dylan, ia mendapati Nathan berdiri di dekat pintu, tersenyum penuh kemenangan.
Malam itu, Rose harus lembur lagi, menyelesaikan semua pekerjaan tambahan yang diberikan Nathan dan Elise. Tangan dan matanya lelah, tapi tekadnya belum pudar. Namun, di dalam dirinya, ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini.
Di sisi lain, Dylan memperhatikan perubahan pada Rose. Ia menyadari bahwa gadis itu sering terlihat kelelahan, namun tetap menyelesaikan pekerjaannya tanpa banyak keluhan. Ada sesuatu yang tidak beres, pikirnya. Ia memanggil Mrs. Liang ke ruangannya.
“Aku ingin laporan lengkap tentang pekerjaan yang diberikan kepada Roseane Park,” perintahnya. “Jangan ada yang ditutup-tutupi.”
Mrs. Liang tampak bingung, tapi mengangguk. “Baik, Pak. Akan saya siapkan.”
Malam itu, saat Dylan sedang memeriksa beberapa dokumen, ia melihat lampu di meja Rose masih menyala. Gadis itu tampak tertidur di mejanya, dengan laporan yang hampir selesai di tangannya. Dylan memandangi Rose dari kejauhan.
“Dia punya semangat,” gumamnya pelan. “Tapi tidak ada yang bisa bertahan lama di bawah tekanan seperti ini.”
Keesokan harinya, Dylan memutuskan untuk menguji semuanya. Dalam rapat staf, ia dengan sengaja menanyakan laporan yang dibuat Rose. Nathan dan Elise tampak sedikit tegang, tapi mencoba menyembunyikannya.
“Rose, kau yang menyelesaikan laporan ini?” tanya Dylan, tatapannya tajam.
Rose mengangguk perlahan. “Iya, Pak.”
“Dan kau juga membuat slide untuk Elise?”
“Betul, Pak.”
Nathan menyela. “Saya rasa laporan itu perlu direvisi lagi, Pak. Ada beberapa data yang—”
“Diam,” potong Dylan dingin, membuat semua orang terdiam. “Aku tidak bertanya padamu.”
Tatapannya kembali ke Rose. “Lalu siapa yang memintamu mengerjakan pekerjaan ini di luar tugas utamamu?”
Rose ragu untuk menjawab, tapi Dylan tidak memberinya waktu lebih. “Mrs. Liang, pastikan semua tugas yang diberikan sesuai dengan deskripsi pekerjaan. Dan kau,” Dylan menunjuk Nathan, “jangan pernah mencoba menggunakan anak magang untuk pekerjaan pribadimu.”
Elise mencoba membela diri, tapi Dylan hanya menatapnya dingin. “Jika kau tidak bisa bekerja sama secara profesional, aku bisa mencarikan posisi lain untukmu.”
Setelah rapat selesai, Nathan dan Elise keluar dengan wajah masam. Rose, meskipun lelah, merasa sedikit lega. Tapi ia tahu, pertempuran ini belum selesai.
***
Setelah rapat selesai, Rose berjalan keluar ruang konferensi dengan langkah ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa mendapatkan sedikit keadilan. Namun, perasaan lega itu tidak bertahan lama. Saat ia kembali ke mejanya, Nathan dan Elise sudah berdiri di dekatnya, menunggunya dengan ekspresi dingin.
“Kau pikir kau bisa lolos begitu saja, ya?” Elise mendesis dengan suara rendah, cukup pelan agar tidak menarik perhatian orang lain. Tatapannya tajam, seperti pisau. “Kau pasti yang melaporkan kami ke Tuan Wang.”
Rose menatap Elise, bingung. “Apa? Saya tidak melaporkan apa pun.”
Nathan mendekat, suaranya penuh ancaman. “Jangan coba-coba membohongi kami, Rose. Kami tahu kau sengaja bermain peran sebagai korban agar Tuan Wang membelamu.”
Rose meneguk ludah, berusaha tetap tenang. “Saya benar-benar tidak melaporkan apa pun. Mungkin Tuan Wang menyadarinya sendiri.”
Namun, Elise tidak mendengarkan. Ia menyeringai dingin. “Baiklah. Kalau itu permainanmu, mari kita lihat seberapa lama kau bertahan.”
Nathan menambahkan dengan nada dingin, “Kami akan pastikan kau tidak hanya keluar dari kantor ini, tapi juga dari industri ini. Jangan pernah lupa siapa yang sebenarnya berkuasa di sini.”
Rose merasakan dadanya menegang, tapi ia tidak menunjukkan ketakutannya. “Saya hanya melakukan pekerjaan saya,” katanya tegas, meskipun suaranya sedikit gemetar. “Kalau kalian merasa terancam, itu bukan salah saya.”
Elise mendekat, nyaris berbisik di telinganya. “Nikmati hari-harimu, Rose. Karena aku janji, itu tidak akan bertahan lama.”
Hari-hari berikutnya, ancaman Elise dan Nathan menjadi lebih nyata. Mereka mulai mempersulit pekerjaan Rose dengan cara yang lebih halus namun kejam.
Salah satu contohnya terjadi ketika Elise sengaja mengirim email kepada Rose dengan instruksi yang salah untuk proyek penting. Rose baru menyadari hal itu setelah menyerahkan hasilnya kepada Mrs. Liang, yang langsung menegurnya karena kesalahan data. Ketika Rose mencoba menjelaskan, Elise berpura-pura tidak tahu apa-apa.
“Oh, maaf, Rose. Mungkin aku lupa memberi tahu perubahan datanya. Tapi itu tanggung jawabmu untuk memeriksa ulang semuanya, kan?” Elise berkata dengan senyum palsu.
Nathan juga tidak kalah licik. Ia dengan sengaja mengabaikan laporan yang telah dibuat Rose, lalu melaporkannya ke Dylan sebagai pekerjaan yang terlambat.
“Rose, saya sudah meminta ini sejak kemarin. Apa alasanmu kali ini?” tanya Dylan dengan nada dingin ketika ia memanggilnya ke ruangannya.
Rose ingin membela diri, tapi ia tahu itu hanya akan membuatnya terlihat seperti menyalahkan orang lain. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya segera,” jawabnya sambil menunduk.
Namun, setelah keluar dari ruangan Dylan, ia tahu bahwa Nathan dan Elise sedang mengawasi dari kejauhan, tersenyum penuh kemenangan.
Di sisi lain, Dylan mulai curiga. Ia memperhatikan bahwa meskipun Rose bekerja keras, ia selalu menjadi sasaran kritik dan masalah kecil. Sikap Nathan dan Elise yang sebelumnya profesional mulai terlihat mencurigakan.
Pada suatu malam, ketika hampir semua orang telah pulang, Dylan sengaja berjalan melewati meja Rose. Ia melihat gadis itu masih bekerja, wajahnya pucat dan matanya sembap.
“Kau masih di sini?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Rose tersentak, mendongak dengan mata lelah. “Iya, Pak. Saya harus menyelesaikan beberapa laporan.”
Dylan mengamati tumpukan dokumen di mejanya. “Siapa yang memintamu mengerjakan semua ini?”
Rose ragu sejenak, takut jika ia mengatakan sesuatu, Nathan dan Elise akan semakin memperburuk keadaannya. “Saya hanya mencoba menyelesaikan pekerjaan saya, Pak.”
Namun, Dylan tidak bodoh. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. “Rose, jika ada yang tidak sesuai, kau harus memberitahuku.”
Rose menunduk, menghindari tatapan Dylan. “Terima kasih, Pak. Tapi saya baik-baik saja.”
Dylan hanya mengangguk singkat sebelum meninggalkan meja Rose. Namun, dalam hatinya, ia sudah memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Keesokan harinya, Dylan memerintahkan Mrs. Liang untuk memeriksa email dan pekerjaan yang berkaitan dengan Rose, Nathan, dan Elise. Hasilnya membuatnya marah. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa Nathan dan Elise sengaja mengatur skenario untuk menjatuhkan Rose.
Dylan segera memanggil Nathan dan Elise ke ruangannya. Kali ini, tatapannya sedingin es.
“Kalian pikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan?” tanyanya dengan nada tajam.
Nathan mencoba membela diri. “Kami hanya mencoba memastikan bahwa pekerjaan berjalan dengan baik, Pak.”
“Dengan cara menjebak anak magang dan mengalihkan tanggung jawab kalian padanya?” Dylan memotong, suaranya naik. “Aku tidak mentolerir perilaku seperti ini di perusahaanku.”
Elise mencoba berbicara, tapi Dylan mengangkat tangan. “Cukup. Aku akan memutuskan sanksi apa yang pantas untuk kalian. Tapi satu hal yang pasti: jika ini terjadi lagi, kalian tidak akan punya tempat di Wang Corp.”
Rose yang mendengar kabar itu merasa sedikit lega. Namun, ia tahu ini belum sepenuhnya berakhir. Nathan dan Elise masih ada di sana, dan ancaman mereka masih menggantung. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan menyerah. Ia akan terus bertahan, karena ia tahu, di balik setiap ujian, ada kekuatan yang tumbuh dalam dirinya.
Bersambung