Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan siang
...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...
...****************...
"Ayo ke klub malam bersamaku. Aku yang akan traktir!" ajak Ryan, wajahnya penuh semangat, hampir tak sabar.
Logan hanya mengerutkan alisnya, ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksenangan. Entah kenapa sahabatnya itu tiba-tiba saja muncul dengan ajakan seperti ini. "Hiburan?" pikir Logan dengan rasa jengkel. Club malam, dengan musik keras, cahaya gemerlap, dan hiruk-pikuk orang yang saling bersaing untuk mendapatkan perhatian, bukanlah dunia yang ia kenal atau sukai. Apalagi jika itu berarti meninggalkan tumpukan pekerjaan yang selalu memanggilnya.
"Sobat, temanku punya klub baru, dan wanita di sana cantik-cantik. Aku tahu kau butuh hiburan. Aku sudah lelah bicara dengan batu yang diberi nyawa. Bisakah kau kembalikan sahabatku itu? Aku merindukannya!" Ryan mengeluh dramatis, suaranya nyaris menyerupai seorang aktor teater yang sedang berperan dalam drama tragedi.
Logan hanya memandangnya dengan tatapan jijik. "Aku tidak tertarik," jawabnya tegas, suaranya datar.
"Ayo, kenapa seperti itu? Kasihan padaku, dong!" Ryan kembali mendesak, semakin melebih-lebihkan.
Logan mengerutkan bibirnya, menahan rasa jijiknya. "Sepertinya kau lebih baik pergi saja, Ryan. Aku benar-benar tidak tertarik," jawab Logan, matanya kembali tertuju pada tumpukan dokumen yang ada di mejanya.
"Oh, sakit sekali hatiku! Begini rasanya ditolak oleh yang mulia Logan?" Ryan melanjutkan dengan nada yang semakin berlebihan, membuat Logan hampir terbatuk karena muak.
Logan menggelengkan kepala, merasakan kegelisahan yang semakin memuncak. Apa yang terjadi hari ini? Semua orang mencoba mengusiknya. Ia terus bergumam dalam hati
Ryan tampak tak menyerah. "Dengarkan aku, sobat! Tak ada salahnya kau mencoba menikmati hidupmu. Lihat, banyak orang mati karena gila kerja dan tak punya hiburan. Aku nggak mau kehilanganmu, bodoh!" Ryan berteriak, seolah dia adalah pahlawan yang sedang berjuang untuk menyelamatkan temannya.
Kini Ryan berdiri dan mulai berkeliling ruangan Logan, seolah bosan dengan respons keras kepala temannya. Setiap langkahnya penuh dengan kegelisahan, dan Logan bisa merasakan betapa beratnya perjuangan Ryan mencoba menariknya keluar dari dunia monoton yang sudah ia pilih.
Logan menatap Ryan sekilas tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan di depannya. "Aku tak peduli," jawabnya lagi, suaranya sedikit lebih keras, namun tetap dingin.
Ryan, yang tampak semakin frustasi, mengangkat tangan ke langit, pura-pura berdoa. "Oh Tuhan, kenapa temanku yang satu ini sangat keras kepala? Tolonglah aku, yang baik hati ini, untuk melepaskannya dari jerat iblis gila kerja!" Ryan mengeluh, membuat Logan semakin muak.
Logan menghela napas panjang, melemparkan pulpen ke meja dengan suara pelan, lalu menatap Ryan dengan tatapan yang lebih serius. "Dengar, kau hanya perlu datang ke sana sejenak. Aku pastikan kau tak akan menyesal," Ryan berkata lebih tenang kali ini, berusaha meyakinkan Logan dengan sungguh-sungguh.
Logan menatap sahabatnya itu dengan intens, hatinya sedikit goyah, meskipun ia tak ingin mengakuinya. "Jika saja kau bukan sahabatku, aku pasti sudah memanggil keamanan," jawab Logan, nada berat mengisi suaranya. "Baiklah. Aku akan menemanimu, tapi tidak sekarang. Aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Ryan melompat kegirangan mendengar keputusan itu. "Percayalah, sobat! Kau nggak akan menyesal! Kita bakal bersenang-senang!" Ryan berseru, hampir melonjak di tempat.
Ryan berjalan menuju meja Logan, dengan santai mengambil kotak bekal yang diberikan Anastasia. Ia tahu betul makanan itu tak akan pernah sampai ke tangan Logan. Lihat saja, Logan tidak pernah tertarik dengan semua usaha yang dilakukan Anastasia. Ryan memandang kotak itu sejenak, lalu dengan nada usil mulai berceloteh.
"Kau ingin memakannya?" tanya Ryan sambil mengangkat kotak itu, mencoba memancing perhatian Logan.
Logan mendongak, melihat kotak bekal yang dimaksud. Begitu menyadari itu pemberian Anastasia, ia langsung mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar Ryan segera pergi.
"Ah, kau baik sekali, sobat. Mungkin aku bisa menceritakan padamu rasanya makanan ini," kata Ryan, menggoda dengan senyum nakal di wajahnya.
Logan hanya menatap sekilas, tak peduli dengan ledekan Ryan. Dengan cepat, ia kembali fokus pada dokumennya, berusaha mengabaikan gangguan yang datang.
"Ah, seharusnya si Anastasia belajar dariku, cara menaklukkan hati Logan!" Ryan menambahkan dengan santai, sambil berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Logan yang masih duduk di mejanya, merasa berat.
Logan menatap punggung sahabatnya yang sudah hampir keluar dari pintu. "Hei!" teriak Logan, memanggilnya dengan suara lebih keras. "Kau ngomong apa tadi?"
Ryan hanya melambaikan tangan, tanpa menoleh sedikit pun. "Hahaha, hanya bercanda, sobat!"
Logan memukul meja dengan frustrasi, merasa seolah-olah hari ini adalah salah satu hari paling menyebalkan yang pernah ia alami. Tumpukan pekerjaan yang terus menumpuk, ditambah lagi dengan usaha Ryan yang tak kenal lelah untuk menariknya keluar dari kenyamanan yang begitu familiar baginya. Apa yang sedang terjadi? pikir Logan. Terkadang, semua yang dia inginkan hanyalah sedikit ketenangan. Tetapi hari ini, ketenangan itu seolah semakin menjauh.
-
Sudah genap seminggu Caca bekerja sebagai pengasuh Ray Pattinson, putra satu-satunya dari Logan Pattinson, seorang pengusaha kaya raya. Setiap harinya, Caca dihadapkan pada kemewahan yang luar biasa—sesuatu yang sebelumnya hanya ia saksikan dalam film atau bayangkan dalam dongeng. Rumah mansion megah dengan arsitektur klasik bergaya Inggris, lengkap dengan lampu gantung kristal dan meja makan panjang yang mampu menampung dua puluh orang, membuatnya terkagum sekaligus merasa kecil. Ia seperti seorang asing di dunia ini.
Caca belum sepenuhnya terbiasa dengan perlakuan istimewa yang diterimanya. Pelayan rumah memperlakukannya seolah ia adalah tamu penting, bukan seorang pekerja. Setiap hari, ia merasa canggung saat makan bersama keluarga di ruang makan utama, sementara para pelayan justru menyiapkan segalanya untuknya. Namun, Caca tahu bahwa ini adalah bagian dari pekerjaannya. Ia harus bersikap profesional meskipun hatinya masih penuh rasa gugup.
Hari ini, seperti biasa, ia duduk bersama Logan Pattinson dan Ray untuk makan siang. Suasana sunyi mendominasi ruangan, hanya diisi oleh denting halus sendok dan garpu yang bertemu piring. Caca mencuri pandang pada Ray, yang tampak asyik dengan makanannya, lalu mengalihkan pandangan ke Logan yang duduk di ujung meja. Pria itu begitu tenang, tapi ada aura dingin yang sulit ditembus.
"Bagaimana hari-harimu dengan Ray?" Suara Logan memecah keheningan, nada bicaranya terdengar serius namun tidak terlalu dingin.
Caca hampir tersentak. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, membuatnya sedikit gugup. Ia mengatur napas sejenak sebelum menjawab, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya berdebar. "Baik, Tuan Pattinson," jawabnya singkat. Namun, ia segera sadar bahwa jawaban itu terlalu datar. Ia menambahkan, "Meskipun awalnya Ray tampak sulit didekati, dia sudah mulai membuka diri. Dia anak yang baik dan menyenangkan."
Logan mengangguk perlahan, ekspresinya tetap datar, namun matanya sedikit melembut saat mendengar nama anaknya disebut. Ia tidak langsung menanggapi, hanya kembali memindahkan potongan kecil steak ke piringnya. Caca berusaha menebak pikirannya, tetapi pria itu sulit dibaca. Sosoknya yang tinggi, wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, serta mata biru yang tajam seakan menciptakan kesan dingin yang tidak bisa ditembus.
Namun, sesaat kemudian, Caca melihat sesuatu yang berbeda. Ketika Logan menunduk untuk mengambil segelas air, ada raut kesedihan samar yang terlukis di wajahnya. Hal itu membuat Caca ingin bertanya, tetapi ia menahan diri. Ini bukan urusannya.
"Ray memang tidak mudah didekati," kata Logan akhirnya, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. "Tapi aku senang dia bisa merasa nyaman denganmu."
Pernyataan itu membuat Caca sedikit lega. Setidaknya, ia tahu usahanya selama ini tidak sia-sia. "Terima kasih, Tuan Pattinson. Saya hanya mencoba melakukan yang terbaik untuknya," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Logan mengangkat pandangannya, menatap Caca dengan mata birunya yang tajam. "Teruskan apa yang kamu lakukan. Itu sudah cukup."
Caca mengangguk pelan, merasa ada beban kecil yang terangkat dari pundaknya. Namun, ia masih bertanya-tanya tentang kesedihan yang sempat ia lihat di wajah pria itu. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap dingin dan kaku Logan Pattinson, sesuatu yang mungkin berkaitan dengan masa lalunya atau kehidupan pribadi yang tidak pernah ia ungkapkan.
Logan melirik putranya sejenak, lalu kembali menunduk ke makanannya. Namun, sudut bibirnya sedikit melengkung, seolah senyum kecil itu tak bisa sepenuhnya ia tahan. Mungkin, bagi Logan, kebahagiaan Ray adalah satu-satunya hal yang mampu menghangatkan dunianya yang dingin.
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia