--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 21
Waktu penugasan di kepulauan Seth dipersingkat Xavier. Tapi tak satu pun dia abaikan tugasnya, tidak ada yang terlewat.
Suku Yomge yang menghuni wilayah itu sangat kenal Xavier. Peperangan beberapa waktu lalu yang dipimpinnya membuat Xavier diperlakukan spesial dan disegani di sana. Kemenangan yang dipersembahkan jadi alasan kuat segala hormat.
Dia pulang membawa berbagai macam oleh-oleh, dari mulai pakaian hingga makanan, tertampung di peti yang dibawa dua orang pengawal.
Sampai di ibukota kekaisaran setelah tiga hari.
Yang dilakukan pertama kali tentu saja melapor pada Kaisar. Tidak ada masalah, Bjorn cukup merasa puas.
Berikutnya adalah pulang, menemui istri tercinta di mansion yang dia bangun atas inspirasi dari mendiang ibu tercinta. Mansion Willow.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda.” Luhde menyambut dan bertanya, “Bagaimana kabar Anda dua hari ini? Apa ada masalah?”
“Aku baik, Luhde. Semuanya juga baik. Tidak ada hambatan apa pun,” jawab Xavier seraya menyerahkan coat yang dikenakannya ke tangan pria dewasa itu. “Bagaimana dengan Asha? Apa dia berulah selama aku tak ada?"
Keduanya kini berjalan menaiki tangga.
“Putri sangat baik. Yang dilakukannya juga sama seperti biasa. Daphne nampak sudah terbiasa dengan semua tingkah laku Putri, cukup cekatan dalam segala hal menyangkut pekerjaannya.”
Sudut bibir Xavier melengkung tipis. “Bagus, terima kasih sudah mewakiliku mengawasinya.”
“Itu sudah tugas saya.”
“Aku ingin menemui istriku dulu lalu beristirahat. Kau kembali saja pada pekerjaanmu.”
“Baik. Selamat beristirahat, Tuan Muda," balas Luhde, telapak tangan ditempelkannya ke dada dengan kepala runduk pertanda hormat.
“Hmm.”
Keduanya mengambil arah berlainan.
Saat ini petang, biasanya Ashiana masih di tempat mandi bersama Daphne.
Tidak segan, Xavier memasuki kamar istrinya, lalu menoleh pintu lain di dalam sana.
Benar saja. Mereka di kamar mandi.
Pintu kembar disibaknya, langsung disambut suara merdu musik dari gramofon.
Pemandangan Ashiana dalam rendaman bunga-bunga menguasai pandangan. Mata wanita itu terpejam dengan kepala terdongak. Dia sangat menikmati moment yang tercipta begitu indah, selain musik, juga karena pijatan yang dirasakan dari tangan lembut Daphne Grover.
Saat seperti itu, Ashiana terlihat normal. Daphne yang tengah mengeramasi rambutnya langsung melengak melihat kedatangan Xavier. “Tuan---”
“Psstt!” Diinterupsi Xavier dengan gestur telunjuk merapat di depan bibir, lalu gestur lainnya yang memerintahkan Daphne untuk menyisi.
Daphne langsung paham.
“Biar aku saja. Kau boleh keluar.”
Suara yang sangat pelan.
Daphne pun berlalu segera dari ruangan.
Aroma bunga-bunga menyeruak ke penciuman. Xavier memposisikan diri di tempat Daphne tadi. Mengambil alih tugas dayang itu mencuci rambut Ashiana yang coklat pirang sedikit bergelombang.
Tiba-tiba ada perasaan kacau dalam diri Xavier. Gerakan lembutnya berubah sedikit berantakan.
Ashiana, merasa ada perubahan dari tangan lembut Daphne, dia membuka mata dan mendapati wajah Xavier tepat menguasai seluruh pandangannya. Bening mata merah itu ....
Segera dia mengangkat diri dari sandarnya lalu berdiri.
Tapi yang terjadi justru seluruh tubuhnya yang hanya berbalut busa-busa sabun, dilahap habis oleh mata Xavier.
Pria itu menelan ludah dengan mata melotot, bergeming bodoh tanpa mengalihkan pandang.
Sampai Ashiana jongkok kembali ke dalam bathtub, barulah dia tersadar.
“A-aku akan keluar,” katanya gelagapan. Cepat melanting pergi sebelum hal yang lebih konyol terjadi tanpa bisa dihindar. “Bodoh!” Dia mengutuk diri sendiri. “Aku harus bertahan sampai kutukanku benar-benar hilang. Kendalikan dirimu, Xavier.”
Terus memantrai diri sendiri sembari jalan keluar. Sedikit menyesal karena membuat kamar mandi segitu luas.
“Hasil pemeriksaan Ashiana juga belum keluar. Semua belum jelas dan aku harus bisa menahan diri.”
Pintu kamar mandi terbuka, mengejutkan Daphne yang tengah menyiapkan pakaian sang putri. Ekspresi Xavier membuatnya cukup merasa ngeri.
“Kau teruskan tugasmu di dalam. Aku ingat ada urusan mendadak.”
Tanpa sempat bertanya, Daphne mengangguk saja. Segera dia kembali ke kamar mandi untuk meneruskan sesuai kata Xavier, sekalian memastikan apa yang terjadi di dalam sana saat mereka berdua.
Tapi tak ada apa pun yang terjadi. Ashiana sedang asyik bermain sabun dan bunga-bunga.
“Huh, kukira sesuatu terjadi.” Pikiran Daphne tentu saja pada hal kotor. “Tuan dan Putri sepertinya saling terkait, tapi Tuan terus saja bersikap naif. Padahal Putri sangat menyukainya.” Dia bicara pada diri sendiri.
Daphne tahu itu. Meskipun tak waras, sikap Ashiana pada Xavier sangat jauh berbeda dengan yang biasa ditunjukkan pada semua orang. Beda cara bersikap, juga cara menatap.
Ashiana tak akan paham apa yang diucapkan, tapi bukan tak mungkin hatinya lebih sensitif daripada kewarasannya.
“Ternyata orang dengan gangguan mental bisa juga jatuh cinta. Hihi.”
Dalam kamarnya, Xavier langsung merebah dan memutuskan tidur. Lupakan Ashiana dan segala mitos di kepalanya. Tubuh tanpa busana yang hanya dibalut busa sabun, membuat hormonnya sedikit terusik. “Sial! Tidur saja!”
Esok dia dan Proka akan pergi ke Kerajaan Mávros demi sebuah misi yang sangat penting---pembentukan wilayah mati Grim Hills.
...----------------...
Waktu membawa Xavier ke tujuan.
Sebuah ruangan bernuansa monokrom abu. Sofa-sofa panjang dengan kepala elang melingkar di tengah-tengah. Lampu bulat besar di langit-langit menjuntai percaya diri.
Xavier ada di sana, berhadapan dengan Oslo Harlowid---Raja Kerajaan Mávros.
“Aku tidak menduga-duga, tidak juga bermimpi apa pun akan kedatangan tamu spesial seperti ini. Apa yang membawamu kemari, Kapten Blood?!”
Menanggapi kalimat Raja Mávros, Xavier tersenyum, lalu menjawab, “Hanya kunjungan santai. Saya tak membawa tugas apa pun dari Kaisar.”
“Wah, luar biasa. Orang sesibuk dirimu masih sempat berjalan-jalan. Dan aku merasa terhormat kedatangan panglima perang terkuat kekaisaran."
“Jangan berlebihan, Paduka Raja. Saya merasa tak pantas dipuji Anda.”
“Haha! Aku sungguh terkesan dengan sikapmu itu, Kapten.”
Beberapa obrolan terjalin mengalir, termasuk sesuatu yang sangat sensitif bagi Xavier.
“Aku heran,” kata Raja Oslo dengan kening mengernyit. “Stigma yang berkembang di seluruh jagat kekaisaran, Kapten Blood ini ... umm, maaf, berbau busuk karena kutukan. Tapi yang kudapati dan yang kurasakan saat ini berhadapan langsung denganmu ... tidak sama sekali senada dengan kabar-kabar yang konyol itu.”
Itu yang ingin didengar Xavier. Tidak dari Luhde maupun Proka yang setia padanya, karena selama ini mereka sudah terbiasa dengan baunya. Mendengar dari mulut orang lain seperti saat ini dari Raja Mávros, baru Xavier percaya jika bau busuk itu sungguh sudah berkurang. Yang dia lakukan adalah membalut dengan kasa seperti biasa disemproti parfum yang dibeli Luhde. Alhasil sisa busuk itu tidak tercium.
Nyatanya memang sudah binasa, dan itu sangat melegakannya.
“Mereka tidak salah, Paduka Raja. Kutukan itu bukan hanya stigma kosong. Saya hanya membalut dengan baju berlapis dan memakai sedikit wewangian agar tidak mengganggu Anda.” Xavier menjelaskan tenang. Dia tidak ingin panjang lebar dengan hal yang baginya terlalu tabu untuk dibahas.
“Benarkah?”
“Begitulah.”
“Hmm. Sebenarnya tak apa. Aku tidak masalah. Aku hanya mengakui kehebatan, bau kutukan itu hanya sekian kecil dari kekurangan seseorang luar biasa sepertimu, Kapten Blood.”
Bahasan berlanjut lagi, tapi Xavier menolak menjelaskan detail tentang asal mula kutukan itu pada Raja Mávros. Sampai di saat dia mengungkapkan tujuan kedatangan yang sebenarnya.
“Mohon maaf, Paduka Raja. Sebenarnya saya datang ke kerajaan ini memiliki tujuan kecil."
Raja Oslo mengerut kening. “Tujuan kecil?”
“Ya.”
“Apa itu?”
Sesaat Xavier diam, memindai ke dalam mata Raja berwajah garang itu. “Ini tak akan mudah," cicit hatinya sudah bisa menerka. “Seperti yang sudah pasti Anda tahu, saya mendapatkan hadiah perang berupa Grim Hills.”
“Ya, aku dan kita semua dari seluruh jagat kekaisaran mengetahui itu.”
“Karena itu, Paduka Raja. Untuk membuat hadiah usang itu berguna, saya ingin mengajak pulang kembali para budak dari Grim Hills yang Anda pekerjaan di pembangunan benteng selatan. Lebih tepatnya, membuat para budak itu kembali ke rumah mereka.”
Mata Raja Oslo langsung melebar. “Mengajak pulang?" Dia mengulang bagian penting saja.
“Benar ... membawa mereka pulang. Saya ingin mereka kembali mengisi kekosongan Grim Hills yang selama ini dalam kondisi mati. Jaminan hidup mereka, akan berpindah ke tangan saya. Jadi Anda tidak perlu kerepotan lagi memberi kehidupan yang seharusnya bukan tanggung jawab Anda.”
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/