Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6. MARAH
..."Kupandangi netra itu dalam diam...
...Kudengarkan setiap kata yang dilontarkan...
...Tolong siapa pun beritahu aku cara untuk berhenti...
...Bantu aku untuk tidak lagi terikat...
...Bantu aku untuk tidak lagi terjatuh...
...Dalam lubang yang sama...
...Indah namun beralaskan duka."...
Kota ini adalah kota yang masih lumayan asing untukku. Salah satu pusat kota terbesar di tanah jawa, dan aku baru pindah ke sini bersama dengan Rini dan Dini setelah diterima bekerja di Queen Megazine beberapa minggu lalu. Jadilah belum banyak tempat yang kutahu dan kukunjungi, mengingat aku menghabiskan waktu lebih banyak di tempat kerja dibandingkan untuk bermain atau jalan-jalan.
Dan aku terkejut ketika mendapati ternyata kota ini luar biasa. Banyak arsitektur peninggalan zaman belanda di sudut kota berparaskan gedung-gedung pencakar langit. Membuat siapa pun dapat merasakan perbedaan zaman dalam satu waktu. Mengagumkan. Membuatku menikmati sekitaran dengan wajah sumringah.
"Keliatan senang banget," ucap Bos Juna melengkungkan bibirnya, tersenyum geli melihat tingkahku yang seperti anak kecil baru saja keluar dari rumah pertama kali untuk jalan-jalan di luar.
"Soalnya setelah pindah ke kota ini, saya belum pernah melihat-lihat sekitaran. Jadi kagum aja pas tahu ternyata kota ini cantik banget, pantes Queen berpusat di sini," cerocosku jujur.
"Baguslah kalau kamu suka tinggal di kota ini. Banyak kok tempat-tempat bagus yang mungkin harus kamu datengin nantinya kalau ada waktu sengang," kata Bos Juna yang kini berjalan di sampingku.
Entah perasaanku saja, atau memang ia melambatkan langkahnya untuk menyamai langkah kakiku yang pendek. Dan untuk pertama kalinya aku memerhatikan Bos Juna dari jarak yang amat dekat. Membuatku tampak seperti orang bodoh ketika baru menyadari betapa jangkungnya Bos Juna ketika kami jalan beriringan seperti ini.
"Bukan aku yang tinggi, kamu aja yang kependekan, Ayuni," ejekknya seolah ia dapat membaca pikiranku sekarang.
"A-apa?" Aku shock mendengar penuturannya.
Tawa kecil kecil dari mulutnya, membuatku semakin menatapnya seperti orang bodoh.
Bos Juna tertawa?! Batinku berteriak ketika melihat hal langka ini.
"Ekspresi kamu itu lucu banget, Ayuni. Kamu itu gampang banget dibaca kayak buku yang kebuka," kata Bos Juna yang masih tertawa. Entah dimana lucunya coba.
Aku mengerutkan dahi mendengarnya tertawa seperti itu.
"Maaf, maaf, nggak maksud ngetawain kamu kayak gitu kok. Jarang banget ketemu sama orang kayak kamu yang selaras apa yang ada di hati dengan ekspresi. Biasanya orang-orang suka banget nyembunyiin apa yang ada di hati dan pikirannya. Tapi kamu terlalu jujur bahkan kamu sendiri nggak sadar akan hal itu," katanya dengan tatapan tak dapat dibaca.
Aku melihatnya mengangkat tangan ke arah wajahku, tapi kembali menjatuhkannya dengan sedikit gepalan seolah menahan sesuatu. Ia tersenyum kecil, namun tersirat konflik dalam netra obsidian itu.
"Kita lanjut jalan lagi," ucapnya yang kemudian melangkah duluan.
Kakiku mengikuti langkahnya, memercepat laju jalan agar tidak tertinggal dengan otak yang masih memeroses apa yang barusan terjadi dengannya dan aku.
Setengah jam berjalan aku tidak menyangka kalau Bos Juna akan mengajakku ke tempat yang tidak pernah kudatangi sebelumnya. Sebuah jalan dimana banyak bertebaran cafe berbagai konsep hingga restoran mahal, daerah yang cukup ramai. Ia menunjukan banyak hal yang tidak pernah kuketahui, membuatku semakin bersemangat jalan-jalan sekarang.
Bos Juna menyuruhku mengambil foto tempat-tempat yang ia tunjukan, tempat yang ada di daftar majalah kami minggu ini. Pekerjaan ini jauh lebih menyenangkan dibandingkan harus berurusan dengan tumpukan berkas dalam ruangan. Lagipula, keinginan terbesarku memang menjadi seorang fotografer handal. Kakakku tahu akan hal itu, oleh sebab itu ia memberikan hadiah kecil yang begitu besar untukku.
Saat melihat hasil jepretanku, aku terkejut kalau Bos Juna memberikan minuman kaleng dingin kepadaku.
Kami duduk di bangku taman, mengisthirahatkan diri setelah berjalan ke sana-sini mencari bahan artikel—salah satu pekerjaanku selain reviser. Orang-orang yang tengah bermain kasti di depan sana menarik perhatianku, keceriaan mereka membuatku ingin memotret mereka. Keseriusan yang langka harus diabadikan, kan.
Mataku kelihat ke arah Bos Juna saat tak sengaja mendapatinya menatapiku. “Ada apa, Bos?” tanyaku.
Seulas senyum merekah di wajahnya, lembut dan tidak terpaksa. “Udah saya bilang panggil saya Juna aja kalau di luar kantor, lagian usia kita cuma beda tiga tahun.”
“Bukannya justru nggak sopan kalau saya manggil Bos dengan nama aja padahal jelas Bos jauh lebih tua dari saya,” protesku.
Ia tertawa, entah apa yang lucu dari ucapanku barusan. Ia banyak tertawa hari ini, terlihat lebih bebas dibandingkan ketika berad adi kantor. “Panggil saja Mas Juna, nggak keberatan, kan?”
“Eh?!” Responku benar-benar tidak masuk akal. Terkejut tiba-tiba ia memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan itu. Bukankah itu membuat kami tampak ... akrab?
“Saya nggak nerima penolakan,” tegasnya.
Aku hanya diam mencoba mencerna ucapan atasanku yang sepertinya sangat tidak senang jika aku memanggilnya dengan panggilan ‘Bos’ jika di luar pekerjaan. Seakan ia punya sindrom atau fobia tersendiri dengan nama panggilan.
“Saya liat kamu kayaknya lebih senang kerja dengan kamera daripada dengan kertas, ya?” tebaknya, mungkin melihat bagaimana cekatannya aku memegang kamera sejak tadi.
Kuanggukan kepalaku. “Saya rasa juga begitu."
“Biar saya tebak, kamu pasti ingin jadi fotografer?” Tebakannya benar, sudah pasti seperti itu jika dilihat dari apa yang kupegang dan kusenangi. “Kalau fotografer kita nggak bisa dateng, kamu bisa tuh gantiinnya. Saya liat hasil foto kamu juga bagus. Kamu pernah belajar soal pemotretan?”
“Nggak secara formal. Saya belajar dari kakak saya, dia juga yang ngasih kamera ini karena dia tahu saya suka memotret,” ujarku tanpa ragu, justru terdengar membanggakan orang yang paling berpengaruh untukku itu.
“Kayaknya kamu deket banget sama kakak kamu?”
“Tentu, dia satu-satunya keluarga yang saya punya," jawabku.
Kulihat rahang Bos Juna mengeras, ada raut yang tidak kumengerti dari parasnya. Kilat marah itu kembali terlihat, tapi tidak terlalu nampak hanya seperti kilasan semata. Membuatku bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya saat ini.
Dering handphone Bos Juna terdengar, memutus obrolan kecil kami. Ia meminta izin untuk mengangkat telepon di tempat sedikit jauh, sepertinya pembicaraan penting yang cukup privasi.
Iseng, ketika sedang mengambil gambar di sekitar taman, lensaku mengarah pada Bos Juna yang sedang bicara dengan orang di seberang telepon. Beberapa kali gambarnya tertangkap dengan jelas dari berbagai sudut. Rupanya ia terlihat sempurna dalam foto, kenapa ia tidak menjadi model saja jika tahu kalau ia sebagus itu? Pikiran gilaku mulai kambuh.
Saat sibuk akan pikiranku yang melihat Bos Juna sebagai model tak langsung, aku tersentak kaget, bahkan hingga memekik kesakitan saat sesuatu menghantam sisi wajahku dengan keras. Sebuah bola kasti yang kemungkinan dari para pemain di depan sana, sepertinya keluar jalur hingga mengenaiku. Sial.
“Ayuni?!” seru Bos Juna langsung menghampiriku.
Segera ia sudah ada di depanku, duduk dan memeriksa apakah aku baik-baik saja setelah suara pekikan tadi.
“Maaf, kami nggak sengaja.” Sepertinya pemilik dari bola tersebut melihat bola itu mengenaiku, wajahnya cukup bersalah hingga ia takut saat mendapati Bos Juna menatap marah padanya.
“Kalian bisa hati-hati, kan! Kayak mana kalau bola tadi kena matanya?!” amuk Bos Juna seraya memegangi kerah baju pria yang jauh lebih muda dari kami berdua.
“Sa-saya minta maaf, saya bener-bener nggak sengaja,” kata pria yang kurasa anak SMA atau mahasiswa itu dengan takut-takut.
Bos Juna sungguh luar biasa marah, matanya terlihat sekali penuh dengan emosi. Tidak pernah aku melihatnya semurka ini sebelumnya. Padahal aku yang terkena hantaman bola tapi kenapa dirinya yang mengamuk besar seolah telah ada yang terbunuh.
“Bos, udah. Dia kan bilang kalau dia nggak sengaja, tenang,” kataku berusaha membujuknya, tidak enak dilihat oleh orang sekitar.
“Tenang? Hantaman bola itu bisa fatal akibatnya kalau sampe salah sasaran, Ayuni!” seru Bos Juna yang sepertinya tidak ingin mendengarkanku.
Aku harus bagaimana untuk membuatnya tenang, bisa-bisa orang itu kena masalah jika terlalu lama di sini. “Mas Juna, saya nggak apa-apa. Lepasin orang itu ya, nggak enak kalau diliat orang,” kataku akhirnya, menahan tangannya yang mencengkeram erat kerah baju pria muda itu sejak tadi.
Bos Juna melihatku beberapa saat hingga ia melepaskan cengkeramannya dan kembali bicara dengan pria muda itu dan berkata, “Saya maafin kali ini. Sebaiknya hati-hati kalau main, bisa jadi ada anak kecil atau orang tua yang kena. Lemparan bisa sekuat itu bisa bahaya jika salah sasaran. Mengerti?"
“Iya, saya bakal hati-hati. Sekali lagi saya minta maaf,” kata pria itu sebelum akhirnya ia kembali ke teman-temannya yang sudah tegang memerhatikan dari kejauhan.
Bos Juna langsung duduk di sampingku, pandangannya tampak sedih seakan dialah yang terluka dan bukannya aku. Tangannya terulur ke tempat dimana bola itu menghantamku, mengelusnya lembut seolah berusaha memudarkan rasa sakitnya.
Bisa kulihat dahinya mengerut dalam serta alis yang bertaut. Mata obsidian itu menatapku dengan begitu lembut dan sedih. Membuatku tidak bisa lepas menatapnya. Dan tak ingin jujur tapi aku menyukai tatapan lembut itu.
“Ini merah. Sakit?” katanya yang terlihat khawatir. Bahkan air mukanya seakan ia bisa merasakan rasa sakit di wajahku, membuatku merasa canggung.
“Sedikit. Tapi, saya nggak apa-apa.”
“Mana mungkin nggak apa-apa, mata kamu sampe berair gitu. Saya anter pulang aja, kamu harus kompres biar nggak memar besok, perintahnya.
"Nggak, mana bisa begitu. Kerjaan kita masih banyak di kantor dan harus segera diselesaikan. Kasihan Mbak Dewi kalau ditinggal sendirian pas lagi repot seperti itu," tolakku, berpikir realistis atas situasi sebenarnya di kantor. Karena jika aku pulang maka akan menyulitkan rekan kerjaku dan akan menyulitkanku besok harinya. Dan aku tidak mau pekerjaanku bertambah hanya karena pulang cepat atas perintas langsung atasan.
"Oke, tapi sampai kantor kamu harus kompres pakai es biar nggak memar nantinya. Deal?" katanya tanpa nada memerintah.
"Deal," jawabku langsung. Senang ia bisa berpikir logis untuk tidak memaksaku pulang di saat situasi pekerjaan sedang banyak.
Entah perasaanku saja atau memang Bos Juna jauh lebih lembut. Rasa khawatirnya yang berlebihan membuatku teringat akan Kak Indra, kuharap ia tidak mendengar kabar ini. Aku berani bertaruh kalau kakakku itu akan langsung datang ke sini menemuiku untuk memastikanku baik-baik saja tidak peduli ia sedang apa dan dimana.
Namun, sepertinya bantuan kali ini sudah lebih dari cukup hingga kurasa kakakku tidak perlu tahu apa yang terjadi dan bersikap berlebihan.