Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sentuhan Kecil
Memegang posisi sebagai Presiden Direktur tidaklah menyenangkan seperti namanya. Ravendra harus memikirkan banyak hal setiap hari. Meski memiliki orang-orang handal yang membantu, ia tetap kesulitan.
Membeli perusahaan ini juga bukan kehendaknya. Alan memaksa agar Dewara Grup menyelamatkan perusahaan yang hampir bangkrut hanya dalam waktu semalam. Harga saham melonjak turun dan tidak ada modal tersisa.
Banyak hal yang harus Ravendra urus dan selesaikan. Bukan hanya memeriksa laporan lima tahun terakhir, tapi semua hal yang berkaitan dengan para pemegang saham, dewan direksi bahkan General Manajer yang melarikan diri.
"Permisi, Bu Gaitsa, ini minumannya."
Gaitsa mendongak saat suara lembut itu kembali menyapa gendang telinga. "Tunggu!" ujarnya menghentikan kegiatan wanita yang akan meletakkan teh di meja. "Saya tidak suka teh. Bawa air mineral kemasan saja. Lebih simpel dan tidak akan mudah tumpah. Maaf merepotkan," lanjutnya tegas.
Sebenarnya bukan tidak suka teh, tapi cara sekretaris itu akan meletakkan minuman terlihat mencurigakan. Gaitsa tidak bermaksud memiliki pikiran negatif terhadap sekretaris Ravendra, tapi ia tidak bisa membiarkan apa pun merusak berkas-berkas yang sudah disusun rapi. Akan merepotkan kalau tehnya tidak sengaja tumpah dan membasahi semua laporan yang sudah dikerjakan susah payah.
"Tapi, lebih baik minum sesuatu yang hangat daripada air mineral. Anda pasti lelah setelah bekerja seharian."
Gaitsa menatap papan nama wanita bersurai panjang yang balas menatap tajam. "Kalau begitu tidak usah. Silahkan bawa keluar tehnya, Nona Denara."
Gaitsa kembali fokus pada berkas di tangannya, tidak berniat berdebat lebih lama. Ia harus segera menyelesaikan ini dan pulang. Biyu pasti menunggu.
"Kamu boleh pulang setelah membelikan apa yang diminta Nona Gaitsa, Denara." Ravendra yang juga sibuk dengan laporan dari berbagai anak perusahaan di laptopnya hanya bicara tanpa melirik sama sekali.
Mesin minuman biasanya ada di setiap lantai, kecuali lantai teratas tempat ruangan Direktur Utama. Denara hanya perlu turun satu lantai untuk membelikan air mineral yang diminta Gaitsa, tapi melihat bagaimana wanita itu memberi perintah seolah ia adalah pemilik perusahaan membuat Denara jengkel.
Bukankah cara Gaitsa berbicara terlalu arogan padahal hanya seorang Wakil Manajer? Tapi, Ravendra membiarkan begitu saja. Pria itu malah bersikap acuh dengan situasi yang membuat posisi Denara terlihat lebih rendah. Ia tidak bisa menerimanya!
"Saya akan membawa apa yang diminta Bu Gaitsa," ucap Denara seraya menunduk sebelum berbalik menuju pintu.
Gaitsa sekali lagi mengabaikan aura tidak menyenangkan yang terpancar dari sekretaris Ravendra. Wanita itu menghela napas pelan setelah meletakkan satu berkas dan beralih pada laporan lainnya. Ia tidak tahu sampai kapan harus bekerja.
Pukul sebelas. Gaitsa tidak bisa menahan diri untuk terus melirik arloji di pergelangan tangan. Sudah sangat larut dan ia belum menyelesaikan setengah dari pekerjaannya. Bagaimana ini? Tempat penitipan memang akan selalu buka dalam 24 jam, tapi membayangkan Biyu menjadi satu-satunya yang belum dijemput membuatnya khawatir.
Ini pertama kali Gaitsa meninggalkan anak itu dalam waktu sangat lama. Kerinduannya benar-benar hampir meledak. Ia ingin mencium bau minyak telon dari tubuh Biyu. Gaitsa merindukan tawa dan celoteh putranya.
Gaitsa kembali menghela napas, meletakkan berkas yang sudah ia periksa dan tandai ke sisi lain meja. Wanita itu mengambil botol air mineral yang dibawakan Denara dengan wajah cemberut. Sebenarnya ia ingin tertawa melihat wajah cantik itu mengerut, tapi tidak memiliki waktu untuk menertawakan orang lain.
"Sepertinya cukup untuk hari ini."
Gaitsa hampir tersedak saat suara Ravendra yang sejak beberapa jam lalu tidak terdengar sama sekali, tiba-tiba berada tepat di sisi kirinya. Ravendra sudah melepas kaca mata yang sejak tadi membingkai, membuat wajah yang sebelumnya terlihat lebih polos menghilang.
"Ya, sepertinya cukup. Saya harus pulang," ucap Gaitsa akhirnya setelah mengalihkan pandangan dari wajah tampan yang ia akui lebih berbahaya tanpa kaca mata. Netra coklat dengan tatapan tegas itu terlihat sedang menggoda padahal yang dilakukan Ravendra hanya duduk dan memperhatikan pergerakan Gaitsa.
"Ada yang membuatku penasaran," ucap Ravendra setelah memastikan pintu ruangannya tertutup sempurna.
Gaitsa tidak berniat bertanya apa yang membuat Ravendra penasaran, tapi tindakan Ravendra membuatnya melebarkan mata. Pria itu menarik Gaitsa dan memindahkan ke pangkuannya dengan sangat mudah. Apa-apaan!
"Anda mau apa?" tanya Gaitsa tajam. Tubuhnya terkunci ketika tangan Ravendra melingkari pinggangnya. Menatap netra jernih pria itu dari jarak sangat dekat membuat Gaitsa tidak nyaman. Ia takut tiba-tiba menginginkan seseorang yang sedang memangkunya.
"Saat malam pertama kita, aku menggunakan obat."
Gaitsa menaikkan sebelah alis mendengar pengakuan yang tiba-tiba. Wanita itu tentu saja tahu. Ia tidak pernah lupa bagaimana Ravendra melemparkan bungkus pil kosong padanya, sambil mengatakan bahwa obat itu yang membuatnya sudi menyentuh tubuh kotor Gaitsa.
"Kupikir obat yang membuatku baik-baik saja saat menyentuhmu, jadi aku mencobanya lagi. Aku minum obat dan melakukan kontak fisik dengan wanita lain, tapi tidak ada hasil."
Gaitsa mengerutkan kening. Apa maksudnya? Pria itu sedang memberitahu tentang perselingkuhannya sendiri atau bagaimana? Menggunakan obat dan berusaha menyentuh wanita lain, tapi tidak berhasil?
"Apa maksud Anda? Jangan berbelit dan lepaskan saya." Gaitsa memberanikan diri menatap tajam netra coklat yang juga sedang menatapnya.
"Dari dulu aku tidak pernah menyukaimu," ucap Ravendra lagi. Itu adalah fakta yang sudah diketahui Gaitsa sejak sangat lama, jadi tidak perlu repot memberitahunya. "Aku tidak suka dekat-dekat denganmu," lanjutnya tanpa melepas dekapan dari tubuh Gaitsa.
"Sepertinya Anda kurang sehat, Pak. Lebih baik beristirahat," tukas Gaitsa seraya berusaha turun. Tentu saja usahanya sia-sia.
"Tapi, kenapa aku bisa menyentuhmu? Aku bisa memeluk sambil membiarkanmu duduk di pangkuanku. Bahkan sekarang ... aku merasa gila karena ingin membantingmu ke ranjang dan mencumbu seluruh tubuhmu. Padahal aku sedang tidak menggunakan obat."
Gaitsa merasa seluruh wajahnya terbakar. Kenapa Ravendra mengatakan hal-hal kotor dengan wajah tampannya itu? Wanita itu masih berusaha melepaskan tangan Ravendra di pinggangnya. Ia bukan perempuan yang bisa digoda hanya dengan beberapa kata!
Tidak bisa menyentuh wanita lain katanya? Bagaimana dengan wanita yang waktu itu Ravendra peluk? Gaitsa masih tidak lupa bagaimana Ravendra tersenyum hangat dan penuh kasih sayang. Sesuatu yang tidak pernah pria itu berikan pada Gaitsa.
"Berhenti bicara omong kosong dan lepaskan aku!" Gaitsa merasa marah, hatinya terluka meski tidak ingin.
Jantung yang berdegup cepat dan tubuhnya yang memanas hanya dengan sentuhan kecil Ravendra di pinggangnya membuat Gaitsa sangat marah pada dirinya sendiri.
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant