Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15-Janggal
Arumi Syahiba, seorang dokter kandungan yang saat ini bekerja di salah satu rumah sakit ternama. Muda, cantik, pintar, dan juga berpenampilan menarik. Tak heran mengapa Mas Rezza begitu tergila-gila pada tunangannya. Sebab, sebagai perempuan pun aku mengagumi sosoknya.
Akhirnya kini kami kembali bertemu, dan untuk kali pertamanya aku berbincang hanya berdua dengannya. Sedikit gugup dan canggung, takut salah bicara dan bertindak. Hubungan di antara kami memang tidak dekat, cenderung seperti orang asing. Mbak Rumi yang menurutku terlalu kaku, ditambah aku yang juga sama kakunya jika bertemu orang baru.
Padahal hubungan yang terjalin di antara Mas Rezza dan Mbak Rumi sudah sebelas tahunan. Tapi, rasa sungkan dan segan itu bersemayam nyaman. Mau heran, tapi ini adalah kenyataan. Berbincang dengan calon kakak ipar saja membuatku panas dingin tak keruan.
"Ada hal penting yang mau kamu sampaikan, Nia?" tanyanya ramah dengan suara yang lemah lembut.
"Maaf sebelumnya karena aku sudah mengganggu waktu Mbak."
Mbak Rumi tersenyum tipis dan menggeleng. "Gak usah terlalu formal dan gugup gitu, Nia. Mbak gak akan gigit kamu," katanya diakhiri sebuah kekehan.
Aku menggaruk tengkuk yang tidak gagal. Bingung harus memulai obrolan ini dari mana, tapi aku sedikit lega karena ternyata Mbak Rumi tidak sekaku seperti yang kupikirkan.
"Mau bahas soal masalah Mbak sama Mas Rezza?"
Aku mengangguk pelan.
"Mbak minta maaf karena permintaan Mama yang gak masuk akal, buat keluarga kamu kebingungan. Mbak juga bingung harus bagaimana membujuk Mama agar bersedia menurunkan maharnya."
"Apa Mamanya Mbak Rumi gak merestui hubungan kalian? Mungkin saja syarat yang beliau berikan itu, bertujuan untuk membuat Mas Rezza mundur," sahutku sehalus mungkin, tak ingin Mbak Rumi salah paham dengan perkataanku.
"Bukan karena itu, Nia. Keadaan yang membuat Mama bertindak seperti itu," katanya lesu.
"Keadaan seperti apa maksud, Mbak?"
Mbak Rumi terlihat menghela napas berat lalu setelahnya berucap, "Mama perlu biaya banyak untuk cuci darah Papa yang semakin hari semakin parah. Beliau buntu sampai akhirnya mengambil jalan pintas seperti ini. Belum lagi, beliau pun harus menebus sertifikat rumah yang telah digadainya. Mbak tahu Papa memang sudah sakit ginjal dari lama, jadwal cuci darahnya pun rutin tak pernah tertinggal. Mbak kira finansial kami baik-baik saja, tapi ternyata Mbak baru tahu kalau Mama sudah menggadai sertifikat rumah untuk membiayai pengobatan Papa, dan juga membiayai kuliah Mbak sampai bisa selesai dan mendapat gelar sarjana."
Mbak Rumi terdiam sejenak, dia mengusap sudut matanya yang sedikit berair. "Mbak gak akan memaksa Mas Rezza untuk memenuhi syarat yang Mama minta. Bahkan, Mbak sudah meminta Mas Rezza untuk mencari perempuan lain saja, Mbak gak ingin melibatkan Mas Rezza dalam masalah keluarga Mbak."
Aku tertegun, lidahku kelu untuk melontarkan kata-kata. Masalahnya ternyata serumit ini, aku tidak menyangka jika terjal sekali ujian yang tengah Mbak Rumi alami.
"Mbak sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Mbak, titip cincin ini yah, Mas Rezza selalu menolak kalau Mbak langsung yang memberikannya."
Bibir Mbak Rumi memang tersenyum, tapi matanya memerah menahan tangis. Dia tak bisa menutupi kesedihannya, dan aku sangat paham akan hal itu.
"Apa gak sebaiknya dibicarakan lagi sama Mas Rezza? Dicari solusi terbaik, jangan mengambil keputusan di saat kondisi seperti ini. Mbak Rumi sedang tidak baik-baik saja," ungkapku seraya meletakkan cincin tunangannya lagi.
Untuk memberikan saran yang lebih jauh, rasanya aku tidak mampu. Aku tak memiliki kapasitas untuk itu. Sebatas mengingatkan saja, aku merasa tidak pantas, sebab ilmuku yang sangat amat terbatas.
"Mbak rasa ini yang terbaik."
Aku terpaku mendengar kalimat tersebut. Tak bisa menyangkal ataupun membatah, karena memang aku tidak mengetahui secara utuh bagaimana permasalahannya. Bisa saja, ada faktor lain yang membuat Mbak Rumi mengambil keputusan tersebut.
"Mbak mau ke mana?" tanyaku ikut berdiri karena tiba-tiba saja Mbak Rumi bangkit dari duduknya.
Mbak Rumi melirik arlojinya sebentar lalu tersenyum tipis. "Mbak masih ada pasien. Gak papa, kan kalau Mbak tinggal?"
Aku menahan tangannya. "Bisa kasih aku waktu sebentar lagi? Perbincangan kita belum selesai."
"Semuanya sudah selesai."
"Aku akan bantu menebus sertifikat rumah Mbak, dan aku akan meminta Mas Rezza untuk bertanggung jawab atas pengobatan Papanya Mbak Rumi."
Perkataanku berhasil membuat langkah Mbak Rumi terhenti. Dengan segera aku pun menghampirinya.
"Jumlahnya gak sedikit, Nia."
Aku mengangguk singkat. "Aku tahu, tapi aku pastikan akan membantu Mbak dan keluarga," kataku.
"Gaji Mbak saja hanya bisa untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan menabung untuk biaya cuci darah Papa. Apa kabar kamu yang sudah berumah tangga? Kebutuhan kalian pasti jauh lebih banyak dari Mbak yang saat ini masih melajang. Mbak gak mau merepotkan orang lain."
Tidak tahu saja Mbak Rumi kalau aku punya ATM berjalan, meskipun Bang Fariz pelitnya nauduzbilah. Tapi aku masih punya Mama Mertua yang baik hati dan pasti dengan senang hati menolongku, setidaknya menambah uang tabunganku yang jumlahnya hanya sedikit itu. Lagi pula Bang Fariz pun sudah bersedia untuk membantu menyelesaikan masalah Mas Rezza dan Mbak Rumi.
Hasil dari bisnis yang kurintis selalu ditabung, tujuannya untuk membangun sebuah butik. Tapi, melihat kondisi sekarang, aku rasa keinginan itu harus kulupakan sejenak. Aku percaya, jika aku membantu meringankan beban orang lain, maka Allah pun akan membantu untuk meringankan bebanku.
Jika kita berbuat baik pada sesama, sejatinya kita sedang berbuat baik pada diri kita sendiri. Maka dari itu sebisa mungkin aku berusaha untuk menebar banyak kebaikan.
"Aku gak bermaksud untuk menyinggung Mbak dan keluarga, aku hanya ingin membantu saja. Ini semua aku lakukan untuk kebahagiaan Mas Rezza dan juga Mbak Rumi. Aku gak mau kalian terus terjebak hubungan haram, meskipun aku tahu kalau dengan cara menikah gak menggugurkan dosa pacaran kalian. Tapi aku ingin kalian halal," tukasku berharap Mbak Rumi tidak salah tangkap.
"Sudah selesai belum? Abang telat gak jemputnya?"
Aku terperanjat saat mendapati suara Bang Fariz yang datang tiba-tiba. Mungkin aku tidak sadar, sebab fokusku hanya pada Mbak Rumi saja.
"Abang dari kapan?"
"Baru aja kok. Kenapa?"
Spontan aku pun menggeleng. "Oh, iya kenalin Bang ini Mbak Rumi, tunangannya Mas Rezza," kataku seraya memperkenalkannya. Karena memang ini merupakan pertemuan pertama bagi Bang Fariz dan Mbak Rumi. Sebab, pada saat hari pernikahan kami, Mbak Rumi berhalangan hadir.
Bang Fariz mengalihkan pandangannya pada sosok yang berdiri tak jauh di sampingku. Namun, aku merasa heran karena mimik wajah mereka tiba-tiba berubah. Yang semula menebar senyum, seketika menjadi kaku dan tegang.
"Kalian sudah saling mengenal?" tanyaku keheranan.
"Kita pulang sekarang!" tegas Bang Fariz seraya menarik tanganku cukup kencang.
"Kenapa? Ada apa, Bang?"
"Pulang."
Aku tak lagi bersuara saat mendapat intonasi dinginnya. Dengan segera aku berpamitan pada Mbak Rumi, dan berjalan cepat karena tanganku yang masih dicekal. Langkah Bang Fariz sangat tergesa-gesa.