Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.
Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.
Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?
Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Semua Terungkap
Pagi itu, Aruna duduk di depan meja kerjanya sambil ngeliatin layar laptop. Matahari udah mulai tinggi, tapi pikirannya masih stuck di percakapan semalam sama Nathan. Suara orang-orang di luar apartemennya terdengar samar-samar, tapi dia nggak terlalu peduli.
“Lo masih kepikiran, Run?” suara Tara, temen sekantornya sekaligus satu apartemen, bikin Aruna kaget. Tara berdiri di pintu dapur sambil megang cangkir kopi.
Aruna menghela napas. “Gue nggak ngerti, Tar. Kadang gue ngerasa Nathan ngerti perasaan gue, tapi kadang dia kayak terlalu takut buat mutusin apa-apa.”
Tara duduk di sebelah Aruna, matanya penuh perhatian. “Lo yakin nggak terlalu buang waktu, Run? Maksud gue, Nathan itu sahabat lo. Kalau ujung-ujungnya dia nggak bisa milih, apa nggak lebih baik lo mulai ngejaga jarak?”
Aruna diem. Kata-kata Tara masuk banget ke hatinya. Tapi, ngebayangin ngejauhin Nathan itu hal terakhir yang pengen dia lakuin.
“Gue nggak tahu, Tar. Gue cuma takut kalau gue pergi, semuanya bakal berubah. Gue nggak mau kehilangan dia.”
Tara nyeruput kopinya sambil senyum kecil. “Kadang lo perlu ngelepas sesuatu biar lo tahu itu bener-bener buat lo atau nggak.”
Sebelum Aruna sempat jawab, ponselnya bergetar. Nama Reyhan muncul di layar. Aruna buru-buru angkat telepon.
“Hey, Rey. Ada apa?”
“Lo free nggak hari ini?” tanya Reyhan di seberang sana. “Gue pengen ajak lo jalan-jalan. Udah lama kan kita nggak ngabisin waktu bareng.”
Aruna melirik Tara, yang langsung ngangguk kayak ngasih kode biar dia pergi.
“Oke, gue free. Ketemu di mana?”
Reyhan nyebut nama taman kota, tempat favorit mereka berdua buat ngobrol santai. Setelah selesai telepon, Tara nyengir sambil melipat tangannya.
“Reyhan itu kelihatan tulus banget, Run. Gue rasa dia bener-bener serius sama lo.”
Aruna ngelirik Tara dengan tatapan bingung. “Serius gimana? Dia cuma sahabat, Tar.”
Tara ngakak kecil. “Sahabat? Run, lo kadang terlalu polos. Coba deh perhatiin cara dia ngeliat lo. Itu nggak cuma sebatas temen.”
Aruna cuma geleng-geleng kepala, tapi di dalam hatinya dia sedikit terusik. Apa mungkin? Apa Reyhan punya perasaan yang lebih dari sekadar sahabat?
Siang itu, Aruna ketemu Reyhan di taman kota. Udara sejuk, dan pohon-pohon rindang bikin suasana adem. Reyhan udah duduk di bangku taman sambil nyengir lebar begitu ngeliat Aruna datang.
“Lo nggak berubah, Run. Selalu telat,” candanya.
Aruna duduk di sebelahnya sambil nyengir. “Nggak telat juga kali. Gue cuma… nyesuaiin waktu biar lo nggak kelamaan nunggu.”
Reyhan ngakak kecil. “Alasan lo tuh emang nggak pernah berubah.”
Mereka ngobrol ngalor-ngidul soal banyak hal, mulai dari kerjaan, teman-teman lama, sampai cerita lucu yang bikin Aruna ketawa ngakak. Tapi, di tengah obrolan itu, Reyhan tiba-tiba jadi serius.
“Run,” katanya sambil ngeliatin Aruna, “Gue cuma mau lo tau satu hal. Lo itu orang yang spesial banget. Kalau lo ngerasa ada orang yang bikin lo ragu, mungkin itu tandanya dia nggak pantas buat lo.”
Aruna tertegun. “Maksud lo apa, Rey?”
Reyhan tersenyum tipis, tapi ada kehangatan di matanya. “Nggak apa-apa. Gue cuma pengen lo inget kalau gue selalu ada buat lo, apapun yang terjadi.”
Aruna cuma bisa tersenyum tipis, tapi dalam hati dia mulai bertanya-tanya. Apa mungkin Reyhan adalah jawabannya? Atau ini cuma sebuah pengalihan sementara dari perasaan bimbangnya terhadap Nathan?
Setelah pertemuan di taman, pikiran Aruna makin kacau. Perkataan Reyhan terus terngiang-ngiang. Sambil ngelamun di kamar, dia nge-scroll galeri fotonya. Ada banyak foto dia sama Nathan, sebagian besar diambil waktu mereka masih SMA. Senyum Nathan di foto-foto itu bikin dada Aruna sesak.
“Kenapa semua jadi rumit, sih?” gumamnya sambil ngelempar ponsel ke kasur.
Ponselnya tiba-tiba bunyi lagi. Kali ini nama Nathan muncul di layar. Aruna ragu beberapa detik sebelum akhirnya angkat.
“Lo lagi sibuk nggak, Run?” suara Nathan terdengar di seberang, agak pelan.
“Nggak, kenapa?”
“Gue lagi deket daerah lo. Bisa ketemu bentar?”
Aruna diam sejenak. “Oke, di mana?”
“Kafe biasa,” jawab Nathan singkat sebelum menutup telepon.
Di kafe, Nathan udah duduk di pojok sambil mainin gelas kopinya. Begitu Aruna masuk, dia langsung ngelambaikan tangan.
“Lo keliatan kusut,” komentar Nathan sambil nyengir.
Aruna mendengus kecil. “Lo juga nggak jauh beda.”
Mereka duduk dalam diam beberapa saat. Suasana canggung yang jarang banget terjadi di antara mereka. Biasanya, Nathan selalu bisa bikin Aruna nyaman. Tapi kali ini, ada sesuatu yang beda.
“Gue butuh saran lo,” Nathan akhirnya ngomong, suaranya pelan.
“Saran soal apa?”
“Soal Keira.”
Nama itu bikin Aruna langsung tegang. Dia nggak jawab apa-apa, cuma nunggu Nathan lanjutin.
“Dia bilang dia pengen hubungan kita lebih serius,” Nathan melanjutkan. “Tapi gue nggak yakin gue siap. Gue ngerasa ada sesuatu yang gue tahan, sesuatu yang bikin gue nggak bisa maju.”
“Kayak apa?” tanya Aruna pelan, meskipun dia udah bisa nebak arah pembicaraan ini.
Nathan menatap Aruna lama sebelum akhirnya buka suara. “Gue nggak tau, Run. Tapi setiap kali gue mikirin masa depan, lo selalu ada di situ.”
Hati Aruna langsung berdebar kencang, tapi dia berusaha tetep tenang. “Nathan… lo sadar nggak sih, apa yang lo baru aja bilang?”
Nathan menghela napas panjang, tangannya mencengkeram gelas kopinya. “Gue sadar, Run. Tapi gue juga nggak mau egois. Lo temen terbaik gue, dan gue nggak mau kehilangan lo kalau gue salah langkah.”
“Dan lo pikir nyimpen perasaan ini bakal bikin semuanya lebih gampang?” Aruna akhirnya nggak bisa nahan diri. “Lo nggak ngerti, Nate. Lo nggak ngerti apa yang gue rasain.”
Nathan menatap Aruna kaget. “Maksud lo apa?”
Aruna berdiri, suaranya mulai gemetar. “Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini, Nate. Kalau lo nggak bisa mutusin apa yang lo mau, gue nggak bisa terus ada di sini.”
Dia langsung pergi sebelum Nathan sempat jawab. Dadanya sesak, matanya panas.
Malamnya, Aruna duduk di balkon apartemennya. Udara dingin, tapi dia nggak peduli. Dia lagi merenung ketika ponselnya bunyi. Pesan dari Reyhan.
Reyhan: Lo baik-baik aja? Gue ngerasa ada yang beda tadi siang.
Aruna tersenyum tipis. Dia balas pesan itu dengan singkat.
Aruna: Gue baik. Thanks udah ada buat gue.
Malam itu, Aruna sadar satu hal. Dia nggak bisa terus terjebak di antara perasaan yang nggak pasti. Kalau Nathan nggak bisa mutusin, mungkin dia harus mutusin untuk dirinya sendiri.
Aruna nggak bisa tidur semalaman. Pikiran tentang percakapannya dengan Nathan terus menghantui. Dia merasa capek, bukan cuma fisik, tapi juga emosinya. Saat pagi datang, dia memutuskan untuk pergi ke taman, tempat di mana biasanya dia merasa tenang.
Di taman, Aruna duduk di bangku favoritnya, memandang bunga-bunga yang mulai bermekaran. Udara pagi yang sejuk sedikit menenangkan pikirannya. Tapi, ketenangan itu nggak bertahan lama.
“Run?” suara yang nggak asing bikin Aruna menoleh.
Reyhan berdiri di dekatnya, membawa secangkir kopi di tangan.
“Lo ngapain di sini pagi-pagi?” tanya Reyhan sambil duduk di sampingnya.
“Nyari udara segar,” jawab Aruna singkat.
Reyhan memperhatikan wajah Aruna. “Lo kelihatan capek. Masih mikirin Nathan?”
Aruna menghela napas panjang. “Gue cuma… bingung. Kenapa semuanya jadi serumit ini, Han?”
“Karena lo peduli,” Reyhan menjawab pelan. “Kadang, perasaan lo ke seseorang bikin semuanya jadi lebih susah. Tapi itu nggak salah, Run. Itu cuma nunjukin kalau dia berarti buat lo.”
Aruna tersenyum kecil. “Lo bener. Tapi gue capek nunggu sesuatu yang nggak pasti.”
Reyhan menatap Aruna dengan serius. “Kalau lo capek, jangan nunggu lagi. Jalanin hidup lo, Run. Jangan biarin perasaan lo ke Nathan bikin lo berhenti buat bahagia.”
Aruna terdiam. Kata-kata Reyhan menohok, tapi dia tahu itu benar.
“Lo bener,” gumamnya.
Reyhan tersenyum tipis. “Kalau ada apa-apa, gue selalu ada buat lo. Ingat itu.”
Hari itu, Aruna mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri. Dia pergi ke kantor, menyibukkan diri dengan kerjaan, dan sesekali ngobrol dengan Tara. Tapi, pikirannya masih sering kembali ke Nathan.
Saat malam tiba, Nathan tiba-tiba mengirim pesan.
Nathan: Run, gue bisa ketemu lo lagi? Gue butuh ngomong.
Aruna ragu. Dia tahu kalau ketemu Nathan sekarang mungkin cuma bakal bikin semuanya makin rumit. Tapi di sisi lain, dia merasa perlu mendengar apa yang Nathan mau bilang.
Setelah beberapa menit berpikir, dia akhirnya membalas.
Aruna: Oke. Di tempat biasa.
Di kafe favorit mereka, Nathan udah duduk nunggu ketika Aruna datang. Kali ini, wajah Nathan terlihat serius, jauh dari biasanya.
“Thanks udah mau ketemu,” Nathan membuka pembicaraan.
“Jadi, lo mau ngomong apa?” Aruna langsung to the point.
Nathan menatap Aruna dalam-dalam. “Gue sadar gue udah lama bikin lo nunggu. Gue tahu gue sering nggak jelas soal perasaan gue. Tapi, ada satu hal yang gue pengen lo tahu.”
Aruna diam, menunggu Nathan melanjutkan.
“Gue nggak bisa bohong lagi, Run. Gue suka sama lo,” Nathan akhirnya ngomong, suaranya pelan tapi penuh keyakinan.
Perkataan Nathan bikin waktu seperti berhenti. Aruna menatapnya, bingung antara senang, lega, atau justru sedih.
“Nathan…” suara Aruna hampir nggak terdengar. “Kenapa lo baru bilang sekarang?”
“Karena gue takut,” jawab Nathan jujur. “Takut kalau gue bilang, semuanya bakal berubah. Gue nggak mau kehilangan lo, Run. Tapi sekarang gue sadar, kalau gue terus diem, gue bakal nyakitin lo lebih jauh.”
Aruna menarik napas dalam-dalam. Dia nggak tahu harus ngomong apa. Perasaan yang selama ini dia pendam akhirnya terungkap, tapi di saat yang sama, luka yang udah Nathan buat nggak bisa hilang begitu aja.
“Lo tahu, Nate? Gue suka lo juga,” akhirnya Aruna mengaku. “Tapi gue nggak yakin kita bisa balik kayak dulu lagi. Gue butuh waktu buat ngeberesin semuanya.”
Nathan menunduk, terlihat kecewa, tapi dia mengangguk pelan. “Gue ngerti, Run. Gue cuma pengen lo tahu, gue di sini buat lo, kapan pun lo siap.”
Aruna tersenyum tipis. “Thanks, Nate. Tapi sekarang, gue perlu waktu buat diri gue sendiri.”
Malam itu, Aruna pulang dengan perasaan campur aduk. Dia lega akhirnya semuanya terungkap, tapi dia juga tahu kalau perjalanan mereka masih panjang. Untuk pertama kalinya, dia merasa punya kontrol atas hidupnya sendiri.
Dan mungkin, itu awal dari sesuatu yang lebih baik.