Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#14•
#14
POV Dean Alexander Geraldy.
Semilir angin bertiup, membunyikan gemerincing lampu hias yang ada di tengah pendopo. Helai-helai dedaunan ikut berterbangan seolah kita sedang berada di tengah lokasi syuting sebuah drama romansa. Dan aku membiarkan kedua mataku menikmati kecantikan yang seolah tak pernah memudar dari wajahmu.
Yah, dimataku kamu masih seperti yang dulu, gadis muda yang ceria dengan pesona yang belum mampu ditampik oleh hatiku sendiri. Pernah menjadi kekasihmu, adalah hal luar biasa dalam hidupku, tapi aku marah pada diriku sendiri ketika justru aku sendirilah yang merusak hubunganku denganmu.
Kita masih dua remaja belia ketika aku mengajakmu berkenalan di halte bus sore itu, hatiku bersorak kegirangan ketika alam semesta seolah memudahkan keinginanku menarik perhatianmu. Mendung yang tiba-tiba menyelimuti langit, membuatmu terpaksa menerima ajakanku, karena mobil yang seharusnya menjemputmu justru masih dalam perbaikan.
Dan kini, bolehkah aku berbahagia karena Tuhan kembali membuat kita bertemu? walau situasi tak lagi sama. Kamu yang telah bersuami, dan aku yang …
“Apa kabar, Kak?” Sapamu, tanganmu pun terulur kepadaku.
Mau tak mau, aku balas dengan menyambut uluran tanganmu, tanganmu yang halus membuatku otakku semakin kurang ajar memikirkan lebih. “Baik, Alhamdulillah,” jawabku, karena tak ingin larut dalam fantasi liarku.
“Mana Mom dan Daddy?”
Aku tersenyum, sembari menyembunyikan kedua tanganku di balik saku celana. “Para orang tua itu menyingkirkanku, mereka gak mau nostalgia mereka terganggu dengan kehadiranku.”
“Jadi karena itu, Kakak duluan kemari?”
“Syukurlah aku duluan, karena aku jadi bisa bertemu denganmu.” Jawabanku tanpa maksud apapun, tapi sungguh aku bersyukur karena bisa bertemu kembali denganmu.
Tiba-tiba kamu tersenyum lepas, sungguh cantik, “hahaha, apa istimewanya?”
“Gak ada, hanya seperti reuni dengan kawan lama,” jawabku.
“Ah, iya benar juga.”
Seorang ART datang dengan nampan berisi teko serta beberapa cangkir, ia menunduk ketika melewati kami, kemudian meletakkan wedang pokak beraroma pandan dan kayu manis diatas meja.
“Silahkan Ndoro Bagus.” ART tersebut mempersilahkan aku menikmati wedang tersebut.
“Tini, cuma ini? Camilannya mana?” tanyamu pada ART tersebut.
“Pisang goreng, masih ondewey, Ndoro Ayu,” jawab ART tersebut, walau tak seratus persen benar bahasa inggrisnya.
“Cepat yah, aku lapar.”
“Siap, Ndoro Ayu.”
Setelah ART berlalu.
“Silahkan duduk.” kamu mempersilahkan aku untuk duduk di kursi ukir yang ada di sudut pendopo tersebut.
Aku pun duduk tepat di hadapanmu. samar-samar aku mencium aroma musk lembut dari dirimu, menguar diantara aroma pandan, kayu manis, dan kini aku pun mencium aroma jahe. Entah kenapa kumerasa aroma ini sangat sesuai dengan dirimu yang lemah lembut.
Adhis menyuguhkan cangkir berisi wedang pokak kearahku, kemudian menuang kembali di cangkir baru untuk dirinya sendiri, “Lagi cuti?” tanya Adhis padaku.
“Iya,” Jawabku apa adanya, karena aku memang berniat cuti sedikit lebih panjang, karena penat sedang teramat sangat mendera tubuh dan pikiranku.
“Anak dan istri kakak, mana? Kenapa cuti begini malah jalan-jalan sendiri?” Adhis kembali melontarkan pertanyaan.
Aku tersenyum simpul sebelum menjawab pertanyaannya, “Celline sedang sibuk dengan proyek terbaru untuk majalahnya, dan Aaron baru mulai tahun ajaran baru. Lagi pula bulan lalu kami sudah berlibur ke Hawai.”
Adhis mengangguk mendengar penjelasanku, dalam hati aku berharap semoga ini pertanyaan terakhirnya, aku kurang nyaman menjawab pertanyaan yang berkenaan dengan kehidupan pribadiku. “Dan tiba giliranku memperpanjang liburan, karena sudah lama aku tak mengunjungi Indonesia.”
Kuhirup aroma wedang di cangkirku, sebelum aku menyesapnya perlahan, tapi siapa sangka jika mata ini tak bisa lepas dari wanita yang duduk anggun dihadapanku. Tahukah ia, jika ada ruang kosong dalam hatiku yang tak pernah bisa Celline tempati? Yah, itulah tempat yang dulu pernah ia singgahi, sebelum aku mendorongnya pergi dari hidupku.