Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Stev memecahkan balon. Lima belas orang dari perwakilan tim mulai berkerumun di depan lemari pakaian dan berebut mengambil barang-barang yang mereka anggap cocok untuk mereka.
Elin menjadi perwakilan dari kelompok empat. Tubuhnya yang mungil seharusnya bisa menerobos masuk di antara kerumunan orang-orang itu, tetapi entah mengapa Elin justru terus-terusan terlempar keluar dan akhirnya hanya mendapatkan kostum dari sisa-sisa tim lain.
"Seharusnya aku yang maju ke depan," kata James penuh sesal.
Elin kembali dengan wajah cemberut sambil menenteng; kaos oblong berukuran besar, kacamata hitam, tas selempang, dan topi bucket.
"Sori. Sepertinya kita tidak bisa berbuat apa-apa dengan barang-barang sisa ini." Elin tampak tidak bersemangat.
Di depan kelas, Vany kembali berbicara. "Yang sudah dapat baju dan aksesoris, harap minta bantuan dari salah satu teman kalian untuk bersiap di belakang panggung, ya. Nanti kita akan adakan fashion show itu di sini. Miss Ode sudah menyiapkan ruang ganti dan meja rias, lengkap dengan peralatan make-up. Kalian tinggal mengaplikasikannya dengan kreativitas kalian. Ayo yang sudah dapat barangnya, segera bersiap, ya!"
Eline menatap James. "Bagaimana menurutmu?"
James menggelengkan kepalanya.
Aline terdiam, menatap barang-barang di tangan Elin.
Gadis itu tampak berpikir keras.
"Streetwear...."
"Ya? Apa barusan kamu bilang sesuatu?" Elin menepuk pundak Aline, tapi gadis itu mengabaikannya. Aline sibuk dengan pikirannya sendiri.
Uli, James, dan Elin mengernyit melihat tingkah aneh Aline yang sedari tadi berjalan-jalan seperti setrikaan.
"Aline? Kamu baik-baik saja, kan?"
Tiba-tiba Aline menjentikkan tangannya sambil tersenyum pada ketiga temannya. "Aku punya ide."
Ketiga temannya saling memandang dengan heran.
"Ide? Apa?"
"Coba lihat celana yang kamu pakai itu, El. Aku pikir dengan celana itu, kita bisa membuat penampilan baru kamu dengan barang-barang yang kamu dapatkan tadi."
"Maksud kamu?"
"Korean style, bagaimana?"
"Korean style, ya? Wah, benar juga. Celanaku bisa dipakai untuk penampilan Hip-hop. Kenapa aku nggak kepikiran sampai ke sana? Astaga. Padahal sesimple itu, tapi nggak tahu kenapa ini otak kayaknya benar-benar kosong, deh. Kamu bisa bantu aku di belakang layar, kan? Ayo!" Tanpa menunggu jawaban, Elin langsung menarik lengan Aline ke belakang panggung.
Di ruang kecil yang sudah disediakan Ode, Aline mulai sibuk menata riasan untuk Elin. Elin memiliki kulit sawo matang dan punya masalah dengan minyak di wajahnya. Untuk mengatasinya, pertama-tama Aline menyuruh Elin untuk mencuci mukanya dan menyemprotkan spray wajah. Aline sengaja mendiamkan air itu menyerap ke pori-pori wajah Elin, kemudian baru mengoleskan primer ke seluruh permukaan wajah Elin, terutama di dahi, hidung, dan sekitar mulutnya. Area T-zone, begitu para beauty blogger menyebutnya. Selanjutnya, Aline memoleskan sedikit BB cream dan menimpanya dengan bedak padat yang kemudian dilapis lagi dengan bedak tabur. Aline juga memakai sedikit eyeliner dan membuat sayap kecil di sudut mata Elin. Aline lalu mengambil pensil alis coklat dan menggambarnya tipis-tipis untuk memberikan kesan wajah yang tegas. Untuk mengunci semua riasan di wajah Elin, Aline mengaplikasikan spray wajah tadi dan memoleskan lipstik merah di atas bibir tebal Elin.
"Ini terlalu sederhana, kan, Al?"
Aline menggeleng. "Menurutku, ini seimbang dengan penampilan dan konsep pakaian yang kamu kenakan."
"Apakah ini akan berhasil?"
Aline mengangguk lalu menyuruh Elin berganti pakaian sesuai dengan instruksinya.
Lima menit kemudian, Elin keluar dari ruang ganti. Ekspresinya tampak berseri-seri.
Elin menggenggam tangan Aline. "Aku merasa seolah melihat orang lain dalam diriku. Aku sangat puas. Perbedaan sebelum dan sesudah riasan ini benar-benar terlihat, Al. Jujur saja, aku tidak pernah merasa sebahagia ini saat memakai riasan. Aku benar-benar tidak bisa melihat wajahku sendiri. Aku tidak tahu kamu pandai merias wajah. Tanganmu benar-benar hebat membuat wajahku secantik ini."
Aline tersenyum. "Bukan aku, tapi kamu yang cantik. Tanpa riasan pun, kamu sudah menarik."
Eline tersipu. Wajahnya langsung memerah. "Bisa saja kamu."
Aline menepuk punggung Elin lembut. "Nanti kamu berjalan saja seperti biasa saja, ya? Jangan gugup. Anggap saja karpet merah itu seperti jembatan yang harus kamu lewati untuk mencapai tujuan. Atau kalau kamu masih gugup juga, kamu bayangkan saja kalau karpet merah di depan kamu itu hanya selembar kertas kosong dan kamu adalah pensil yang harus mewarnainya dengan senyuman kamu. Kamu harus tampil percaya diri, oke?" kata Aline sambil mengedipkan mata.
Elin mengangguk. "Trims, Al."
Aline keluar dari balik panggung setelah merapikan rambut Elin dan mengenakan topinya dengan benar.
Peragaan busana untuk orientasi pun dimulai. Stev mengganti lagu Tuxedo dengan musik milik Jennifer Lopez yang berjudul On the floor.
Setiap siswa dari kelompok yang berbeda memamerkan gaya terbaiknya. Saat tiba giliran Elin, semua orang tercengang karena terkesima dengan penampilan Elin yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Elin tampil memukau, ekspresi wajah dan langkahnya persis seperti model papan atas. Wajah Elin tampak tegas, tatapan matanya lurus ke depan, berpose layaknya model sungguhan.
Vany pun bersorak melihat penampilan Elin. Sambil berjalan membawa kamera, Vany merekam penampilan Elin yang menonjolkan polesan make-up dengan paduan busana yang sesuai dengan kepribadiannya.
Pakaian yang dikenakan Elin tampak anggun dengan penampilan yang natural; rambut terurai sebahu, kemeja oversized merah muda, tas selempang dan kacamata hitam, bucket hat, sepatu kets putih, serta kulot berwarna maroon.
Dalam peragaan busana yang memiliki konsep women streetwear bertemakan Korean style, tim empat yang diketuai oleh Aline akhirnya berhasil mendapatkan poin sempurna dari Sir Julian.
Penampilan Elin pun sukses membawa regu empat sebagai pemenang tantangan pertama.
"Selamat, selamat. Aku suka sekali. Penampilan kamu bagus." kata James sambil memotret wajah baru Elin.
Elin tersipu malu. Ia belum pernah merasakan hal senyaman ini. Tiba-tiba Elin teringat dengan ilustrasi di kelas orientasi kemarin. Elin menggambar wajah wanita cantik, dengan latar belakang siluet pria dan cermin.
Kemarin saat Elin menggambar itu, ia berharap suatu hari nanti akan ada pria yang menyukainya—pria yang tidak mempermasalahkan wajahnya yang selalu berminyak di siang hari. Pria yang bisa menerimanya apa adanya. Dan pria itu kini sudah ada di hadapan Elin.
"Kamu cantik sekali di kamera ini. Tapi saya lebih suka melihat kamu tanpa riasan," kata James sambil menunjukkan foto-foto Elin.