Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29_Saya Miskin
"Kau," menunjuk Anz, mata melotot.
"Mari kita selesaikan sekarang juga," ucap Anz, posisi kuda-kuda.
Anz dan laki-laki itu berdiri berhadapan, mata mereka saling menatap tajam, seakan-akan masing-masing dari tubuh mereka terbelah disebabkan pandangan mata tajam yang mereka lakukan.
Dua mata Anz yang menatap tajam itu tidak cukup untuk melihat serangan cepat yang di berikan laki-laki itu, Anz menggunakan bantuan instingnya dalam melihat serangannya yang diterimanya itu.
Kaki kiri laki-laki itu menancap kuat di atas aspal, tangannya mengepal erat dan tangannya di posisikan tepat di antara telinga dan gigi gerahamnya sedang kaki kanannya ia layangkan cepat hendak menyerang telinga Anz. Kecepatan laki-laki itu masih kalah cepat dengan kecepatan Anz.
Anz juga melakukan hal yang sama dengan yang laki-laki itu. Hantaman keras melalui kakinya, Anz berikan pada laki-laki itu, di bagian kepala bagian belakang mendekati pundak, sehingga laki-laki itu dalam sekejap tumbang, tidak sadarkan diri, jatuh, tidak berdaya di atas aspal kembali.
Hembusan napas cepat Anz lakukan berulang. Mata tajamnya perlahan meneduh, cuaca dingin yang sedari tadi Anz rasakan, berubah menjadi panas, keringat bercucuran, mengaliri punggung badannya dan juga dari kepalanya, di sela-sela rambut yang mengaliri hingga kening dan wajahnya itu.
Pandangan mata Anz menatap laki-laki lemah yang menjadi dalang ia harus berkelahi, melawan sembilan laki-laki yang sudah tidak berdaya, tergelatak di atas aspal. Laki-laki itu pun kini duduk di atas trotoar jalan, menatap takjub Anz tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya.
Ahmed masih duduk mengawasi "waw, menakjubkan, benar-benar wanita sempurna," lirihnya menyambung punting rokoknya kembali.
Anz berjalan santai melangkahi tubuh-tubuh laki-laki yang terbaring lemah di atas aspal itu, Anz berjalan menghampiri laki-laki yang masih duduk tenang dan memperhatikan dirinya yang berkelahi brutal tadi. Langkah Anz sudah berdiri, tepat di hadapan laki-laki yang duduk di trotoar itu, pandangan matanya sedikit mendongak ke atas menatap Anz.
Anz balas balik menatap laki-laki tersebut "sekarang jelaskan! Alasan kenapa Anda sampai di pukul?"
"Saya miskin nona," jawabnya sedikit tergagap.
"Miskin bukan patokan untuk dianiaya," menatap semakin tajam, mengintimidasi "jawab dengan jelas dan jujur, kenapa?"
"Intinya karena saya miskin," bola matanya menatap Anz takjub dan takut.
Anz menaikkan sebelas alisnya dengan tidak memindahkan setitik pandangannya pun ke arah lain, tetap fokus menatap laki-laki itu.
"Pulau Albrataz ini tidak ada pemimpin khusus nona, entah itu bersifat monarki atau republik, seperti layaknya sebuah negara," menahan napas, merasakan sesak di dada "di sini kekuasaan terletak pada kapasitas uang!"
"Uang," lirih Anz mengulangi.
"Iya nona, uang," mengangguk mengiyakan "siapa yang memiliki uang paling banyak maka dialah yang akan menjadi penguasa."
"Yang tidak memiliki uang atau uang di milikinya tidak seberapa dengan uang yang dimiliki penguasa itu, dianggap sebagai apa?"
"Bi na tang."
Hembusan napas kasar nan panjang Anz lakukan. Pejaman mata singkat juga Anz lakukan. "Jadiii," mengantungkan kelimat "Anda adalah bi na tang."
"Iya, nona," menunduk menatap kakinya sendiri dan di sela-sela kelopak matanya mulai tergenang air.
Anz diam tidak menjawab, matanya masih fokus menatap lawan bicaranya itu.
"Bagaimana bisa, saya tidak di tindas begini! Bagaimana bisa saya sekaya mereka, bekerja saja saya di halangi dan lagi, kami yang miskin ini di tuntut untuk membayar pajak dalam semua hal, termasuk hal sepele sekalipun kami di tuntut tetap bayar pajak, yang nominalnya tinggi-tinggi sedangkan pendapatan kami," menghembus napas panjang "tidak seberapa."
Tidak ada bedanya dengan kebanyakan negara lainnya, pemerintah merampok rakyatnya sendiri, monolog Anz masih menatap laki-laki di depannya yang setetes demi setetes air matanya berjatuhan.
Laki-laki itu semakin menundukkan pandangannya, menaikkan kedua lututnya mendekati wajah dan menenggelamkan wajahnya semakin dalam, dalam dua lututnya itu.
Anz masih berdiri diam, ia tidak tahu harus melakukan apa.
Lirihan suara dalam tangisan itu masih terdengar, kini suaranya terdengar pilu dan menyesakkan dada "kami ini diperlakukan bagaikan budak yang setiap saat harus memuaskan pemiliknya, penguasanya."
Anz duduk, berjongkok, menyeimbangkan duduknya dengan duduk laki-laki miskin itu. Tangan Anz terulur menepuk pelan bahu laki-laki itu "apakah Anda sudah pernah mencoba keluar dari area se tan ini? Ah," bingung sendiri melihat laki-laki itu yang kembali mendongakkan kepalanya menatap Anz bingung "maksudku keluar dari pulau ini."
Laki-laki itu kembali menundukkan kepalanya, kembali menenggelamkan wajahnya diantara lutut.
"Walau keluar dari pulau ini, kehidupan di negara lain juga sama, tidak ada bedanya, hanya saja jika di sini terlihat sangat kasar, menindas fisik," lirih Anz.
Laki-laki itu tidak menjawab apa-apa kala mendengar penuturan lirihan Anz namun suara tangisannya semakin pilu dan menyayat hati.
Ahmed yang duduk menunggu mulai merasakan bosan. Punting rokok yang berserakan di sampingnya, kedingingan cuaca mulai tergantikan dengan panasnya cuaca, terik dari matahari yang menyilaukan matanya dan sedikit membakar kulitnya.
Ahmed berdiri, menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor, bekas tanah dudukannya sambil pandangan matanya mengarah ke atas melihat dedaunan yang saling bergoyang akibat hembusan angin yang terus berhembus.
Setelahnya, mata Ahmed mengarah pada Anz yang masih saja mengobrol ringan dengan laki-laki yang duduk di atas trotoar itu, kepalanya hanya di lingkari rambut bagian belakang saja dan bagian tengah kepalanya tandus. Laki-laki itu duduk menunduk dan terlihat bahunya yang sedikit terguncang dan juga terlihat laki-laki itu sama seperti laki-laki lainnya, duduk tanpa ada sehelai benangpun yang menutupi kulit badannya.
Inti tubuh yang terlihat dari luar laki-laki itu, terlihat besar, rambut lebat nan pajang hampir bisa diikat dengan ia duduk menekuk, memeluk lututnya sendiri sampai inti laki-lakinya itu menyentuh langsung dengan trotoar jalan.
Anz duduk santai, menyimak setiap kata yang keluar dari laki-laki itu tanpa mempedulikan orang-orang pulau Albrataz ini bila tanpa ada pakaian, kain atau benang yang menutupi tubuh mereka bukanlah yang masalah, hal ini lumrah terjadi dan dianggap biasa-biasa saja.
Ahmed yang telah berdiri itu, dari kejauhan melihat satu orang laki-laki yang sangat Ahmed kenali berjalan mendekati Anz dengan membawa kayu golok besar nan panjang persegi empat berbentuk runcing setiap sisinya.
Tangannya sedikit terangkat dan bibirnya tergerak hendak berteriak "awas," namun suaranya bagaikan tertahan, tercekat di tenggorokan.
Balok kayu itu mendarat sempurna di pundak leher Anz sehingga membuat Anz tersungkur terjatuh tepat di dalam pelukan laki-laki tanpa busana itu.