Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta dan Lamaran Yang Gagal
Aku, Alan Hamdalah, tinggal di sebuah kota kecil yang penuh keindahan alam bernama Cilacap. Kota ini terkenal dengan pantainya yang menawan, seperti Teluk Penyu dan Pantai Widarapayung. Di sini, aku tumbuh besar dengan banyak kenangan indah. Salah satunya adalah kisah cintaku dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian dari kehidupanku sejak masa SMA.
Salma adalah perempuan yang lembut, cerdas, dan selalu mendukung mimpiku. Setelah lulus SMA, kami harus berpisah. Salma melanjutkan studinya di Universitas Muhammadiyah Cilacap, sementara aku memilih merantau ke ibu kota untuk bekerja dan mencari kehidupan yang lebih baik. Meskipun jarak berbeda, kami selalu berkomunikasi. Dalam hati, aku yakin, suatu hari aku akan kembali ke Cilacap dan menghalalkan Salma.
Empat tahun berlalu dengan cepat. Selama itu, saya berjuang keras untuk mengumpulkan uang. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk masa depan kami. Ketika aku mengetahui Salma akan segera diwisuda, aku merasa ini adalah momen yang tepat. Aku mempersiapkan segalanya, termasuk cincin yang kubeli dengan jerih payahku sendiri. Aku membayangkan momen indah di mana aku melamar Salma di hari wisudanya, di depan teman-temannya, dan dia berkata “ya” sambil tersenyum bahagia.
Namun, semuanya hancur dalam sekejap.
Hari itu, saya tiba di kampus Universitas Muhammadiyah Cilacap lebih awal. Aku bersembunyi di antara kerumunan, menunggu saat yang tepat untuk muncul. Aku melihat Salma cantik dengan kebaya wisudanya. Hatiku berdebar penuh harapan. Tapi, tiba-tiba aku melihat seorang pria tampan dengan setelan jas rapi berjalan mendekatinya dengan membawa bunga dan sebuah kotak kecil. Pria itu berlutut di hadapan Salma dan melamar Salma di hadapan teman-temannya.
"Terima, terima, terima ..." sorakan dari teman-teman Salma mulai menggema di seluruh kampus.
Semua orang yang melihatnya memberikan dukungannya agar Salma menerima lamaran itu, kecuali aku yang tidak ingin Salma menerima lamaran pria itu. Karena itu akan sangat menyakitkan bagiku.
Dan hal yang paling aku takutkan pun terjadi, Salma menerima lamaran pria itu.
Aku yang melihatnya hanya bisa diam membisu. Duniaku seolah berhenti. Hatiku remuk. Semua perjuangan, pengorbanan, dan rencana yang kupersiapkan seolah tidak berarti. Aku hanya berdiri di sana, menyaksikan pria itu memasangkan sebuah cincin di jari manis Salma dan merayakan momen bahagia mereka, sementara aku terjebak dalam kesedihan yang mendalam.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak bisa marah pada Salma. Mungkin ini salahku yang terlalu sibuk dengan pekerjaanku di ibu kota hingga aku tidak menyadari bahwa jarak telah membuat hubungan kami retak. Mungkin dia lelah menunggu, atau mungkin dia menemukan seseorang yang lebih baik dariku.
Dengan langkah berat, saya meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, mataku dan Salma sempat bertemu. Sayup-sayup aku mendengar Salma memanggilku. Tapi panggilan itu sudah tidak aku perdulikan. Dalam pikiranku yang sudah melayang, aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu.
Cincin yang kugenggam kini terasa tidak berguna. Aku berjalan menyusuri pantai Cilacap, tempat di mana aku dan Salma dulu sering menghabiskan waktu bersama. Aku menatap ombak yang datang dan pergi, mencoba mencari jawaban.
Dua jam lamanya aku terduduk diam di tepi pantai, hanya merenungi apa yang telah terjadi. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya hal ini akan terjadi. Aku kira hari ini akan menjadi hari terindah dalam hidupku, tapi ternyata malah menjadi hari terburuk dalam hidupku.
"Mas, kapan pulang?" tanya Salma lalu duduk di sampingku.
Suara itu mengejutkanku dan membangunkanku dari lamunan. Aku seka air mataku yang jatuh tanpa kusadari. Ku lihat Salma menatap lurus ke arah laut. Wajahnya masih begitu cantik dengan balutan kerudung hitamnya.
"Kemarin sore," jawabku sambil mencoba bersikap seperti biasa.
"Kok nggak ngomong ke aku?" tanya Salma lagi.
"Niatnya mau kasih kejutan buat kamu, tapi justru aku yang dapat kejutan dari kamu," ucapku dengan senyum getir.
"Soal lamaran Mas Afif, aku tahu ini pasti sangat berat buat Mas, tapi yang perlu Mas tahu, ini juga berat buat aku. Tujuh tahun lamanya aku mencoba meyakinkan Bapak agar merestui hubungan kita, tapi tetap saja gagal. Aku berpikir mungkin dengan menerima lamaran lelaki pilihan Bapak adalah caraku untuk berbakti ke Bapak," jelas Salma sambil mengusap setiap air mata yang jatuh di pipinya.
Hubunganku dengan Salma memang sudah sejak lama tidak direstui oleh kedua orang tuanya, terutama ayahnya. Kesenjangan ekonomi yang jauh antara kita yang menjadi alasan utama. Ayah Salma bekerja di PLTU Cilacap dan memiliki posisi yang cukup tinggi di sana, sedangkan ibu merupakan seorang dokter. Hal ini jelas berbanding terbalik denganku yang hanya seorang anak dari penjual serabi, sedangkan ayahku sudah meninggal sejak aku kecil.
"Sudahlah, tidak perlu menyesali apa yang terjadi. Kita sudah sama-sama dewasa. Dalam cinta, ditinggalkan atau meninggalkan adalah hal yang wajar. Kita memang punya rencana, tapi Allah punya takdir. Mungkin memang bukan namamu yang tertulis untukku di lauhul mahfuz sana," kataku pasrah.
"Mas, aku minta maaf. Maaf karena hubungan kita harus berakhir seperti ini," ucap Salma.
"Sudahlah, tidak perlu kamu meminta maaf. Maafmu hanya akan membuatku semakin terluka. Kamu tidak salah, jadi tak perlu kamu meminta maaf," ujarku dengan sedikit emosi.
"Tidak, aku salah karena tidak bilang ke Mas tentang ini sebelumnya. Jujur, aku masih belum siap kehilangan Mas. Itu sebabnya aku belum mau jujur ke Mas tentang aku yang dijodohkan dengan Mas Afif," ujar Salma dengan suara yang agak tinggi.
"Cukup, Sal. Lebih baik kamu tinggalkan aku sendiri. Semua penjelasanmu yang seolah masih mencintaiku hanya akan membuatku kembali berharap pada harapan yang tidak mungkin terwujud. Hal itu yang akan membuatku semakin sulit untuk melupakanmu. Jadi tolong tinggalkan aku sendiri," pintaku sambil menahan tangis.
"Baiklah, kali itu mau Mas. Selamat tinggal." Salma berdiri dan berjalan pergi.
"Salma, selamat atas lamaranmu dan semoga kamu bisa hidup bahagia dengan lelaki pilihanmu. Hanya itu yang bisa kukatakan sebagai seorang teman," ucapku sambil tersenyum.
Mendengar itu, langkah Salma terhenti dan aku lihat dia mulai menarik napas panjang lalu berbalik menoleh ke arahku.
"Terima kasih," ucap Salma sambil tersenyum, namun matanya menangis.
Perlahan, aku melihat Salma pergi menjauh. Sambil berkata dalam hati:
"Semoga kamu bahagia. Namamu masih akan selalu kulangitkan dalam doa-doaku," tangisku mulai pecah.