Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Kreator
Kami berlari ke hutan, tersaruk menginjak dedaunan. Si penunggang memacu kudanya dengan kecepatan yang membuatku merasa dia sedang mengejekku. Bahkan aku membayangkan dia menyeringai geli dibalik tudungnya, melihat kami yang heboh sendiri.
Dia tidak bisa dikatakan mengejar tapi lebih seperti membuntuti. Dia tahu dalam keadaan hutan seperti itu kami tidak bisa lebih cepat lagi, dia tidak akan kehilangan jejak kami.
Tali yang mengikatku dengan Niken membuat langkah kami beriringan, saat dia tersandung sesuatu dan membuatnya jatuh aku ikut tertarik dan terjerembab.
"Kau tidak apa-apa?"
"Sepertinya kakiku terkilir." Walau dalam keadaan yang tidak baik Niken cepat-cepat berdiri dan mencoba berlari dengan terpincang-pincang. "Gege, apa lagi yang kau tunggu, ayo." Dia melihatku masih dalam posisi seperti tadi.
"Ini agak sedikit konyol" kataku. "Biar saja akan kutunggu orang itu disini."
Niken mendekat dan meraih tanganku. "Aku tidak mau berhadapan dengan orang itu, dia seperti iblis yang kabur dari dunia bawah, ayo gege."
Karena tidak tega melihat Niken, aku bangkit berdiri sementara derap kaki kuda terasa semakin dekat, menggema diantara pepohonan. Dalam sekejap saja menimbulkan kegelisahan walau aku tadi sempat menganggapnya konyol.
Niken tidak akan bisa lebih cepat lagi dan dia meringis setiap satu langkah, jadi aku cepat-cepat memanggulnya. Akibatnya langsung kuterima.
"Gege payah, aku bukan karung beras!" Niken memekik di pundakku.
"Aku tahu, karung beras tidak berisik."
"Ya, setidaknya perlakukan aku ... "
Dengan cepat segera saja kuatur posisinya tanpa harus menurunkannya. "Seperti pengantin baru. Begini lebih romantis, kan."
Seketika kuda meluncur disampingku, menyerupai bayangan gelap dan menghadang jalanku. Si penunggang melompat turun dari kudanya. Aku menurunkan Niken dan dia langsung bersembunyi di belakang punggungku.
Aku berbisik saat kulepaskan ikatanku dengannya, "Apapun yang terjadi jangan bergerak dari tempatmu sekarang."
Aku berkata begitu agar Niken dalam pengawasanku sementara aku tidak bisa menghindar dan harus menghadapi pria bertudung ini.
"Kami tidak ada urusan denganmu. Kami hanya sedang mencari jalan pulang. Katakan kawan atau lawan."
Dibalik kain hitam tipis tudungnya, dia menyeringai, seketika desing pedang memecah kesunyian, pedang berkilat ditengah kabut. Aku sudah siaga untuk hal ini, hanya perlu menunggu untuk membaca pergerakannya. Dengan mulus dia menghunuskan pedangnya, namun bukan aku sasarannya. Dia meluncur kearah Niken.
"Jangan sentuh milikku!" Aku bereaksi mengimbangi kecepatannya, bilah pedang terjepit diantari jari-jariku, beberapa inci lagi menggores pipi Niken. "Aku tidak akan membiarkanmu tergores sedikitpun."
Dalam beberapa serangan berikutnya aku tahu dia sedang mempermainkanku menggunakan Niken. Serangannya brutal namun penuh perhitungan, menargetkan anak itu dari segala sisi dan dia tidak peduli jika aku gagal menghalau serangannya karena mungkin itulah yang diharapkannya.
"Kenapa tidak hentikan pertarungan yang buang-buang waktu ini. Kita hanya kebetulan bertemu dijalan, mari lupakan pertemuan ini dan pergi menuju jalan masing-masing."
Aku berharap dia menanggapi ucapanku, bukannya terus melancarkan serangan yang membuatku tambah jengkel. Rasanya seperti cinta bertepuk sebelah tangan.
Sampailah pada satu momen ketika harus melibatkan Niken. Aku melompat kearahnya, merangkul pinggangnya untuk menghindari serangan fatal yang datang bertubi-tubi. Memeluknya seerat aku memegangi sumber kehidupanku. Pria itu seperti tokoh jahat yang berusaha memisahkan pasangan kekasih. Aku mengakui jika keadaannya terus seperti ini, aku akan terdesak.
Aku berdiri terengah, menantikan serangan berikutnya sedangkan Niken tidak bersuara sedikitpun seperti sedang menahan napas.
"Cukup main-mainnya." Tiba-tiba dia menarik mundur pedangnya. "Bukankah kalian ingin keluar dari sini?"
"Aku akan mengingat kebaikanmu tuan, jika kau melepaskan kami, siapapun kau dibalik tudung itu."
Dia tampak sedang mempertimbangkan sesuatu. "Kau berusaha melindunginya mati-matian, jika hanya satu dari kalian yang selamat, siapakah diantara kalian yang perlu kuselamatkan?"
"Tentu saja kau harus menyelamatkannya."
Pria itu mendengus. "Romansa klise."
"Tidakkah kau tahu rahasia kabut ini?" ucapnya. "Selama kau masih bernapas kau tidak akan bisa keluar dari sini, kabut tidak akan melepasmu, ini dinamakan kabut mimpi."
Walau tertutup kain hitam aku merasakan kilat kemenangan dimatanya, bibirnya menyeringai begitu aku memahami perkataannya.
"Aku akan menagih hutang ini dimasa depan."
Dia mengangkat lengannya, larik cahaya biru melesat ke arah kami bagaikan hujan bunga es. Aku bereaksi dengan mengibaskan lengan dan memasang badan untuk melindungi Niken. Namun setelah menunggu tidak terjadi apa-apa.
Derap kuda terdengar menjauh.
"Apa yang terjadi? Sepertinya dia tidak jadi membunuh kita."
"Tapi dia pandai sekali memainkan kata-kata. Dia berhasil menjebakku."
Ada sesuatu yang berkilau di pundak Niken. Dia protes saat aku menyibak sedikit kerahnya untuk mengintip ke dalam. "Apa ini?"
Niken melupakan ketidak sopananku dan meraba bahunya. Tanda biru berpendar di bawah kulitnya, seperti simbol yang sengaja ditatahkan.
"Apa kau merasa tidak enak badan, atau sesuatu yang aneh?"
"Tidak. Gege, lihat, lengan kirimu, tuh."
Pendar biru yang sama berkelip menembus pakaianku.
"Tidak terasa apa-apa kan?"
Memang tidak, tapi aku khawatir ini merupakan awal dari sesuatu yang menanti dikemudian hari, simbol ini telah menandai kami. Tadi pria bertudung itu mengatakan dia akan menagih hutang pada kami di masa depan.
"Sekarang bagaimana?" tanya Niken.
"Dia bilang selama kita bernapas kita tidak akan bisa keluar dari sini, kabut ini akan menjebak kita selamanya."
"Kalau begitu ayo kita tahan napas."
"Tahan napas?"
"Ya sesuai petunjuknya, gege ayo mulai satu dua tiga."
Kabut tidak semata-mata menghilang begitu saja, namun kami menyadari kabut tidak setebal sebelumnya seolah-olah mimpi buruk telah berakhir dan berangsur pulih.
"Ini sungguhan? Dia mengatakan yang sebenarnya?"
Niken mengedik tapi tampak bangga atas penemuannya.
Ketika kami akhirnya berhasil ke luar dari hutan, cahaya matahari sore terpancar. Saat di dalam hutan kami sama sekali kehilangan penunjuk waktu dan ternyata sudah selama itu, sedikit keberuntungan karena kami keluar sebelum gelap.
"Akhirnya kita tidak dapat apa-apa." Niken berkata di punggungku. Dia menolak main pengantin-pengantinan apalagi pura-pura jadi karung beras, hal terakhir kutawarkan punggungku.
"Kita dapatkan nyawa kita kembali."
"Gege, apa menurutmu dia manusia?"
"Tentu saja dia manusia, tapi seharusnya manusia tidak bisa meninggalkan tanda aneh ini hanya dengan merentangkan tangan."
"Itu pasti karena jimat yang mereka bicarakan."
Aku menghentikan langkahku, menuntut niken untuk memberitahuku.
"Ada desas-desus, di bagian terdalam hutan lepas menyimpan suatu benda yang bisa mengabulkan keinginan. Mungkin orang itu berhasil mendapatkannya, lalu meminta kesaktian atau semacamnya, entahlah."
"Jadi kau juga berusaha mencari benda itu, eh? Aku tahu kau berbohong saat kau bilang hendak menangkap peti ungu. Memangnya apa yang kau inginkan?"
"Ada begitu banyak, kalau kusebutkan semua aku yakin kau akan keburu bosan sebelum aku menyebutkan semua keinginanku. Gege, kau sudah tahu tidak ada koin emas di hutan, kenapa kau masih mau ikut denganku?"
"Mana mungkin aku membiarkanmu berkeliaran sendirian. Kalau kau berbohong padaku, itu artinya kau sedang merencanakan sesuatu yang meragukan, itulah kenapa aku mau saja ikut denganmu."
"Lalu apa maksudnya tadi kau bilang aku milikmu, aku ini bukan barang."
"Maksudku kau temanku, jangan menyentuh temanku, begitu. Pembendaharaan kataku masih perlu banyak belajar."
"Dan satu lagi, memangnya kau pikir aku mau diselamatkan dalam artian sesungguhnya dan meninggalkanmu begitu saja. Aku bukan orang yang seperti itu."
"Aku tidak akan kenapa-kenapa, tidak ada senjata yang bisa menyakitiku didunia ini, kalau kau hidup aku juga hidup, jadi kaulah yang harus kulindungi, sumber hidupku."
"Kedengarannya kau sedang membual, terserah kau lah. Rupanya hanya aku yang bicara sesuai kenyataan, lihat mereka bilang tidak akan ada yang bisa keluar dari lembah orang hilang hidup-hidup, tapi aku dan kau rupanya tidak termasuk."
"Sepertinya keberuntungan sedang menaungi kita, tapi kita tidak pernah tahu kapan keberuntungan akan meninggalkan kita. Oleh karena itu aku ingin memberi satu saran yang sangat berguna untukmu. Agar kejadian seperti hari ini tidak terulang lagi."
"Ya katakan saja."
"Sebaiknya kau tidak perlu terlalu banyak mendengar apa kata orang. Kadang-kadang hal itu diperlukan. Orang lain boleh menilai kita tapi hanya kita yang tahu tentang diri kita. Dan mereka tidak berhak mendapat pembuktian apapun. Bersikap tidak peduli tidak selalu buruk."
"Gege kau bijak sekali."
"Tidak, ibu yang memberitahuku."
"Sejak pertama kita bertemu, kau selalu menyebut ibumu, kau sangat berbakti padanya ya."
"Ya, karena berkat ibulah sekarang aku ada di sini."
"Aku jadi ingin berterimakasih pada ibumu."
"Akan kusampaikan pada ibu."
"Gege, kau bilang aku jangan terlalu mendengar apa kata orang, itu artinya aku juga tidak harus selalu mendengar perkataanmu, benarkan?"
"Tidak, maksudku apapun yang keluar dari mulutku itu pasti nasehat bagus jadi kau harus selalu mendengarkanku."
"Wah, kau curang."
Kami kembali ke tempat kami menambatkan kuda di salah satu pohon. Kuelus surainya. "Maapkan kami membuatmu menunggu begitu lama. Siap untuk perjalanan, sobat?"
Meskipun aku memacu kuda dengan kecepatan maksimal, namun malam akan segera turun bahkan sebelum kami menempuh setengah perjalanan pulang ke gilda Phoenix. Sepertinya kami harus mencari penginapan.
masih nyimak