Dua orang Kakak beradik dari keluarga konglomerat dengan sifat yang berbeda, sama-sama jatuh cinta pada seorang wanita.
Satria yang diam-diam telah menjalin cinta dengan Aurora terpaksa menelan kenyataan pahit saat mengetahui wanita yang dinikahi Kakaknya Saga adalah kekasih hatinya, Aurora.
Satria yang salah paham pada Aurora, jadi sakit hati dan frustasi. Cintanya pada Aurora berubah menjadi dendam dan kebencian.
Satria melakukan banyak hal untuk merusak rumah tangga kakak dan mantan kekasihnya itu.
Hingga akhirnya, Saga meninggal karna penyakit kelainan jantung yang ia derita dari kecil.
Satria malah menuduh, Aurora lah peyebab kematian sang Kakak.
Rasa benci yang mendalam, membuat Satria terus menerus menyiksa batin Aurora.
Apakah Aurora sanggup bertahan dengan ujaran kebencian Satria? Sementara Aurora masih sangat mencintai Satria.
Jangan lupa mampir ke karya author yang lain ya, 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afriyeni Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AURORA BERHASIL KABUR
Malam semakin pekat.
Dijalan raya yang mulai tampak sepi, mobil sedan hitam yang di kendarai Devan melaju kencang menyalip beberapa kendaraan yang berlalu lalang.
Di dalam mobil sedan itu, Aurora dan Satria terlihat duduk berdampingan di belakang kursi penumpang. Sesekali Devan mengintip wajah cantik Aurora yang tampak pucat dari kaca spion nya.
Devan hanya menghela nafas pendek, ikut prihatin dengan keadaan Aurora yang terlihat agak kusut dan kacau.
"Dasar manusia sakit jiwa. Perempuan secantik itu malah disiksa!" batin Devan merintih merasa iba.
Tatapan Devan kembali fokus ke jalanan dan menghentikan mobilnya tiba-tiba saat ia melihat sesuatu yang janggal di depannya.
Ciiiit...!
Bunyi mobil ngerem mendadak membuat Satria dan Aurora jadi terkejut dan terhuyung ke arah bangku depan.
"Devan!" maki Satria berteriak kesal karena kaget.
"Sori bro, ada polisi lagi razia di depan! " ucap Devan ketakutan melihat ada palang polantas yang menghalangi jalan mereka dan banyak aparat keamanan bertebaran di jalan utama menuju tempat tujuan mereka.
Gerak-gerik mobil yang mereka kendarai langsung terlihat oleh aparat keamanan yang tampak berhamburan berlarian menuju ke arah mereka.
"Wah, gawat bro. Gimana nih!" ucap Devan panik.
"Mundur, mundur! Putar balik! Buruan, tolol!" teriak Satria ikut panik seketika.
Devan bertindak cepat mengikuti perintah Satria. Bagaikan dalam film action, Devan memundurkan mobilnya putar balik, banting stir ke kanan dengan roda mobil sebelah kiri sedikit terangkat kemudian melesat kencang diiringi sirine mobil polisi yang mengejar dari belakang.
Nguuuung... Ciiittt...Bruummm...
Aksi kejar-kejaran pun terjadi antara mereka dan pihak kepolisian di sepanjang jalan utama kota.
Devan yang memang rada gila dalam berkendaraan, cukup hebat menghindar dari kejaran mobil polisi yang tertinggal jauh di belakang.
Di setiap jalan menuju keluar kota tampaknya sudah di blok oleh aparat keamanan yang bertebaran di mana-mana.
"Satria, aku takut!" ucap Aurora dengan suara bergetar ketakutan.
"Jangan takut Aura. Ada aku." hibur Satria pada Aurora.
Ia sudah menduga akan terjadi hal seperti itu. Saga dan Papanya pasti sudah menghubungi pihak kepolisian untuk mencari Aurora yang menghilang sejak siang tadi.
"lu turunin gue di sini. Lu balik aja sendirian ke apartemen. Sembunyikan mobil lu, jangan sampai ketahuan." ucap Satria kemudian pada Devan.
"Mau kemana lu malam begini nyet?!" teriak Devan jengkel dalam kepanikannya mengendarai mobil.
"Lu liat ada motel di depan. Gue nginap disitu dulu malam ini. Besok gue telpon elu, ngabarin elu." sahut Satria mengabaikan kejengkelan Devan sambil menunjuk kesebuah motel yang tak jauh di hadapan mereka.
Devan memperhatikan motel yang di tunjuk Satria. Ia pun memberhentikan mobilnya dengan gesit hingga mengeluarkan suara berdecit di depan motel itu.
"Buruan, turun!" teriak Devan saat raungan sirine polisi terdengar dari kejauhan.
Satria dengan sigap menarik tangan Aurora dan berlari masuk ke dalam motel yang cukup tersembunyi di tengah kota.
Devan pun segera meluncur, melesat kencang bersama mobil sedannya meninggalkan kepulan asap yang tebal di atas aspal.
Didalam kamar yang sempit di sebuah motel.
Satria langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang kecil yang cukup untuk satu orang saja. Matanya tampak terpejam dengan sebelah tangan terangkat menutupi sebagian wajahnya.
Aurora sejenak memperhatikan Satria dengan raut wajah sedih.
Wajah tampan Satria tampak sangat lelah dan kusam. Satria mulai terlihat tirus dengan pipi dan mata yang tampak cekung, mungkin kebanyakan begadang. Lelaki yang sangat ia cintai itu kini terlihat sangat berbeda. Dia tampak menderita.
"Mendekat lah Aura." panggil Satria lirih sambil menggeser tubuhnya merapat ke dinding memberi ruang untuk Aurora agar bisa duduk di atas ranjang kecil itu.
"Kesini lah!" Satria menepuk sisi ranjangnya yang sedikit kosong memberi isyarat pada Aurora.
Aurora memahami isyarat yang di berikan Satria. Awalnya dia sedikit ragu, namun saat melihat keadaan Satria yang diam berbaring terlentang kelelahan di tempat tidur, membuat Aurora merasa iba. Perlahan ia mendekati Satria dan duduk di samping ranjang kecil itu dengan hati-hati.
Mendadak Satria memutar tubuhnya kesamping dan memeluk pinggang Aurora yang baru saja duduk di kasur itu dari belakang membuat Aurora jadi terkejut.
"Tidurlah disamping ku. Jangan takut, Aku hanya ingin memeluk mu saja. Aku tak akan pernah menyentuh mu meskipun aku sangat ingin melakukan itu. Kau tau kenapa? Karna tubuh mu bukan milikku lagi. Aku tak bisa melakukan hal yang buruk selain memelukmu saja." ujar Satria dengan suara serak seakan hatinya berat untuk mengucap kan kalimat itu.
Aurora terenyuh mendengar perkataan Satria. Perlahan, ia ikut membaringkan tubuhnya di samping Satria yang sedikit menggeser tubuhnya karna ukuran ranjang yang pas sekali jika tidur berpelukan.
Satria mempererat pelukannya saat tubuh Aurora terbaring sambil membelakangi Satria.
Ada perasaan damai dan tenang yang ia rasakan. Kerinduannya pada Aurora seakan sedikit terbayarkan malam ini. Meskipun mereka hanya tidur berpelukan saja.
Rasa lelah dan letih karena perjuangan panjang demi bertemu kekasih hatinya, di tambah lagi bisa memeluk Aurora semalaman, membuat Satria tidur terlelap dengan nyenyaknya.
Ia terbangun di saat matahari terasa panas menyengat tubuhnya yang tidur dengan pakaian lengkap yang ia kenakan semalam.
Satria langsung terkejut mendapati ranjang yang telah kosong dan tak ada sosok Aurora di kamar sempit itu. Ia pun bergegas keluar menemui penjaga motel yang bertugas di bagian resepsionis.
"Bang, lihat wanita yang bersama saya semalam di sini gak?" tanya Satria dengan nafas terengah-engah.
"Wanita yang mana bang? Ada banyak wanita yang keluar masuk motel dari tadi." jawab si resepsionis itu bingung.
"Orangnya cantik, tinggi putih kayak blasteran. Pake baju t-shirt putih cream sama celana jeans biru langit." ujar Satria menjelaskan ciri-ciri Aurora lengkap dengan pakaian yang ia kenakan sedari kemarin.
Sejenak resepsionis itu tampak berpikir keras.
"O, pagi-pagi sekali dia sudah pergi bang. Kayaknya buru-buru sekali tadi perginya. Di tegur aja gak jawab." ucap petugas itu membayangkan raut wajah Aurora yang terlihat seperti orang ketakutan karena pergi secara diam-diam keluar dari motel.
"Sial!" umpat Satria meninju meja resepsionis dengan tenaga yang ditekan menahan kekesalan hatinya.
Tanpa mempedulikan pandangan heran dari si petugas resepsionis itu, Satria pun bergegas keluar motel seraya menghubungi Devan sahabatnya lewat ponsel.
"Dimana lu? Jemput gue ke motel sekarang!" perintahnya singkat saat Devan mengangkat telpon dari Satria.
Devan yang terpaksa bangun karena mendapat telpon dari Satria langsung menggerutu kesal setelah panggilan telpon di putuskan Satria begitu saja.
"Dasar teman gak ada akhlak!" rutuk Devan jengkel setengah mati.
Andai saja ia tak banyak berhutang budi pada Satria selama ini, mungkin temannya itu sudah ia biarkan hidup tak tau arah tujuan.
Semua pertolongan yang ia lakukan hanya demi kata persahabatan yang telah mereka jalani belasan tahun. Ditambah hutang biaya hidupnya yang lumayan banyak pada Satria, membuat Devan tak bisa menolak setiap kata perintah dari Satria.
"Kegilaan apalagi yang mau dia perbuat?" batin Devan terasa resah.
Bayangan aksi kejar-kejarannya dengan pihak kepolisian tadi malam masih menyisakan ketegangan yang menghabiskan seluruh energi tubuhnya.
"Aaargh...! Sial! Bocah sialan!" umpat Devan mengacak rambutnya yang sudah kusut makin berantakan.
Ia pun segera bangkit dari ranjangnya dan meraih kunci mobil tanpa mencuci mukanya sama sekali meninggalkan apartemen miliknya.
.
.
.
BERSAMBUNG