Luna harus menerima kenyataan pahit saat mengetahui jika suaminya yang baru saja menikahinya memiliki hubungan rahasia dengan adiknya sendiri.
Semuanya bermula saat Luna yang memiliki firasat buruk di balik hubungan kakak beradik suaminya (Benny dan Ningrum) yang terlihat seperti bukan selayaknya saudara, melainkan seperti sepasang kekasih.
Terjebak dalam hubungan cinta segitiga membuat Luna pada akhirnya harus memilih pada dua pilihan, bertahan dengan rumahtangganya yang sudah ternodai atau memilih menyerah meski perasaannya enggan untuk melepas sang suami..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy2R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(Rencana Yang Gagal)
Benny ikut melongok ke dalam kamar mandi, kedua matanya langsung tertuju ke tong sampah yang ditunjuk oleh mamanya.
"Ada apa dengan tong sampahnya, Ma?" tanya Benny.
"Kamu jorok sekali sih, Benn? Bisa-bisanya kamu membiarkan tong sampah kamar mandimu sepenuh ini," ujar Retno.
"Oh.. iya, Ma, aku lupa menyuruh karyawan cleaning service-ku untuk membuang sampah itu,"
Retno menghela nafasnya, "Cepat suruh karyawanmu itu untuk membersihkan kamar mandimu. Mama tak suka melihatnya," titahnya.
Benny mendekati Retno, dirangkulnya pinggang mamanya itu dan kemudian diajaknya keluar dari kamar mandi. Benny menutup kembali pintu kamar mandinya sebelum melangkah keluar.
"Kita ke ruang kerja papa saja yuk, Ma. Katanya, Mama mau membicarakan hal penting juga sama papa," ajak Benny.
Tanpa pikir panjang lagi, Retno pun langsung mengiyakan ajakan putranya.
"Baiklah."
Sebelum keluar dari ruangan, Benny sempat menatap agak lama ke arah kamar mandi. Ada perasaan meragu dalam dirinya saat hendak meninggalkan Ningrum sendirian di tempat persembunyiannya itu.
"Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kutanyakan pada Ningrum, tapi situasi saat ini sedang tak memungkinkan bagi kami untuk saling bertukar cerita." gumamnya dalam hati.
**
Beberapa saat setelah kepergian Benny dan Retno, terlihat Ningrum yang langsung keluar dari tempat persembunyiannya.
Pelan-pelan ia berjalan ke arah pintu ruangan dan melangkah pergi dari sana.
"Mbak, kakak dan mama saya tadi pergi ke mana ya?" tanyanya pada sekretaris Benny.
"Kata pak Benny, beliau dan mamanya hendak menemui pak Hendra di ruangannya, Mbak," jawab si Sekretaris.
"Mau apa mereka ke sana?"
"Maaf, Mbak, saya tidak tahu. Pak Benny tidak mengatakan apapun kepada saya mengenai tujuannya mendatangi pak Hendra," kata si Sekretaris.
"Ya sudah kalau begitu."
Ningrum melenggang pergi dengan membawa rasa penasarannya.
Dari kantor, Ningrum lantas mengendarai mobilnya menuju ke sebuah klinik kandungan yang tempatnya berada cukup jauh dari perusahaan keluarga angkatnya.
"Selamat datang, Mbak," sapa seorang pegawai klinik dengan ramah kepada Ningrum.
"Dokter Ardi-nya ada, Mbak? Saya mau periksa,"
"Kebetulan dokter sedang berada di luar, Mbak. Kalau Mbak mau menunggu, silahkan ambil nomor antreannya. Jika tidak, Mbak bisa kembali sore nanti," ucap si pegawai.
Ningrum berdecak pelan, "Kira-kira lama tidak ya dokter Ardi balik ke sininya?" tanyanya.
"Kalau itu saya kurang tahu ya, Mbak."
Ningrum yang tak sabar jika harus disuruh menunggu, akhirnya memilih untuk pergi saja dan akan kembali ke klinik sore harinya.
Ia berjalan keluar dari klinik langganannya itu menuju ke halaman, di mana ia memarkirkan mobilnya.
Sesampainya di sana, Ningrum langsung membuka pintu mobilnya dan mendudukkan pantatnya di kursi kemudi.
Klap.
Suara pintu mobil ditutup.
Sebelum berlalu, Ningrum sempat menghubungi seseorang melalui telepon WhatsApp-nya.
"Halo, Bos. Kebetulan sekali Bos nelpon, ada hal yang ingin saya bicarakan terkait si calon korban baru itu, Bos," ucap Agus -Anak Buah Ningrum- dari seberang telepon.
"Saya menelponmu juga ingin membicarakan perihal wanita itu," kata Ningrum. "Sekarang juga pergilah ke Cafe Alana yang berada di jalan xx dan tunggu saya di sana," titahnya.
"Siap, Bos."
Sambungan telepon berakhir dan Ningrum pun mulai menyalakan mesin mobilnya.
Cafe yang dijadikan tempat pertemuannya dengan si Agus, berada tak jauh dari klinik langganannya. Hanya membutuhkan waktu sekitar 10an menit saja untuk Ningrum sampai di sana.
"Ningrum!!" teriak Agus dari tempatnya duduk. Lelaki berambut ikal itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya ke arah Ningrum yang baru saja keluar dari dalam mobil.
Si pemilik nama lantas berjalan mendekat dan lalu ikut duduk di kursi kosong yang berada di depan Agus.
"Sopan sekali kamu memanggil saya seperti itu," ketus Ningrum.
Agus terkekeh, "Maaf, Bos, kalau tadi saya teriak dengan menyebut kata Bos yang ada semua orang akan memperhatikan kita," lirihnya.
Ningrum terdiam sejenak. Ia tak jadi kesal kepada Agus karena alasan anak buahnya itu cukup masuk akal menurutnya.
"Bagaimana dengan tugas yang saya berikan padamu beberapa hari yang lalu? Kenapa sampai detik ini saya belum mendengar kabar apapun darimu?" tanya Ningrum, membuka pembicaraan serius di antara keduanya.
"Gini, Bos, sepertinya saya dan teman-teman saya tidak sanggup melaksanakan tugas yang Bos berikan itu," kata Agus.
Ningrum menautkan kedua alisnya sambil melayangkan tatapan tak suka ke arah Agus. "Apa maksudmu berkata seperti itu? Apa uang yang saya janjikan padamu kurang? Iya?" ketusnya.
Agus menggelengkan kepala sembari melambaikan kedua tangannya ke arah Ningrum. "Uang yang Bos janjikan sudah lebih dari cukup, Bos, tapi permasalahannya bukan soal itu," ucapnya.
"Lalu soal apa?!" bentak Ningrum.
Untung saja tempat duduk yang dipilih Agus cukup sepi, hanya ada beberapa pengunjung saja yang berada di sekitarnya sehingga tak banyak orang yang memperhatikan saat Ningrum membentaknya barusan.
"Kalem dong, Bos, jangan membentak saya seperti itu. Saya ini laki-laki lho, Bos, saya punya harga diri. Saya malu dilihatin orang-orang, Bos," tegur Agus.
Ningrum mengabaikan ucapan Agus, ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Jelaskan pada saya apa yang membuatmu seperti meragu dengan tugas kali ini," perintah Ningrum.
Agus lantas mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya yang kemudian diberikannya kepada Ningrum.
"Apa ini?"
"Itu adalah laporan dari teman saya yang menyelidiki asal usul si korban, Bos. Dan karena hal itulah, saya beserta teman-teman tak berani melaksanakan tugas dari Bos," terang Agus.
Ningrum membuka lipatan kertas di tangannya dan membaca isinya dalam hati.
Beberapa saat kemudian..
"Br*ngsek!" umpat Ningrum tiba-tiba. Ia meremas kertas itu dan kemudian dilemparnya masuk ke dalam tong sampah yang kebetulan berada tak jauh dari tempat duduknya. "Ternyata si j*lang itu bukanlah orang sembarangan," ucapnya.
Agus tersenyum tipis, "Sudah tahu alasan saya kan sekarang, Bos?" tanyanya.
Ningrum mendengus kesal, "Argh! S*alan!" Kedua tangannya mengepal dan memukul pelan meja di depannya. Ningrum tampak begitu kesal usai mengetahui fakta terkait keluarga Luna. "Baiklah, tak perlu meleny*pkan wanita itu, buatlah dia sedikit c*cat saja. Bagaimana? Kamu bisa kan?" tanyanya.
Agus terdiam sejenak.
"Kenapa malah diam? Jawablah!" Ningrum semakin kesal dibuatnya.
"Kalaupun bisa, Bos, saya yakin seratus persen setelahnya saya dan teman-teman sayalah yang akan dibuat c*cat balik oleh pihak si korban. Lebih parahnya lagi, kemungkinan besar nyawa kami pun juga bisa melayang," kata Agus.
Ningrum melongo mendengarnya. Ia terkejut, tak menyangka jika Luna ternyata bukanlah lawan yang bisa dengan mudah dikalahkannya.
"Ya sudahlah." Ningrum berputus asa. Ia bangkit dari tempat duduknya dan lalu berbalik badan. Tepat di saat ia hendak melangkah pergi, Agus memanggilnya. "Ada apa lagi?" tanyanya.
"Saya ada ide yang sedikit gi-la, Bos. Tapi saya yakin ide ini bisa sedikit memuaskan perasaanmu, Bos," ujar Agus. "Yaa..meskipun si Luna nantinya tak bisa langsung m*ti, tapi setidaknya Bos bisa membuat hidupnya sedikit tersiksa," lanjutnya.
Ningrum penasaran. Ia kembali mendudukkan pantatnya ke kursi dan memajukan tubuhnya sedikit ke arah Agus yang berada di depannya.
"Ba- bagaimana caranya itu, Gus?" tanyanya, penasaran.
Agus tersenyum miring, "Caranya dengan-"
_