Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Mawarku Hanya Dia
Pandangan mata Haura masih terus tertuju pada dua belahan jiwanya. Mereka berjalan beriringan dengan pikiran yang tak bisa Haura tebak apa isinya.
Marah, malu, murka atau mungkin mengutuk dirinya Haura hanya bisa menerka-nerka. Tak berselang lama, ada satu mobil lain yang juga membuat jantung Haura semakin tak karu-karuan.
Bagaimana tidak? Di belakang kedua saudara laki-lakinya, seseorang yang terpaksa dia sakiti beberapa waktu lalu justru ikut serta.
"Ray? Untuk apa kamu ikut juga," ucap Haura menahan air mata yang kian lancang dan berontak turun detik itu juga.
Kedatangan Ray setelah cukup lama tidak berkomunikasi sebagai kekasih itu tak ubahnya bak hantaman batu besar di dada Haura. Mereka dekat, tapi sangat jauh dan kemungkinan besar setelah ini akan semakin jauh.
Hingga mereka tak lagi terlihat dan mungkin sudah masuk, Haura masih terus terpaku menatap ke luar jendela. Berharap semua hanya mimpi dan dia akan terbangun secepatnya.
"Haura ...."
Suara lembut itu terdengar memecah keheningan. Haura menoleh, Mama Syila menatapnya sendu di sana. Sontak Haura menghambur ke pelukan sang mama sembari meminta maaf lantaran sadar telah membuat kecewa.
Tidak hanya itu, Haura juga meratapi kebodohan dan mengungkapkan keresahannya dengan harapan pernikahan ini tidak akan terjadi setelahnya.
"Mama tolong, aku tidak mau ... aku tidak mau!! Ini bukan mauku, Ma!! Mama harus percaya aku tidak mungkin_"
"Shuut, sudah, tidak perlu menjelaskan panjang lebar ... Mama sudah dengar dari Abimanyu, Sayang, tenang."
Sembari memberikan usapan pelan di pundak putrinya, Mama Syila berucap lembut demi berusaha menguatkan Haura. Tanpa kebohongan, memang benar adanya Abimanyu telah memberitahukan rahasia ini kepada mereka beberapa saat setelah Haura terbang ke Bali.
Awal mendengar hancur, sakit dan luar biasa kecewa sebenarnya. Namun, Mama Syila tidak ingin menghakimi dan memojokkan putrinya.
"Mama percaya aku tidak salah?"
"Hem, percaya, Sayang percaya." Mama Syila mengangguk pelan dengan tangis yang susah payah dia tahan.
"Kalau percaya, tolong bantu ...."
"Bantu apa?"
"Bantu aku untuk membatalkan pernikahan ini, aku tidak_"
"Tidak ada yang bisa dibatalkan!!"
Suara tegas itu menggema, Haura terperanjat dan seketika berhenti bicara. Setelah tadi mamanya, sekarang papanya ikut masuk dengan memperlihatkan raut wajah yang berbeda.
Bukan bahagia ataupun sedih, melainkan kecewa dan terluka. Terlihat jelas dari caranya melihat Haura, tajam dan tak bersahabat hingga Haura ciut dibuatnya.
"Jangan lari dari kenyataan, bejalar tanggung jawab atas perbuatanmu, Haura!!"
"A-aku bisa bertanggung jawab, tapi tidak perlu dengan menikah, Pa."
"Tidak perlu menikah bagaimana? Kamu mau membuat Papa semakin malu? Apa kata dunia kalau kamu hamil tanpa suami, Haura?"
"Papa, dia punya istri!! Papa jangan buta!!"
"Papa tahu, Ervano sudah menjelaskan keadaannya lalu apa? Kamu mendesaknya menceraikan istrinya dulu baru mau dinikahi? Bukankah itu lebih egois lagi?" tanya Papa Zean beruntun sembari menatap sendu Haura.
Tampak sama-sama serba salah, Papa Zean terlihat bingung hendak bagaimana. Jujur saja sebenarnya dia tidak rela jika Haura dijadikan yang kedua. Akan tetapi, jika Ervano harus menceraikan istrinya lebih dulu hanya karena Haura yang memang bunuh diri juga salah, terlalu serakah, begitu pikir Papa Zean.
"Bu-bukan begitu, Pa."
"Lalu apa? Kamu tetap pada keputusanmu membesarkannya sendirian? Atau melibatkan Ray yang tidak salah untuk menutupi aibmu, Hah?"
"Tidak, tidak sama sekali, Papa!!" jawab Haura meninggi karena memang tidak ada niat untuk melibatkan Ray lagi.
"Bagus kalau tahu diri, sekarang fokus pada anak itu ... jangan halangi ayahnya untuk bertanggung jawab. Kecuali jika memang dia menolak kehadiran bayi itu maka kamu tidak perlu menikah, biar papa yang merawat anak itu, Haura," tegas Papa Zean tak terbantahkan.
Cukup dramatis situasi di dalam kamar. Dari depan pintu, Ervano mencuri dengar pembicaraan mereka. Dia menunduk dalam dengan setitik perasaan yang tak dapat dia definisikan, bahagia dan juga bersalah.
Bahagia karena kini wanita yang memang dia incar sejak lama sebentar lagi akan menjadi istri. Meski baru secara Agama, tapi restu kedua orangtua Haura sudah dia kantongi.
Sebelum pada akhirnya menyusul ke Bali, Ervano sempat menginjakkan kaki di kediaman keluarga itu dalam rangka meminta izin untuk menikahi Haura didampingi Abimanyu yang sengaja menjemputnya.
Tentang apa yang terjadi dia tidak perlu menjelaskan, karena Abimanyu sudah lebih dulu memberitahukan hal itu. Ervano hanya mengutarakan niatnya saja, dia juga jujur perihal pernikahan pertama yang sebenarnya tidak baik-baik saja sejak lama.
Hanya saja, untuk mengakhiri pernikahan yang terjalin atas dasar balas budi itu juga tidak mudah. Jasa mertuanya di masa lalu kepada keluarga Ervano yang sempat terpuruk membuat pria itu terikat dalam pernikahan bersama Sofia, sang istri yang sampai detik ini tidak menganggapnya sebagai suami sungguhan.
Seakan paham dengan posisi Ervano, Papa Zean memberikan restu sebagai jalan pintas karena tidak ingin Haura nekat membesarkan anaknya sendirian.
.
.
"Sedang apa kau di sini?"
Gleg
Ervano tertangkap basah, dia menggeleng pelan dan mencoba bersikap tenang.
"Kau sudah mendengar pembicaraan kami di dalam ... aku harap kau bisa mengerti dan jangan pernah membuat Haura terjebak di posisi sulit!! Kau sudah berjanji untuk melindunginya, sampai kau melukainya sedikit saja habis kau lihat saja!!"
Meski sebenarnya bisa melawan, tapi Ervano memilih mengangguk dan patuh pada ucapan calon mertuanya.
"Satu lagi!!" tegas Papa Zean masih ada susulannya. Sembari menatap tajam wajah Ervano yang dia akui memang lumayan, Papa Zean menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengungkapkan permintaan terakhirnya. "Pikirkan masa depannya ... segera ambil tindakan!! Lambat laun kau harus memilih istrimu atau putriku sebagai pendamping karena mustahil dua mawar bisa berkembang dalam satu jambangan, paham?"
"Iya, Pa, paham," ucap Ervano meyakinkan Papa Zean.
Tepukan pelan di pundak Papa Zean berikan sebagai bentuk dukungan untuk Ervano. Tentu saja sikap hangat Papa Zean membuat Ervano besar kepala. Sejak usia tiga tahun hingga kini dia hidup dengan tekanan papa tiri yang memaksanya bertindak sesuai ekspektasi membuat Ervano seperti haus kasih, terutama dari sosok papa.
Kembali kepada pesan terakhir Papa Zean sebelum berlalu, Ervano seketika membatin. "Dua mawar? Mawarku hanya Haura, Pa ... selain dari itu bunga bang-kai."
.
.
- To Be Continued -
dgn semangatnya kau mengajukan cerai dgn berbagai alasan tapi begitu dikabulkan sakit ya?
makanya dalam rumah tangga itu tdk perlu melakukan "uji nyali"
busuk