Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepiting Rebus
Selama perjalan pulang Zizi lebih banyak diam. Sesekali menyesap teh hangat untuk menetralisir perasaannya. Beberapa kali panggilan Kak Jeff diabaikan. Zizi yang merasa kesal dan terganggu memilih menonaktifkan ponselnya. Bian pun juga tak mengeluarkan sepatah kata pun. Membiarkan Zizi mengambil nafas sebentar dari permasalahan yang baru saja terjadi. Bian hanya fokus ke depan, mengemudi mobilnya. Sampai akhirnya ia menghentikan mobil di alamat yang dikatakan Zizi tadi.
“Jangan lupa makan, jangan biarkan perutmu juga ikut menangis.” Bian mencoba mencairkan suasana.
Senyuman tipis terbit dibibir Zizi. “Makasih.”
“Aku akan pergi setelah melihatmu masuk.”
Zizi kemudian melangkahkan kaki memasuki gerbang kost. Sebelum masuk, ia melihat kembali Bian yang masih setia berdiri di sana. Bian hanya tersenyum tanpa berbicara menatap Zizi yang kini memasuki gerbang. Ia lalu menghela nafas dan memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya duduk kembali di belakang kemudi.
Bian mengusap-usap dagunya, satu tangannya mengetuk-ngetuk kemudi. Mengingat kembali Zizi yang meluapkan emosi di depannya. Lagi-lagi ia menghela nafas panjang dan melajukan mobilnya membelah jalanan kota yang mulai sepi.
Sesampainya di rumah ia segera mandi dan mengganti semua pakaiannya. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Bukan ranjang kostnya, melainkan Villa milik keluarganya yang nantinya akan menjadi milik Bian. Jaraknya memang sedikit jauh dari kampus. Memakan waktu kurang lebih satu setengah jam untuk sampai. Ia kembali teringat Zizi.
“Apa dia baik-baik saja? Apa dia makan dengan baik? Andai saja aku tadi lebih cepat menyadari, pasti dia gak akan kena omelan dari kakaknya.”
Ting! Notifikasi whatsapp berdenting. Ia mengambil ponselnya di atas meja dapur. Zizi.
[Pak Bian terima kasih. Maaf aku merepotkanmu.]
[Boleh aku menelpon?]
[Why?]
[Untuk memastikan perutmu tidak kau abaikan.]
Tululit tululit. Tululit tululit.
“Kenapa malah dia yang telfon? Lucu sekali dia.” Meneguk minuman di tangannya.
--- Pak Bian udah liat? Aku gak mengabaikan perutku. --- mengambil sendok dan memakan nasi goreng yang dibelikan Bian.
--- Gadis pintar. ---
--- Aku Zizi. Aku bukan anak kecil. ---
--- Tapi, tadi Zizi pintar ini menangis seperti anak kecil. --- meledek Zizi.
Sontak Zizi menghentikan aktivitas makannya dan buru-buru mengganti mode ke suara.
--- Engga-engga aku bercanda. (Tertawa kecil melihat perubahan ekspresi Zizi) Nasi gorengnya enak? ---
--- Hmmm. Setidaknya perutku gak ikut nangis. ---
Bian tersenyum. Menghela nafas panjang. Meneguk minuman yang tadi diambilnya dan berjalan ke arah balkon. Semilir angin malam menambah syahdu suasana villa. Ditambah banyak orang yang mengunjungi villa keluarganya, menjadikan suasana lebih hidup.
[Sesyahdu itukah suasana di situ? Sampai-sampai nasi gorengnya udah masuk semua ke perut.]
[Kamu ngambek?] Bian kembali tertawa memperhatikan Zizi yang sedang cemberut di seberang sana.
[Maksudnya kalo udah gak ada yang diomongin dimatiin bukan dicuekin.] Jawabnya ketus.
[Apa-apaan nih? Mahasiswi ngambek sama dosen tampan?] Menatap Zizi dengan tatapan dalam menanti jawaban.
Bukan jawaban yang Bian dapat, namun akhiran panggilan. Bian terkekeh ketika mendapati panggilannya di putus sepihak oleh Zizi. Ia mencoba menelpon Zizi, namun panggilannya ditolak.
“Bisa-bisanya dia selucu ini.” Bian terkekeh sendiri kemudian mengirimkan pesan kepada Zizi.
[Rona merah wajahmu ketinggalan di layar hp. Gimana dong?]
Zizi kembali meraih hpnya ketika notifikasi whatsapp berdenting.
[Rona merah wajahmu ketinggalan di layar hp. Gimana dong?]
Seketika ia melempar ponselnya ke kasur. Ia menungkupkan kedua tangan ke wajah. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ia berlari ke lemari pendingin untuk mengambil minum dan meneguknya banyak-banyak. Kembali ke kamar berhenti di depan cermin. Menungkupkan kembali tangannya ke wajah. Ia mengerjapkan matanya berulang kali.
“Aaaaaaaaaa...”
Ia membenamkan kepalanya ke bantal. Perasaan malu muncul setelah membaca pesan dari Bina. Ia kembali merutuki dirinya yang memalukan itu.
“Rona merah? Apa wajahku udah berubah seperti kepiting rebus? Aaaaaaaa.” Ia kembali membenamkan kepalanya ke bantal. Merutuki dirinya.
Ting! Notifikasinya kembali berdenting.
[Tidur? Secepat itu? Waah pengaruh nasi goreng sangat luar biasa.] Bian masih saja terkekeh di tempatnya.
Zizi meraih ponselnya dengan ragu. Mencoba melihat pesan. Benar saja. Bian yang mengirimkan pesan.
[Tidur? Secepat itu? Waah pengaruh nasi goreng sangat luar biasa.]
[Tiba-tiba saja aku ngantuk setelah makan nasi goreng. Aku mau tidur. Jangan ganggu lagi.]
[Kamu nangis karena laper?]
[Engga! Aku bilang jangan ganggu lagi.]
[Terus kenapa masih dibales? Berarti dosen tampan ini gak ganggu dong?]
“Waaah. Gimana bisa dia se PD itu. Dosen secuek itu kalo di kampus, dia bisa sebucin ini?”
[Bapak bucin?]
“Tunggu-tunggu bucin?” meraih bantal dan memeluknya. “Bukannya dia cuma menghiburku karena aku menangis tadi? Aaaaaaa kenapa dunia serumit ini.” Zizi berbaring sambil menutupi mukanya dengan bantal.
“Lagian salah siapa dia terlalu ganteng? Salah siapa dia tebar pesona di layar ponsel?” katanya dengan sewot.
Dengan malu-malu ia melanjutkan. “Aku kan jadi..... berharap lebih.” Tersenyum kegirangan.
“Tapi.... benar gak ya tadi muka gue seperti kepiting rebus? Kenapa dia bilang tertinggal di layar? Apa jangan-jangan dia meng-capture layar? Hah? Matilah gue.”
Ia menyimpan ponselnya dan mengurungkan niat untuk membalas pesan Bian. Memilih mengambil laptopnya dan menonton serial drama Korea terbaru. Beberapa pesan masuk dari Kak Jeff dan teman-temannya pun ia abaikan. Menonton serial drama merupakan obat paling ampuh baginya untuk mengembalikan mood.
Sementara itu Bian masih duduk di balkon villa. Ia senderkan kepalanya ke dinding. Menatap langit malam yang penuh dengan cahaya bintang. Bibirnya masih menyunggingkan senyum. Menikmati syahdunya suasana malam di tepi pantai ditemani sekaleng kopi latte dingin di depannya. Bagaimana bisa dia selucu itu? Bagaimana bisa aku bisa selepas itu menggodanya? Nyaman? Entahlah sementara ini nyaman.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Bian menutup pintu balkonnya. Mengakhiri malamnya dengan meneguk habis sisa kopinya. Ia merebahkan tubuhnya di kasur dan memilih memejamkan mata untuk tidur. Good night, kepiting rebus. Semoga tak ada lagi mimpi buruk.
Sementara Zizi sudah terlelap dengan kondisi laptop yang masih menyala di atas kasur. Hari yang melelahkan baginya. Bergelut dengan emosi karena tuduhan kakaknya. Tentu saja dia masih menyimpan kekesalan terhadap kakaknya. Kalau saja Bian tak datang menghiburnya, mungkin saja dia masih menangis di pojok kamarnya. Hahaha selucu itu dunia Zizi, tak berbeda jauh dengan kepribadiannya yang random.
Felicia: [Zi, ponselmu udah ketemu? Dimana? Kata Nathan tadi kamu dianter Pak Bian? Udah sampai rumah? ]
Nathan: [Zi, loe aman? Loe beneran makan kan? Gue khawatir muka loe tadi pucet banget.]
Kak Jeff: [Hai adik? Kenapa telpon gue gak diangkat? Udah sampai rumah? Udah makan? Loe masih nangis? Gue minta maaf. Jangan cuekin gue. Please!]
Ponselnya masih saja terus berdering, sedangkan empunya sudah tertidur pulas.