Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Yang Tak Terucap
Keesokan harinya, Amara merasa bangun dengan semangat yang baru. Masih terbayang jelas dalam benaknya percakapannya dengan Adrian di kafe kemarin. Tatapan matanya yang hangat dan cara dia mendengarkan setiap kata yang Amara ucapkan meninggalkan kesan mendalam. Amara merasa seperti telah bertemu dengan seseorang yang benar-benar menghargai dan memahami dirinya—sesuatu yang jarang ia temui sebelumnya.
Saat ia memulai hari di kafe, ada perasaan harap-harap cemas bahwa mungkin hari ini Adrian akan datang lagi. Ia tak ingin terlalu menggantungkan harapannya, tetapi jauh di dalam hati, ia tahu bahwa ia ingin melihat pria itu lagi. Setiap kali pintu kafe terbuka, Amara tak bisa menahan diri untuk menoleh, berharap itu adalah Adrian. Namun, hingga siang hari, ia belum melihat sosok yang ditunggu-tunggunya.
Bima yang melihat gelagat Amara tak bisa menahan senyumnya. "Wah, kelihatan banget loh, Mara. Mau sampai kapan kamu nyembunyiin perasaan itu?"
Amara tersipu, meski ia berusaha menyangkal. "Apa sih, Bim. Aku cuma lagi banyak pikiran aja."
Bima tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Oh ya? Banyak pikiran, tapi matanya sibuk melirik ke arah pintu setiap lima menit sekali. Kayaknya nggak perlu jadi detektif deh buat tahu kalau kamu lagi nunggu seseorang."
Amara mencoba menahan senyumannya. "Udahlah, Bim. Aku cuma... ya, nggak ada apa-apa kok."
Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa Bima benar. Sejak pertemuan itu, ia merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ada harapan yang perlahan tumbuh, meski ia tahu dirinya tak bisa terlalu berharap banyak.
Menjelang sore, saat kafe mulai lebih sepi, Amara sedang mengelap meja ketika pintu kafe kembali terbuka. Tanpa sadar, ia menoleh, dan kali ini sosok yang ia tunggu akhirnya muncul. Adrian melangkah masuk dengan senyum yang begitu tenang, seperti biasanya. Tatapan mereka bertemu sejenak, dan Amara merasakan debaran di dadanya.
"Halo, Amara," sapa Adrian dengan suara hangat.
Amara tersenyum, berusaha menjaga sikapnya agar tidak terlalu terbawa perasaan. "Halo, Adrian. Selamat datang kembali. Mau pesan kopi seperti biasa?"
Adrian mengangguk sambil mengamati ruangan kafe yang terasa lebih tenang sore itu. "Iya, kopi seperti biasa. Kafe ini selalu bikin nyaman."
Setelah menerima pesanan, Amara langsung menyiapkan kopi untuk Adrian. Sambil menunggu, ia mencoba menenangkan pikirannya yang tiba-tiba dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa yang membuat Adrian kembali? Apakah pertemuan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih?
Setelah kopinya siap, Amara mengantarkannya ke meja Adrian. Ia merasakan tatapan pria itu yang tampak penuh arti, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang belum terucap.
"Terima kasih, Amara. Kopi kamu selalu enak," ujar Adrian sambil tersenyum.
Amara duduk di kursi di hadapannya, sedikit ragu namun tergerak oleh rasa ingin tahu yang kuat. "Sama-sama. Senang kamu suka," jawabnya pelan.
Mereka mulai berbincang, awalnya hanya tentang hal-hal ringan. Amara mulai merasa lebih nyaman, seperti mengobrol dengan teman lama. Adrian menceritakan sedikit tentang pekerjaannya yang sering membuatnya bepergian ke berbagai kota. Namun, ada sesuatu di balik cerita Adrian yang membuat Amara penasaran. Sesekali, ia merasa Adrian seperti ingin bercerita lebih dalam, tetapi ragu untuk mengungkapkannya.
"Kamu tahu, ada saatnya aku merasa lelah dengan rutinitas ini," ujar Adrian pelan, menatap kopinya sejenak sebelum kembali menatap Amara. "Kadang aku ingin berhenti dan mencari sesuatu yang lebih... bermakna."
Amara merasakan ada sesuatu yang mendalam dalam kata-kata Adrian. "Aku mengerti. Kadang kita memang butuh waktu untuk mencari apa yang benar-benar kita inginkan."
Tatapan Adrian semakin lembut, seolah menemukan pemahaman di mata Amara. "Kamu tahu, aku merasa nyaman berbicara denganmu. Seolah kamu mengerti apa yang aku rasakan, bahkan tanpa aku harus menjelaskannya."
Kata-kata itu membuat Amara tersentuh. Ia menyadari bahwa pertemuan mereka mungkin bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang belum bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Mereka melanjutkan obrolan hingga sore semakin larut, dan Amara menyadari bahwa waktu berlalu begitu cepat ketika bersama Adrian. Saat Adrian akhirnya berpamitan, Amara merasa ada sedikit rasa kosong yang mengisi hatinya. Namun, ia juga merasakan harapan yang tak bisa ia abaikan.
"Terima kasih untuk waktunya, Amara. Sampai bertemu lagi," kata Adrian sambil tersenyum sebelum melangkah keluar.
Setelah Adrian pergi, Amara berdiri di dekat jendela kafe, menatap bayangannya yang perlahan menghilang di kejauhan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini mungkin akan membawa perubahan besar dalam hidupnya, meskipun ia belum tahu ke mana arah semua ini akan berakhir.
Malam itu, saat Amara berbaring di tempat tidurnya, ia memutar kembali setiap percakapan mereka dalam pikirannya. Setiap senyuman, setiap tatapan Adrian, semuanya terasa begitu berarti. Ada kehangatan yang tak bisa ia abaikan, dan ia menyadari bahwa hatinya mulai terikat pada pria itu.
Namun, di balik semua rasa bahagia itu, ada sedikit rasa khawatir yang perlahan muncul. Siapa sebenarnya Adrian? Apa yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini? Dan apakah perasaan yang perlahan tumbuh di hatinya ini akan menemukan jalannya, atau justru membawa Amara ke jalan yang penuh dengan rintangan?
Satu hal yang pasti, Amara tahu bahwa ia tidak bisa lagi mengabaikan perasaannya. Adrian telah menjadi bagian dari hidupnya, meski pertemuan mereka masih terbilang singkat.