Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4. Breakfast untuk Alvaro
“Drrrttt ... drrrttt ... drrrtt,” notif pesan masuk membuat Ayzel terbangun dari tidur pulasnya.
“Eung ... siapa sih pagi begini,” Ayzel mengambil ponsel yang ada di nakas.
Rasa kantuknya mendadak hilang saat melihat siapa yang mengirimi pesan sepagi itu, dia bangun dan menyamankan posisi duduknya di kasur.
“Maaf mengganggu paginya Ayzel. Untuk hari ini tolong siapkan breakfast untuk pak Alvaro,” pak Kim mengiriminya pesan dan meminta untuk menyiapkan sarapan untuk atasannya.
“Bagaimana dengan menunya pak?” Ayzel tentu bingung harus menyiapkan sarapan apa untuk Alvaro, tidak pernah terpikirkan bahwa dia juga harus menyiapkan sarapan untuk atasannya.
“Siapkan saja nasi goreng Indonesia untuknya pagi ini,” sedikit frustasi itu yang Ayzel rasakan setelah membaca pesan pak Kim.
“Baik pak,” dia sebenarnya bingung harus mencari nasi goreng Indonesia dimana karena masih terlalu pagi.
“Aku pikirkan nanti saja,” dia bergegas ke kamar mandi mengambil air wudhu untuk ibadah subuh. Mungkin saja akan menemukan ide setelah ibadah, itulah yang ada dalam benak Ayzel saat ini.
Ayzel membuka aplikasi yemeksepeti di ponselnya, berharap ada restoran Asia yang sudah buka pada jam-jam sarapan pagi. Sudah lima belas menit dia mencari-cari restoran Asia, namun tak ada satupun yang buka di jam-jam pagi. Rata-rata restoran Asia akan buka pada jam sembilan waktu setempat. *Yemeksepeti merupakan aplikasi pesan antar makanan yang mirip go food atau grap food yang ada di Indonesia.*
“Naira bisa bantu aku?” Ayzel mengirim pesan pada rekan sekampusnya. Naira adalah seorang food vloger, siapa tahu dia punya referensi restoran Asia yang buka pagi hari.
“Masih pagi bu Ayzel,” dari ujung telepon Naira protes karena Ayzel menganggu tidurnya.
“Maaf Nai, besok aku traktir deh apa saja kamu mau. Darurat ini Nai,” Ayzel menceritakan tentang atasannya yang minta sarapan nasi goreng Indonesia.
“Wah ... gila tu orang, mana ada jam segini restoran yang jual makanan Indonesia. Buatin aja sendiri,” ide gila Naira sungguh di luar nalar.
“Pak Alvaro itu CEO Nai, dia biasa makan makanan resto. Masa iya kamu suruh makan masakan buatanku?” dari ujung telepon Naira tak dapat menahan tawanya.
“Sesekali CEO breakfast masakan rumahan,” ujar Naira.
Ayzel menyudahi pembicaraan teleponnya dengan Naira, dia melihat jam dinding sudah menunjukkan jam enam pagi. Alvaro sampai kantor sebelum jam delapan, tetap saja tidak mungkin menemukan restoran Asia. Ayzel sedang menimbang-nimbang saran dari Naira, haruskah dia nekat membuatkan nasi goreng sendiri.
“Bilang saja semua reto belum buka, iya begitu saja. Biar saja kalau mau marah,” Ayzel bermonolog dengan dirinya sendiri.
“Saya jemput kamu jam tujuh,” Ayzel tersedak sarapannya sendiri saat membaca pesan yang di kirim Alvaro.
“Maksud pak Alvaro?”
“Kita berangkat ke kantor sama-sama Ze, saya jemput keapartemen kamu. Tidak ada penolakan,” baru sehari dia menjadi asisten Alvaro, ada saja gebrakan yang di buat atasannya itu.
“Baik pak,” Ayzel mendengus sebal tak bisa membantah Alvaro.
Apartement Ayzel ada di lantai lima, dia bergegas turun sebelum atasnnya datang. Sebelum tutun da membuka tasnya kembali, memastikan tidak ada satu barangpun yang tertinggal. Ayzel juga memeriksa totebagnya, melihat draf tesis dan baju ganti untuk di pakai ke kampus sudah masuk semua. Seperti biasa dia akan langsung berangkat ke kampus dari kantor saja, itu lebih menghemat waktunya.
Alvaro ternyata sudah datang, sepertinya sudah ada di sana sejak beberapa menit lalu. Ayzel merasa lega, setidaknya hari ini Alvaro tidak menyetir sendiri melainkan menggunakan supir.
“Mau berdiri berapa lama lagi di situ?” Alvaro menegur Ayzel yang tak segera masuk mobil.
“Sampai besok,” gumam lirih Ayzel namun tak sampai terdengar oleh atasannya itu. Ayzel memutar, masuk ke dalam sisi mobil yang satunya. Dia duduk di belakang bersama Alvaro.
“Kenapa pak Alvaro harus jemput saya sih?” protes Ayzel pada Alvaro.
“Karena kamu asisten saya. Jadi tidak perlu khawatir tentang pendapat orang lain,” Alvaro menjawab tepat sasaran.
Seolah Alvaro tahu apa yang sedang di pikirkan Ayzel, rasanya tidak relevan untuknya yang baru dua hari menjadi asisten CEO tapi sudah mendapatkan previllage antar jemput.
“Apa ini artinya setiap hari saya harus berangkat bersama pak Alvaro?” Ayzel memastikan lebih dulu sebelum dia mengutarakan pendapat pada atasannya.
“Tidak! Kalau kamu bisa sampai kantor dalam waktu lima belas menit,” Alvaro tetap fokus dengan ponselnya. Namun sesekali melirik kearah Ayzel yang telihat sedang berpikir.
“Mana bisa? Kecuali saya menggunakan kendaraan pribadi,” sanggah Ayzel pada Alvaro.
“Ok ... kita lihat nanti,” ucap Alvaro.
Mereka sudah sampai di kantor, Ayzel menyiapkan kopi terlebih dulu untuk atasannya. Dia membuatnya sesuai takaran perbandingan kopi dengan gula yang sudah di informasikan pak Kim. Ayzel meletakkannya di meja Alvaro, kemudian dia kembali ke mejanya untuk mengerjakan tugas lainnya.
“Ze, mana sarapan saya?” Ayzel sedikit bingung.
“Bagaimana kalau kita ganti menu breakfastnya pak? Semua restoran makanan Asia baru buka jam sembilan pak," jelas Ayzel pada Alvaro.
“Lalu itu punya siapa?” Alvaro menunjuk kotak bekal yang ada di meja Ayzel.
“Punya saya pak,” Ayzel menjawab dengan ragu-ragu.
“Bawa ke sini!” titah Alvaro, mau tak mau dia membawa kotak bekal itu pada atasannya itu. Jika tahu Alvaro akan meminta bekal itu tentu Ayzel tidak akan memabwanya.
“Sepertinya aku sudah gila mengikuti saran Naira,” ucap Ayzel dalam hati sambil menatap kotak bekal yang sudah berada di tangan atasannya itu.
Kotak bekal itu sebenarnya berisi nasi goreng buatan Ayzel, dia ragu untuk memberikannya pada atasannya. Jika di bandingkan dengan masakan restoran tentunya masakan Ayzel kalah jauh, tapi dia tetap membuatnya. Nasi goreng itu bisa dia makan sendiri kalaupun Alvaro tidak mau atau tidak sesuai dengan seleranya.
“Bukannya tadi kamu bilang semua restoran makanan Asia belum ada yang buka? Lalu ini apa kalau bukan nasi goreng ala Indonesia?” Ayzel benar-benar mati kutu atas pertanyaan Alvaro.
“Itu nasi goreng buatan saya pak. Mana mungkin saya kasih ke pak Alvaro,” tidak mungkin dia memberikan nasi goreng yang rasanya biasa saja itu pada Alvaro.
“Kamu taruh racun di sini?” Alvaro menunjuk nasi goreng buatan ayzel.
“Mana mungkin saya taruh racun, pak Alvaro ada-ada saja. Itu hanya nasi goreng biasa,” Ayzel memijat pelipisnya mendengar ucapan atasannya.
“Ok ... lanjutkan pekerjaanmu,” Ayzel kembali ke mejanya. Dia mulai menghubungi beberapa klien yang akan bertemu dengan Alvaro siang ini, memastikan ulang jam ke datangan dan tempat mereka akan bertemu.
Alvaro tampak menikmati nasi goreng buatan Ayzel, dia menyantapnya dengan perlahan sambil melihat pekerjaannya yang ada di macbooknya. Aktivitasnya terinterupsi sesaat oleh Ayzel.
“Pak Alvaro maaf, boleh saya keruangan bu Athaya sebentar?” Alvaro hanya mengangguk karena mulutnya sibuk mengunyah nasi gorengnya.
Seperti rencana Ayzel semalam, dia harus membicarakan tentang pekerjaannya pada bu Athaya yangtak lain adalah HRD perusahaan tersebut.
Ayzel sudah di ruangan bu Athaya, mereka membicarakan tentang tugasnya dulu di tim riset dan pengambangan konsep. Karena saat ini dia menjadi asisten Alvaro, Ayzel perlu memastikan apakah ada perubahan tanggung jawab.
“Trimakasih bu Athaya, saya permisi” Ayzel pamit dari ruangan Athaya setelah mereka mencapai sebuah kesepakatan. Ayzel harus bicara dulu dengan Alvaro sebelum kesepakatannya dengan Athaya dapat di realisasikan.
Di dalam sudah ada pak Kim yang terlihat sedang serius membicarakan sesuatu dengan pak Alvaro. Ayzel kembali ke mejanya dan kembali fokus mengerjakan beberapa tugasnya, targetnya adalah selesai sebelum jam satu siang. Agar dia tidak terlambat ke kampus, hari ini dia ada janji konsultasi dengan pembimbing tesisnya.
“Semangat Ayzel!” ucap pak Kim pada Ayzel sambil mengepalkan dua tangannya yang diangkat keatas.
“Haha ... baik pak Kim,” Ayzel tersenyum pada pria paruh baya yang katanya selalu menemani Alvaro dari awal perusahaannya berdiri.
Ayzel sangat fokus dengan pekerjaannya, dia menyelesaikan deadline demi deadline untuk Alvaro hari ini. Alvaro memperhatikan cara kerja Ayzel dari mejanya, sesekaili dia melihat Ayzel menggigit jari kukunya di tengah-tengah fokusnya.
“Menggemaskan,” ucap Alvaro yang melihat asisten barunya itu mengigit kuku ibu jarinya. Tentunya ucapannya tidak di dengar Ayzel karena dia benar-benar sedang fokus pada PC nya.
Sesekali Ayzel akan merentangkan badannya ke kanan dan ke kiri untuk relaksasi. Sekarang dia paham arti di balik ucapan semangat dari pak Kim, mejadi asisten seorang CEO ternyata tidak mudah.
Ayzel melirik jam dinding yang sudah menunjukkan angka 11, masih sisa dua jam lagi sebelum dia ke kampus. Dia melangkah menuju meja Alvaro sambil membawa beberapa berkas yang akan di bawa bertemu dengan klien siang ini.
“Ini berkas-berkas yang pak Alvaro perlu bawa saat bertemu klien nanti. Tiap berkas sudah ada notes masing-masing agar tidak tertukar,” jelas Ayzel pada atasannya tersebut.
“Kamu tidak ikut bersama saya dan Kim?” ucap Alvaro sembari membaca berkas yang di berikan Ayzel.
“Hari ini saya ada janji dengan dosen,” jawab Ayzel
“Hmm ... baiklah, pastikan semua pekerjaanmu sudah selesai” Alvaro menandai salah satu berkasnya dengan spidol merah.
“Tolong bagian ini di rubah,” Alvaro memberikan berkas yang sudah dia tandai pada Ayzel untuk di rubah sesuai dengan kemauan Alvaro.
“Baik pak,” dia kembali ke mejanya. Tak perlu waktu lama untuk Ayzel merubah sesuai dengan yang diinginkan atasannya, dia kembali menyerahkan berkasnya pada Alvaro.
Ayzel mengurungkan niatnya untuk menyampaikan terkait pekerjaanya pada Alvaro, atasannya terlihat sangat sibuk. Alvaro sedang mempelajari semua berkas yang akan dia bawa meeting bersama klien.
“Ze ...” Alvaro mengangkat kotak bekal yang sudah kosong, kemudian Ayzel mengambilnya dari tangan Alvaro.
Namun tingkah jahil Alvaro tiba-tiba muncul, dia menggoda dan mengerjai Ayzel. Alvaro menarik kaotak bekal yang sudah di pegang Ayzel, tindakannya tersebut membuat Ayzel tertarik maju ke depan mendekat pada wajah Alvaro.
“Mulai besok buatkan sarapan untuk saya!”
“Ini perintah! tidak ada penolakan,” Ayzel menirukan ucapan Alvaro sebelum lebih dulu atasannya mengucapkan hal yang sama berulang kali.
Alvaro tersenyum mendengar ucapan Ayzel. “Baru dua hari. Kamu sudah berani dengan saya?” ucap Alvaro.
“Maaf pak,” karena merasa kesal Ayzel seketika lupa dia sedang berbicara dengan atasannya. Ada banyak restoran dengan menu beragam, bahkan dia bisa menyewa chef pribadi. Tapi kenapa harus dia yang membuatkan sarapan, itulah yang ada dalam benak Ayzel.
“Ok ... calon istri,” Alvaro terkekeh setiap kali melihat ekspresi terkejut Ayzel akibat ulahnya. Alvaro seperti mendapatkan energi baru selama tinggal di Turki semenjak dia bertemu dengan Ayzel.
“Awas ya pak kalau sampai ada yang salah paham,” Ayzel mengingatkan atasannya. Dia tidak mau menjadi bahan gosip jika ada orang yang tidak sengaja mendengar ucapan Alvaro barusan.
Bukannya membalas atau menjawab ucapan Ayzel, Alvaro justru berdiri dari duduknya. Dia pindah posisi menjadi berdiri berada di samping tempat Ayzel yang juga sedang berdiri saat ini.
“Saya masih menantimu mengingat saya Ayzel,” Alvaro tersenyum pada Ayzel menampilkan sudut bibirnya yang indah.
“Itu lagi ... tidak ada kata lain pak?” ucap Ayzel yang masih belum ingat diaman mereka bertem.
“Ada, kalau begitu menikahlah dengan saya!” ucapan Alvaro benar-benar di luar nalar Ayzel.
“Sepetinya aku yang butuh psikolog kalau CEOnya modelan pak Alvaro,” Ayzel berlalu dari hadapan atasannya tersebut sambil menepuk jidatnya. Sementara Alvaro menahan tawanya melihat ekspresi Ayzel.