Aruni sudah sangat pasrah dengan hidupnya, berpikir dia tak akan memiliki masa depan lagi jadi terus bertahan di kehidupan yang menyakitkan.
"Dasar wanita bodoh, tidak berguna! mati saja kamu!" makian kejam itu bahkan keluar langsung dari mulut suami Aruni, diiringi oleh pukulan yang tak mampu Aruni hindari.
Padahal selama 20 tahun pernikahan mereka Arunilah sang tulang punggung keluarga. Tapi untuk apa bercerai? Aruni merasa dia sudah terlalu tua, usianya 45 tahun. Jadi daripada pergi lebih baik dia jalani saja hidup ini.
Sampai suatu ketika pertemuannya dengan seseorang dari masa lalu seperti menawarkan angin surga.
"Aku akan membantu mu untuk terlepas dari suamimu. Tapi setelah itu menikahlah denganku." Gionino.
"Maaf Gio, aku tidak bisa. Daripada menikah lagi, bukankah kematian lebih baik?" jawab Runi yang sudah begitu trauma.
"Kamu juga butuh seseorang untuk menguburkan mu Runi, ku pastikan kamu akan meninggal dalam keadaan yang baik."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LFTL Bab 32 - Makin Banyak Bicara
5 hari berlalu dan selama itu pula Gionino mengasingkan dirinya sendiri dari semua orang. Gionino tidak pulang ke rumah utama, tidak pulang ke rumah yang kini ada Aruni dan Adrian.
Gionino justru mendatangi salah satu villanya yang berada di dekat pantai.
Setiap hari sejak matahari terbit sampai matahari terbenam, Gionino hanya terus menyalahkan dirinya sendiri. Kadang ada air mata yang jatuh, kadang tangannya memukul kuat semua benda di hadapannya.
Villa yang awalnya begitu rapi kini nampak sangat berantakan, seperti hati dan hidupnya saat ini. Berulang kali Gionino menyebut dirinya sendiri bodoh.
"Tuan, mau sampai kapan anda terus menyalahkan diri seperti ini?" tanya Deni.
Sekarang Deni telah memahami situasi yang terjadi, sebab tiap malam tuan Gionino selalu mengungkapkan semua penyesalan padanya. Berulang kali berkata andai beliau bisa memutar waktu.
Ucapan Deni tersebut seperti tak terdengar di telinga Gionino, deru ombak pantai lebih menguasai pendengarannya.
Sore ini lagi-lagi Gionino hanya duduk di kursi balkon, menatap langit yang nampak jingga. Dalam hitungan detik rasanya matahari di ujung sana akan segera tenggelam.
'Aruni,' batin Gionino.
Kini dia seperti tak punya wajah untuk menghadap, rasanya tak akan mampu menatap kedua mata Aruni lagi.
Tiap kali membayangkan hal itu dadanya sesak sekali, tenggorokannya tercekat. Meski hanya diam namun Gio merasa kesulitan untuk bernafas normal.
Dering ponsel yang nyaring bahkan tak berhasil membuat lamunan Gionino buyar.
Sampai akhirnya Deni yang bergerak untuk mengambil ponsel milik tuannya tersebut.
"Tuan, Adrian menghubungi anda," ucap Deni.
Deg! jantung Gionino sontak berdenyut nyeri saat mendengar satu nama itu. Tiba-tiba kedua tangannya terasa gemetar dengan keringat dingin yang perlahan muncul.
"Adrian?" tanyanya pada sang asisten ingin memastikan. Rasa bersalahnya bukan hanya pada Aruni, tapi juga pada anak malang tersebut.
"Benar Tuan, ini Adrian," jelas Deni dengan lebih gamblang.
Gionino butuh beberapa detik untuk mengumpulkan semua keberanian, sampai akhirnya dia putuskan menjawab panggilan tersebut.
"Halo," jawab Gionino.
"Pak Gio," balas Adrian di ujung sana yang juga merasa gugup. Adrian justru telah berusaha mengumpulkan keberaniannya sejak kemarin.
Tiba-tiba tuan Gionino menghilang sampai berhari-hari tanpa kabar, bahkan saat Adrian bertanya pada bibi Jema, bibi Jema pun tak mengetahui kemana perginya tuan Gionino.
Cemas, khawatir, was-was, semua perasaan tak nyaman itu menguasai hati Adrian. Hingga malam ini dia membulatkan tekad untuk menghubungi lebih dulu.
"Apa Pak Gio baik-baik saja? kenapa tidak pulang?" tanya Adrian.
Bukanya menjawab pertanyaan itu, Gionino justru menangis dengan suara yang tertahan, dia usap wajahnya kasar menggunakan satu tangan.
Anak yang hidupnya telah dia hancurkan kini justru mencemaskan keadaannya.
"Pak?" panggil Adrian sekali lagi, sebab bukannya mendapat jawabannya dia justru samar-samar seperti mendengar Isak tangis.
"Iya Adrian, aku baik-baik saja," jawab Gio dengan susah payah, susah sekali bicara disaat dia berusaha menyembunyikan tangis seperti ini.
Deni yang melihat keadaan tuanya benar-benar merasa iba, namun dia tak bisa berbuat banyak, hanya bisa menemani dalam keadaan apapun.
"Benarkah? Kapan Bapak akan pulang?" tanya Adrian.
"Besok, besok aku akan pulang, ya?"
"Iya, aku akan menunggu."
Gionino menganggukkan kepalanya dengan kuat, seolah Adrian mampu melihatnya.
"Bagaimana ibumu? Dia sehat kan?" tanya Gio.
"Iya, di sini ibu memiliki banyak teman, ibu jadi lebih ceria, jadi makin banyak bicara," jawab Adrian antusias.
Namun lagi-lagi malah berhasil membuat Gionino kembali menjatuhkan air matanya. Pedih saat menyadari dia tak mampu membuat Aruni tertawa, justru dia ikut andil untuk membuat tawa wanita cantik itu menghilang.
Gio tak sanggup lagi terhubung dengan panggilan ini, jadi dia langsung memutuskannya secara sepihak.
Lalu menangis dengan keras sebab semakin ditahan dadanya seperti ingin meledak.
Sementara Adrian dibuat hampa saat tiba-tiba panggilnya terputus. Adrian bahkan terus menatap layar ponselnya, berharap tuan Gionino akan menghubunginya, tapi ternyata tidak.
"Ya Tuhan, semoga pak Gio baik-baik saja. Semoga besok pak Gio pulang," gumam Adrian.
"Adrian! Ayo kita makan malam," panggil Aruni dari arah dapur.
Adrian yang tadi sengaja menjauh kini berlari ke arah sang ibu.
lagi dong...
semoga gio mengikuti andrian td saat keluar rmh🤲