NovelToon NovelToon
Masihkah Ada Cinta?

Masihkah Ada Cinta?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Cinta Murni / Romansa / Penyesalan Suami / Trauma masa lalu
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fahyana Dea

Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.

Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.

Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apa yang kamu sembunyikan?

Tidak ada kesepakatan apa pun sebelum menikah, tentang hubungan masa depan mereka, tentang seorang anak yang bisa hadir kapan saja. Nino tidak pernah mengatakan jika dirinya tidak bisa melakukan hubungan seksual. Mereka bahkan pernah merencanakan untuk segera mempunyai anak.

Namun, nyatanya setelah enam bulan menikah, mereka bahkan belum pernah melakukan apa pun. 

Pertanyaan Karina membuat Nino tertegun untuk beberapa saat. Mencoba untuk mencari jawaban yang sebenarnya sudah ada, tapi sulit diungkapkan dan Nino belum yakin karena hal itu.

"Kita bisa kan, Mas?" tanya Karina lagi. Mendesak Nino untuk segera menjawab.

Nino menarik napas dalam. "Iya." 

Kening Karina mengernyit samar. Jawaban Nino dirasa kurang jelas. 

"Mas, aku udah bilang sebelum kita menikah. Jangan pernah ada yang kita sembunyikan tentang masa lalu. Sekarang, apa yang kamu sembunyikan dari aku?" 

"Aku gak sembunyiin apa-apa, Karin." 

Karina membuang napas pelan. "Aku tahu kalau pernikahan itu bukan hanya sekadar hubungan seksual aja, tapi aku perlu tahu alasan kamu. Kenapa sampai sekarang kita belum pernah melakukannya sampai ke tahap itu?"

Nino menatap Karina lekat-lekat. 

"Apa yang kurang dari aku, Mas? Apa kamu merasa gak nyaman karena kamu bukan yang pertama buat aku?" 

"Bukan itu, Karin." Nino menjawab cepat. "Bukan itu alasannya." 

"Lalu, apa? Atau kamu punya wanita lain yang lebih bisa memuaskan kamu di luar sana?" 

Nino menggeleng lebih kuat. "Enggak, aku gak mungkin melakukan itu." 

"Terus apa, Mas?" Karina mulai frustrasi. "Aku rasa kita harus mulai membicarakan ini. Kenapa kamu gak pernah bilang dari awal kalau kamu gak bisa melakukannya?" Karina mendesak Nino agar mau berkata yang sejujurnya. 

Tarikan napas Nino sedikit memberat. "Sebenarnya … aku juga gak tahu alasan pastinya kenapa." Nino mencoba untuk mengingat bagaimana perasaan tidak nyamannya ketika malam pertama mereka saat itu.

"Apa yang terjadi sama kamu, Mas?" Karina melihat perubahan ekspresi Nino yang tampak cemas.

Nino menggeleng pelan. "Aku gak tahu, Karin. Selama ini aku merasa baik-baik aja. Itu semua di luar kendaliku." 

Karina melunak dari sebelumnya. Ia tidak bisa menebak, apa yang terjadi pada Nino dan tidak akan memaksa Nino untuk bicara sekarang. Mungkin, mulai sekarang Karina harus menerima bagaimanapun keadaan suaminya. Tidak masalah jika mereka memang tidak bisa punya anak. 

Karina memeluk Nino, ia terlihat tidak nyaman saat membicarakan tentang hal itu.

Nino membalas pelukan Karina lebih erat. "Maafin aku ya, Sayang. Aku tahu, kamu mau kita segera punya anak, tapi ternyata aku belum mampu kasih itu buat kamu."

"Mungkin ini belum saatnya, Mas. Maafin aku juga karena udah bertanya tentang sesuatu yang membuat kamu gak nyaman." 

Nino mengeratkan pelukannya. Ia merasa bersalah sekarang. Ia tidak bisa menjadi suami yang sempurna bagi Karina. 

***

Senyum bahagia terpancar dari kedua mempelai yang duduk di pelaminan. Mereka terus menebar kebahagiaan pada tamu yang datang dan bersalaman untuk mengucapkan selamat. Suasana di gedung siang itu sangat ramai, tamu undangan sedang ramai-ramainya. 

Pernikahan anak dari kakak ibu Karina itu diadakan di sebuah rumah joglo dengan adat sunda. Bangunan yang didominasi oleh material kayu itu semakin memperkental nuansa tradisional. Musik khas Cianjuran kecapi-suling diiringi oleh suara sinden yang merdu membuat para pengunjung merasakan kedamaian dan ketenangan karena harmonisasi musik dan vokalnya.

Di tengah ramainya pengunjung, Nino sedang berbincang dengan orang tua Karina, sedangkan Karina sendiri sedang asyik mengajak Shayna bermain yang berada di pangkuan Lany. Tak lama kemudian, Nino menghampiri mereka dan duduk di samping Karina. 

"Suami Mbak ke mana?" tanya Nino pada Lany. 

"Tadi keluar sebentar, lagi terima telepon."

"Oh." Nino mengangguk-angguk. Lalu, ia menoleh pada Karina yang sekarang sedang membalas chat. "Sayang, kamu mau makan sesuatu? Biar aku yang ambilin." 

Karina berpikir sejenak. "Aku mau ice cream." 

"Kayaknya kamu gak bisa makan itu, deh." 

Karina mencebik. "Kenapa?" 

"Ada cokelatnya. Kamu gak bisa makan cokelat." 

"Cokelatnya cuma dikit, Mas." 

"Aku gak mau ambil risiko. Lebih baik mencegah daripada mengobati." Nino tersenyum. 

Karina mendesah pelan. "Ya, udah, deh. Terserah Mas aja mau ambilin apa." 

"Sop buah mau?" 

Karina tersenyum seraya mengangguk. 

"Oke, tunggu sebentar, ya." Nino beranjak dari duduknya, sebelum ia bergerak menuju stan sop buah yang tidak jauh dari mereka. Nino melirik pada Lany. "Mbak mau juga? Biar sekalian aku ambilin."

"Enggak usah, aku udah kenyang." Lany menjawab seraya menggeleng. 

Setelah itu, Nino melangkah menuju stan makanan yang diinginkan oleh Karina. 

"Kamu beruntung dapetin dia, Na." Lany berujar setelah Nino cukup jauh dari mereka. Karina mengangkat wajah untuk menatap wanita yang duduk di sebelahnya. 

"Ah, masa, sih?" tanya Karina skeptis. 

Lany mengangguk. "Dia kelihatan sayang banget sama kamu. Sorot mata orang itu gak bisa bohong. Emang kamu gak ngerasa? Aku aja ngerasa kalau Sagara cinta mati sama aku." Lany terkekeh. "Iya, kan, Yang?" Lany menoleh saat melihat Sagara yang datang menghampirinya. 

"Iya apa?" Pria itu memasang raut wajah bingung. 

"Iyain aja." 

Pria itu tersenyum. "Iya." 

Ketika tersenyum, dia juga mempunyai lesung pipi seperti Nino. Karina memerhatikan interaksi pasangan di sampingnya. Mereka sama-sama saling mencintai. Sebenarnya, Karina juga sangat yakin Nino mencintainya. Namun, terkadang, masih ada rasa gengsi untuk mengakui. 

"Na, aku boleh titip Shayna sebentar, gak? Aku pengen ke toilet. Nunggu Papanya balik, aku udah gak kuat." 

Beberapa saat lalu, Sagara pergi untuk mengambil minum. 

"Boleh." Karina dengan senang hati mengambil alih Shayna ke pangkuannya. 

Tak lama kemudian, Nino kembali dengan dua cup kecil berisi sop buah. Ia meletakkannya di meja dan duduk di tempat semula. 

"Hai, Om Nino," sapa Karina dengan suara dibuat imut dengan menggerakkan tangan Shayna melambai-lambai pada Nino. 

Nino tersenyum, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menatap Shayna lebih dekat. "Hai, Shayna. Mama Shayna ke mana?" Nino mengajak bayi itu berbicara walau yang menjawabnya Karina. Bayi perempuan itu hanya tersenyum saat Nino menyapa dan mengajak bicara. 

"Mama aku lagi ke toilet, Om. Jadi, aku sama Tante Karina dulu." 

Nino terkekeh. Ia gemas melihat pipi gembil Shayna dan gemas mendengar suara imut Karina. Nino mengelus lembut pipi bayi itu dengan ibu jari. Lalu, kembali menegakkan tubuhnya. 

"Mas, mau foto, gak? Mumpung lagi sama Shayna." 

Nino tertegun sejenak. Ia tidak mungkin menolak permintaan Karina, tetapi rasa bersalah itu kembali hadir. Lihatlah, betapa bahagianya Karina saat ini. 

Karina sudah stand by dengan kamera ponselnya. Ia mengambil beberapa foto saat bersama Shayna. Senyumnya tidak hilang ketika melihat ulang hasil foto yang baru saja diambilnya. 

Nino menyodorkan satu cup ke depan Karina. Wanita itu terlihat sedikit kesulitan karena sedang memangku Shayna. Nino segera mengambil cup itu, menyendoknya, lalu menyodorkan sendok berisi dua potong buah mangga pada Karina. 

Karina memandangi Nino sejenak. Nino mengisyaratkan agar Karina membuka mulutnya. Karina memerhatikan sekitar, banyak orang berlalu-lalang. 

"Malu, Mas. Banyak orang." 

"Kalau kamu gak mau, ya udah." Nino menjauhkan sendoknya dari hadapan Karina. 

"Ih, mau," rengek Karina. 

Nino tersenyum, ia mulai menyuapi Karina. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang sempurna. 

"Wah, keluarga ini kayaknya harmonis banget," ujar wanita paruh baya yang menghampiri meja mereka. 

"Tante Mia." Senyum Karina sedikit memudar saat wanita itu duduk di sebelahnya. 

"Kamu apa kabar? Udah punya baby sekarang?" 

Karina sedikit memaksakan senyumnya. "Ini anaknya Mbak Lany, Tante. Kami belum punya anak." 

"Lho, bukannya kalian udah lumayan lama menikah? Kenapa kamu belum hamil?" Tante Mia terkejut saat mendengar Karina belum hamil. Ia mencolek lengan Karina. "Perasaan sama suami yang kemarin hamilnya cepet, kok sekarang enam bulan belum hamil-hamil, sih?" 

Karina dan Nino saling pandang. 

"Kami emang berencana gak punya anak dulu, Tante."

Rasanya ada sesuatu yang menghambat laju napasnya. Kenapa wanita itu harus menghampiri mereka. Padahal, ia sudah senang saat mendengar Tante Mia tidak bisa datang kemarin. 

Tante Mia adalah istri dari Om Wirya, adik Lia—ibu Karina—yang ketiga. Wanita itu memang terkenal dengan mulut pedasnya. Ia tidak peduli lawan bicaranya akan sakit hati dengan perkataan yang terlontar dari mulutnya itu. 

"Ya, ampun. Kenapa sih, anak zaman sekarang itu pada gak mau punya anak cepet-cepet. Heran, deh. Giliran nanti pas mau punya anak, terus sulit hamil, ngedrama sana-sini seolah minta simpati orang."

Matanya mendelik sinis. 

Karina menarik napas dalam, jika saja ia tidak sedang memangku Shayna, ingin sekali memaki wanita itu dengan suara keras dan melontarkan perkataan tak kalah pedas. 

Anaknya sendiri memilih untuk tidak tinggal serumah walau belum menikah. Anaknya pernah bercerita tidak tahan dengan ucapan ibunya ketika masih serumah.

"Jadi orang tua itu gak mudah, Tante. Lagipula, itu kan keputusan kami berdua, bukan Tante yang dirugikan atas keputusan kami ini," timpal Karina.

"Mama sama Papa juga gak menuntut kami cepet punya anak, kok."

"Pantesan dulu kamu keguguran, ternyata emang niatnya gak pengen punya anak, ya?" 

Emosi Karina sudah memuncak, ia menarik napas dalam berkali-kali. Saat ia akan bicara, Nino segera memegang tangannya dan mengisyaratkan untuk diam. 

Tak lama kemudian, Lany datang bersama Sagara. Mereka seolah menjadi penyelamat Karina untuk pergi dari sana. 

"Maaf ya, lama. Shayna gak rewel, kan?" tanya Lany. 

"Enggak, kok." Lany mengambil alih Shayna. Lalu, Karina berdiri. "Aku mau ke toilet dulu." 

Lany mengangguk, sedangkan Tante Mia hanya mendelik menatap Karina dengan tetap duduk di tempat Lany sebelumnya.

Nino memandangi punggung istrinya yang bergerak menjauh. Kemudian, ia beranjak untuk mengikuti Karina. 

Nino menunggu di depan toilet wanita. Sudah lebih dari lima menit ia berdiri di sana. Tak lama kemudian, Karina keluar. 

"Mas?"

Nino menoleh, lalu tersenyum. 

"Kamu ngapain di sini?" 

"Nungguin kamu." 

Karina terkekeh pelan. "Aku bukan anak kecil. Kenapa ke toilet aja harus ditungguin?" 

"Kamu baik-baik aja, kan?" 

Karina mengernyit. "Maksud kamu?" 

"Karena ucapan Tante Mia tadi." 

"Oh." Ekspresi Karina berubah sedikit murung mengingat hal itu. "Enggak apa-apa, kok." 

"Kamu mau jalan-jalan keluar?" Nino mengamati suasana di luar sana yang banyak pepohonan "Kayaknya di sekitar sini banyak tempat bagus." Nino mengulurkan tangan. "Ayo." 

Karina tersenyum seraya menyambut uluran tangan pria itu. Lalu, mereka berjalan keluar sambil bergandeng tangan. 

***

Karina menghalangi wajahnya dengan tangan saat menengadah, sinar matahari yang mengintip melalui celah-celah dedaunan yang cukup rimbun di atas sana, berkilauan ketika embusan angin menggerakkan dedaunan itu. 

Karina mendesah pelan setelah menurunkan pandangan. Mereka duduk di sebuah kursi kayu yang disediakan untuk para tamu yang ingin menikmati suasana di luar gedung. 

"Ada yang buat kamu gak nyaman?" tanya Nino. Ia meraih tangan Karina dan menggenggam dengan kedua tangannya. 

Karina menggeleng. "Mas, kamu akan tetap seperti ini sama aku, kan?" 

Nino mengernyit. "Kenapa pertanyaan kamu aneh begitu?" 

"Aku takut kamu berubah." Karina tiba-tiba terpikirkan hal itu dan seketika membuatnya takut.

Nino mencium punggung tangan Karina. "Justru aku takut kamu yang akan berubah. Aku takut kamu berpaling karena aku gak bisa memberikan apa yang paling kamu inginkan." 

"Mas, kita jangan bahas itu lagi. Kalau dibahas terus-menerus, kita bakal sering bertengkar." 

Nino membelai rambut Karina dengan penuh kasih sayang. "Oke."

Walaupun Karina tidak lagi mempermasalahkan hal itu, tetapi jauh di lubuk hatinya, Nino tidak menerima keadaannya sendiri. 

1
Haraa Boo
bantu suport-nya juga kak, di novelku "Istri Sewaan Tuan Muda" 🥰🙏
Umrida Dongoran
Mantap kk, Sukses somoga ya thor
Star Kesha
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
Fahyana Dea: Terima Kasih~~ /Heart//Heart/
total 1 replies
kuia 😍😍
Terinspirasi banget sama karaktermu, thor! 👍
dziyyo
Mengguncang perasaan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!