Samuel, pria berusia 38 tahun, memilih hidup melajang bertahun-tahun hanya demi satu tujuan—menjadikan Angelina, gadis 19 tahun yang selama ini ia nantikan, sebagai pendamping hidupnya. Setelah lama menunggu, kini waktu yang dinantikannya tiba. Namun, harapan Samuel hancur saat Angelina menolak cintanya mentah-mentah, merasa Samuel terlalu tua baginya. Tak terima dengan penolakan itu, Samuel mengambil jalan pintas. Diam-diam, ia menyogok orang tua Angelina untuk menikahkannya dengan paksa pada gadis itu. Kini, Angelina terperangkap dalam pernikahan yang tak diinginkannya, sementara Samuel terus berusaha memenangkan hatinya dengan segala cara. Tapi, dapatkah cinta tumbuh dari paksaaan, atau justru perasaan Angelina akan tetap beku terhadap Samuel selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kak Rinn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
berkunjung kerumah orang tuamu
Sudah setengah bulan lamanya Angelina hidup bersama suaminya, meskipun hidupnya terjamin tetapi di dalam mansion, Theo bodyguard mereka adalah saksi dari bagaimana hubungan Samuel dan Angelina berjalan.
Saat ini Samuel dan Angelina kembali ribut. Samuel yang sedang memegang panci dan mengenakan celemek jelas kesal dengan rengekan Angelina yang meminta untuk dipulangkan ke orang tuanya.
"Dengarkan aku Angelina! Aku tahu kau merindukan mereka tetapi..."
Samuel berhenti sejenak, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan dengan suara lebih rendah namun penuh penekanan, "Tetapi ini adalah hidup kita sekarang. Kita sudah menikah. Kau tidak bisa terus-menerus menginginkan hal-hal seperti itu. Kau harus belajar untuk menerima kenyataan."
Angelina berdiri di dekat meja makan, ekspresinya tampak marah dan frustasi. "Aku tidak merasakan kebahagiaan di sini, Samuel!" ujarnya, suaranya terdengar tajam. "Aku cuma merasa seperti burung dalam sangkar. Aku bukan hanya istrimu, aku juga manusia yang punya kehidupan dan keluarga. Mengapa aku tidak boleh mengunjungi orangtuaku? Mengapa selalu ada batasan?"
Samuel menghela napas, menurunkan panci yang ia pegang ke atas kompor. "Kau tahu aku tidak suka kalau kau terus-terusan menyebut orangtuamu. Mereka sudah punya hidup mereka sendiri, dan kita harus memikirkan hidup kita bersama. Tidak ada yang perlu dicari di sana lagi."
Tetapi, dalam hatinya, Samuel merasa semakin tersudut. Ada rasa tidak nyaman yang terus menggerogoti dirinya setiap kali Angelina menyebut tentang keluarganya. Terkadang, dia merasa kesepian di tengah kemewahan yang dimilikinya, tapi dia tidak tahu bagaimana cara untuk membuat Angelina merasakan apa yang dia rasakan.
Angelina menatapnya dengan tatapan tajam, suaranya semakin bergetar karena marah dan bingung. "Kau tidak paham, kan? Kau tak mengerti perasaanku! Semua yang ada di sini, harta, kemewahan, itu tidak berarti apa-apa kalau aku tidak merasa diterima."
Theo yang berada di dekat pintu dapur, mengamati mereka dengan hati-hati. Sebagai bodyguard, ia selalu menjaga jarak, namun ia bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Sungguh, dia tahu ini lebih dari sekadar perselisihan rumah tangga biasa—ada sesuatu yang lebih dalam yang mengganggu hubungan mereka.
Angelina melanjutkan, "Kau selalu pergi bekerja, meninggalkanku dalam kesepian, lebih parahnya lagi kau tidak memberikan aku kebebasan! Sehingga yang aku rasakan setelah menikah denganmu adalah kesepian dan kesendirian!"
Samuel terdiam mendengar kata-kata Angelina. Setiap kalimatnya terasa seperti pisau yang menusuk hati, dan meskipun dia merasa frustasi, dia juga merasa ada kebenaran dalam ucapan Angelina.
Ia berusaha mengatur napasnya, menahan emosi yang mulai meluap. "Aku bekerja keras untuk masa depan kita, Angelina. Ini semua untuk kita berdua!" jawabnya, suaranya sedikit serak. "Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa kesepian. Aku cuma... terlalu fokus pada pekerjaan. Aku tahu itu."
Angelina mendengus, terlihat kecewa. "Tapi apa gunanya semua itu jika aku tetap merasa seperti ini? Apa gunanya hidup mewah, rumah besar, jika aku tidak merasa dihargai? Kau tidak peduli tentang kebutuhanku sebagai manusia, bukan sekadar istrimu!"
Samuel menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang mulai muncul. "Kau pikir aku tidak peduli?" tanyanya dengan nada tajam, meskipun di dalam hatinya ada penyesalan. "Aku sudah memberikan semuanya yang bisa kuberikan, tapi kau masih tidak puas! Kau mau apa lagi dariku, Angelina?"
Angelina menatap Samuel dengan mata yang mulai berkaca-kaca, "Aku hanya ingin kembali menikmati dunia luar. Karenamu selalu mengurungku seperti burung dalam sangkar selama setengah bulan ini, aku menjadi sosok yang penakut, pemurung dan bahkan tidak mengenal siapapun selain dirimu."
Samuel menatap Angelina dengan kesedihan, ia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Angelina, dan ya! Lebih tepatnya ia telah membuat Angelina merasa seperti terkekang layaknya hewan peliharaan.
Dengan napas berat, Samuel berkata, "Baiklah, hari ini aku akan memberikanmu kebebasan, Kita bisa pergi kerumah orang tuamu." beharap Angelina mendengar kata-kata Samuel, namun Angelina tetap terdiam. Ia menatap Samuel dengan pandangan yang sulit dibaca, seolah masih ragu dan bingung apakah ini benar-benar yang ia inginkan.
"Benarkah?" tanya Angelina pelan, suaranya terdengar penuh keraguan. "Apakah kamu benar-benar akan membiarkan aku pergi begitu saja?"
Samuel mengangguk, meskipun ada perasaan cemas di dalam dirinya. "Ya, aku tahu aku sudah salah, dan aku ingin kamu merasa bebas. Aku tidak ingin menjadi orang yang mengikatmu terus-menerus. Kau harus merasa nyaman, Angelina."
Namun, meskipun Samuel sudah menawarkan kebebasan, ada keheningan panjang di antara mereka. Samuel tahu bahwa mengizinkan Angelina pergi bukanlah hal yang mudah, bahkan bisa jadi membuka luka yang lebih dalam di hubungan mereka.
**
Di sore hari, Angelina dan Samuel bersiap untuk pergi ke rumah orang tua Angelina. Mobil melaju dalam keheningan, suasana di dalamnya terasa tegang. Angelina duduk diam, menatap keluar jendela dengan pikiran yang mengawang, sementara Samuel tetap fokus pada jalan, berusaha menenangkan diri. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Angelina, tetapi tak ada kata yang keluar. Perjalanan menuju rumah orang tua Angelina terasa lebih seperti perjalanan untuk menemukan kembali keseimbangan dalam hubungan mereka yang sempat terhenti.
Butuh waktu setengah jam lamanya ketika sampai dirumah orang tua Angelina. Saat mereka tiba, mobil terparkir Angelina buru-buru turun dari mobil Samuel dan berlari dengan cepat menuju pintu rumah.
"Ibu, ayah! Ibu! Ini aku Angelina!" panggil Angelina sambil mengetuk pintu rumah berkali-kali.
Setelah beberapa ketukan, pintu akhirnya terbuka. Miya, ibu Angelina, muncul dengan ekspresi terkejut yang langsung berubah menjadi senyum lebar saat melihat putrinya.
"Angelina?!" seru Miya, memeluk putrinya dengan hangat. Roy, yang sedang duduk di kursi dekat meja makan, juga menoleh dengan wajah yang kaget, lalu tersenyum tipis melihat kedatangan mereka.
Angelina melepaskan pelukan ibunya, kemudian menoleh ke arah Samuel yang baru saja tiba dengan koper di tangan. Samuel mengangguk sopan kepada kedua orang tua Angelina, sementara Theo mengikuti di belakang dengan bingkisan yang dibawakan untuk mereka.
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah Angelina bertemu adiknya Arthur yang sudah memasuki kelas 11 SMA, keduanya langsung pergi memisahkan diri. Sementara Samuel duduk bersama Miya dan Roy.
Miya yang tak memiliki persediaan apapun mencoba untuk menyembunyikannya, "Em...aku akan membuatkan teh untuk mu dulu, tunggu sebentar."
Samuel mengangguk, ketika tinggal ia dan Roy, keduanya tampak tenang. Roy dan Samuel memiliki usia yang hanya beda dua tahun saja, Roy saat ini berusia 40 tahun.
"Bagaimana kabar Angelina saat bersamamu?" tanya Roy mencoba mencairkan suasana.
"Dia sangat baik," jawab Samuel mencoba menutupi kebenaran.