Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam Belas
Dalam benaknya, Dita terus bertanya. Mengenai apa yang harus dirinya lakukan? Juga, apa yang membuat Langit begitu ketakutan hingga tak kuasa menahan emosi bahkan kepada papanya sendiri?
“Apakah dalam diri Mas Langit, ada ketakutan khusus, bahwa aku akan meninggalkannya? Bahwa aku bisa diambil orang lain, bahkan itu diambil oleh papahnya sendiri?” pikir Dita yang kemudian menghubungkan pemikirannya itu dengan informasi dari sang mama mertua. Bahwa semenjak kecelakaan fatal yang Langit alami bersama Agnia dan membuat Agnia amnesia. Sejak itu juga emosi Langit jadi tidak stabil. Selain itu, alih-alih mulai membaik, sepertinya malah jadi makin parah. Terbukti, beberapa saat lalu, Langit tak segan teriak kepada pak Excel hanya karena pak Excel salah merangkul Dita dan pak Excel kira sebagai ibu Azzura.
Kemudian, dalam diamnya Dita juga jadi bertanya-tanya. Mengenai alasan Langit jadi berubah posesif dan ingin kembali dengannya? Jika itu hanya karena fisik Dita yang memang cantik, meski bagi Langit, Dita juga pesek. Harusnya bukan. Sebab secantik apa pun Dita, apa yang Langit miliki apalagi harta dan kuasanya, bisa membuat Langit mendapatkan yang jauh lebih dari Dita. Malahan andai Langit mau, Langit bisa mengambil lebih dari dua wanita sekaligus.
“Atau ... perhatian dan kasih sayang dariku, bikin Mas Langit enggak mau kehilangan dariku? Jadi, perpaduan dari fisik, perhatian, dan juga ancaman dari orang tuanya, sepertinya menjadi alasan mas Langit mengajakku rujuk. Ya ... walau gaya ngajaknya, mirip orang ngajak gelud!” batin Dita lagi yang kali ini jadi senyum-senyum sendiri.
“Mas ... alasan aku sayang banget ke kamu, murni karena aku juga ingin disayang Mas.” Dita mengatakannya penuh kelembutan, kepada sang suami yang masih menyetir di sebelahnya.
“Mulai sekarang, biasain bicaranya lebih dikontrol ya? Lembut aja, lirih, enggak usah teriak-teriak,” lembut Dita.
“Kita enggak tahu level konsentrasi seseorang. Termasuk level kebudekan mereka, Dit!” balas Langit belum apa-apa sudah ngotot bahkan emosi.
“Iya, ... kalau mereka enggak dengar karena kurang fokus atau itu kurang konsentrasi. Atau malah, ... level budeg mereka sudah parah seperti kata Mas barusan, ... mereka kan pasti akan tanya. Barulah setelah kita ulang beberapa kali, tapi mereka tetap enggak dengar. Kita teriak saja.”
“Dit, tolong jangan bikin aku emosi. Ini aku lagi nyetir!”
“Karena aku sayang banget ke kamu, Mas. Makanya aku bilang gini, dan ke depannya aku juga memang akan cerewet. Malahan kalau aku hanya diam, Mas pasti bingung.”
“Dita ....”
“Jadi, Mas mau nih, aku diemin terus?”
Detik itu juga Langit menoleh, kemudian menatap Dita. Ia menatap Dita dengan tatapan lelah, sebelum akhirnya mengembuskan napas kasar melalui hidung.
“DITA, jangan diamkan aku!” panik Langit ketika Dita yang mendadak diam, berangsur memunggunginya dan meringkuk cukup lama.
“Aku tidur bentar ya. Semalam kan, Mas bikin aku ronda karena Mas enggak mau aku matiin sambungan telepon kita. Semalam kita beneran enggak tidur, dan langsung lanjut shalat subuh, sampai sekarang. Eh tapi, ... Mas lagi nyetir. Kalau Mas ngantuk gimana? Ya sudah ayo ngobrol!” ucap Dita.
“Ya sudah, kamu tidur saja. Aku sama sekali enggak ngantuk,” sergah Langit yang sampai meminta Dita, agar sang istri tidur sambil meringkuk menghadap ke arahnya.
“Mas ngopi? Semalam juga ngopi?” lembut Dita langsung khawatir. Masa iya, ada orang yang tidak merasa mengantuk sama sekali, meski sudah tidak tidur dari kemarin?
“Enggak ... sudah lama aku memang enggak tidur. Pikiranku terlalu sibuk. Terlalu banyak hal yang aku pikirkan.”
“Berarti itu perlu diobati, Mas. Jangan dibiarin.”
Mendengar ucapan Dita kali ini yang makin lembut sekaligus makin perhatian melebihi biasanya, Langit refleks diam kemudian menatap Dita. Di sebelahnya, Dita yang menatapnya berangsur memintanya untuk kembali fokus mengemudi.
Sekitar satu setengah jam kemudian, mobil Langit memasuki halaman sebuah rumah sakit khusus. Dita berhasil membujuk Langit untuk memeriksakan kondisinya ke dokter spesialis.
“Aku takut!” ucap Langit yang nyaris meninggalkan bangku tunggu tempatnya duduk di sebelah Dita.
“Jangan takut! Ayo duduk, bentar lagi giliran kita. Jangan takut, aku temani!” lembut Dita. Setelah sampai mendekap erat pinggang Langit agar sang suami tidak meninggalkanmu, Dita juga membuat jemari mereka mengisi satu sama lain.
Langit yang jadi diam dan masih tegang bahkan takut, menatap jemari tangan mereka, kemudian menatap wajah Dita. Dita masih aktif mengecup jemari tangan Langit.
“Apa pun yang terjadi, kamu enggak akan meninggalkan aku, kan?” lirih Langit dan kali ini terdengar sangat nelangsa, di telinganya sendiri.
Detik itu juga Dita menatap Langit. “Aku enggak akan pernah meninggalkan Mas, meski Mas sampai mengusirku!”
“Sepertinya memang ada yang enggak beres. Sering kali, aku juga merasa tidak mengenali diriku. Aku selalu kesulitan mengontrol diriku yang jadi sangat emosional sekaligus kasar. Terakhir itu, aku yang bisa dengan entengnya menendang rahang Dita. Oalah aku lupa, bagaimana keadaan rahang Dita, meski sudah dua minggu berlalu dari kejadian itu?” pikir Langit yang kemudian berucap lembut. Ia bahkan sampai izin untuk melihat keadaan rahang Dita.
“Nanti di rumah saja. Sudah mendingan karena selama satu minggu, aku rutin mengompresnya. Sebelumnya pun sampai diurut,” lembut Dita.
“Saat itu aku benar-benar emosi. Aku minta maaf. Maafin aku, ya. Lain kali kalau aku sedang emosi, alangkah baiknya kamu langsung lari. Namun bukan berarti, kamu meninggalkan aku untuk selama-lamannya,” lirih Langit layaknya meracau.
Makin Langit memohon dengan suara lirih penuh penyesalan, makin teriris pula hati Dita hanya karena mendengarnya. Kedua tangan Dita berangsur merengkuh kepala sekaligus punggung sang suami.
“Aku makin yakin kalau Mas Langit memang enggak baik-baik saja. Mental dan jiwa-nya pasti terluka,” batin Dita yang juga sengaja menyembunyikan air matanya.
“Kita bisa lalui ini. Mas harus bisa kembali merasakan ngantuk. Pikiran Mas enggak boleh terus-menerus sibuk. Mas harus bisa menjaga emosi Mas. Pelan-pelan, kita bisa. Biar kita bisa seperti mama papa, Mas. Yang tetap sehat dan bisa mendampingi anak-anak meski mereka sudah enggak muda,” ucap Dita yang mengunci pundak kiri Langit menggunakan dagunya.
“Kamu nangis?” lirih Langit.
“Aku sedih kalau Mas kenapa-kenapa!”
“Aku tidak akan mati, Dita! Aku belum mati, jadi jangan tangisi aku!”
“Namun Mas pasti tersiksa. Tersiksa jauh lebih menyakitkan ketimbang mati, Mas!”
Balasan dari Dita barusan, langsung membuat Langit bungkam.
“Pasien atas nama Langit ...!” seru asisten dokter kejiwaan yang menjadi alasan Dita dan Langit menunggu di sana.
Dita berangsur mengakhiri dekapannya. Namun kedua tangannya tak melepaskan Langit begitu saja. Dita mengabsen wajah sang suami menggunakan bibirnya, searah jarum jam.
“Ayo kamu ikut temani aku!” lirih Langit merengek dan langsung dibalas anggukan oleh Dita.