Samuel adalah seorang mantan atlet bela diri profesional, selain itu ia juga bekerja paruh waktu sebagai kurir makanan, namun semuanya berubah saat kiamat zombie yang belum di ketahui muncul dari mana asalnya membawa bencana bagi kota kota di dunia.
Akankah Samuel bertahan dari kiamat itu dan menemukan petunjuk asal usul dari mana datangnya zombie zombie tersebut?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby samuel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan yang mulai terlihat
Matahari mulai tenggelam, meninggalkan langit kota dengan semburat merah darah yang tampak mengerikan di tengah puing-puing dan jalanan sunyi. Samuel dan Darius, dua orang yang kini terikat oleh situasi tak terduga, melangkah keluar dari swalayan setelah insiden mencekam yang nyaris merenggut nyawa mereka. Suara klakson mobil yang dibunyikan tak sengaja oleh Darius masih terngiang-ngiang di kepala mereka, seakan menjadi peringatan bahwa bahaya selalu mengintai.
Dari kejauhan, kota tampak seperti mimpi buruk yang terlupakan. Jendela-jendela gedung pecah, kendaraan-kendaraan ditinggalkan begitu saja di tengah jalan, seolah pemiliknya melarikan diri tanpa menoleh ke belakang. Beberapa kendaraan tampak berderet tak teratur di trotoar, dengan pintu terbuka lebar. Samuel memperhatikan sekitar dengan waspada, mengamati setiap sudut, setiap bayangan yang bergerak. Bagi mereka, kesunyian ini tidak memberikan rasa aman. Justru, semakin sepi, semakin besar kemungkinan zombie mengendap tanpa terdengar.
“Jangan melamun,” ucap Samuel tiba-tiba dengan nada tajam. Ia memperhatikan langkah Darius yang sejak tadi tampak goyah, seakan pikirannya berada di tempat lain. “Satu suara kecil saja bisa menarik mereka.”
Darius mendengus, menahan diri agar tidak menggerutu. "Aku nggak melamun. Kau pikir aku senekat itu?"
Samuel hanya mendesah dalam hati. Dalam perjalanan ini, kekonyolan Darius hampir saja membuat mereka terbunuh. Bukan kali pertama Darius bertindak gegabah, namun kali ini situasinya benar-benar berbeda. Sekarang mereka berada di tengah situasi yang bisa membunuh mereka setiap saat.
Samuel berhenti di tepi jalan, memperhatikan gang sempit di sebelah kiri mereka. “Kita harus berhenti dulu, rencanakan jalan kita. Aku nggak mau kita terjebak lagi seperti tadi.”
Darius tampak tak sabar. "Kita hanya perlu bergerak cepat dan terus maju. Terlalu banyak berhenti hanya akan membuang waktu kita."
Samuel memutar matanya, berusaha menahan kekesalannya. “Itulah kenapa kau hampir membuat kita tewas tadi, Darius. Kita butuh strategi, bukan nekat.”
Namun, Darius tetap melangkah maju, tidak peduli dengan omelan Samuel. Dalam hati, ia sebenarnya tahu Samuel benar. Tetapi sikap angkuh dan keinginannya untuk tetap terlihat kuat membuatnya enggan mengakui kesalahannya. Bagi Darius, kelemahan adalah hal yang paling ia hindari, terutama di depan Samuel, yang ia anggap sebagai orang yang selalu mengomentari setiap langkahnya.
***
Samuel mengarahkan mereka melalui gang sempit yang mengarah ke jalan utama, berharap bahwa jalan ini lebih aman dan tak terlihat oleh gerombolan zombie yang mungkin berkeliaran. Saat mereka melangkah, mereka melewati beberapa bangunan tua dengan jendela yang sudah pecah. Beberapa di antaranya tampak penuh dengan coretan, mungkin tanda yang ditinggalkan oleh survivor lain yang pernah bertahan di kota ini.
Di tengah perjalanan, Samuel mendengar suara gemerisik yang datang dari balik tumpukan sampah di sudut gang. Ia segera mengangkat tangan, memberi isyarat kepada Darius untuk berhenti dan diam. Keduanya menajamkan pendengaran, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik gelap.
“Kurasa itu bukan zombie…” bisik Samuel.
Sebelum mereka bergerak lebih jauh, tiba-tiba dari balik tumpukan sampah muncul seekor anjing kecil. Hewan itu tampak kurus kering, dengan bulu yang kusam dan luka di beberapa bagian tubuhnya. Anjing itu menggonggong pelan, dengan suara serak, seolah ingin menunjukkan keberadaannya namun tetap waspada.
Samuel menghela napas, merasakan simpati pada hewan tersebut. Sementara Darius menggerutu. “Kita nggak punya waktu untuk ini. Kalau ada zombie di sekitar, suara anjing itu bisa menarik mereka.”
Namun, Samuel tak mengindahkan komentar Darius. Ia membuka tasnya, mengeluarkan sisa roti kering yang ia simpan, dan memberikannya pada anjing itu yang langsung melahapnya dengan cepat. Anjing itu memandang Samuel dengan tatapan penuh syukur, dan meski kecil, hewan itu tampak berani.
“Kau pikir kita bisa memelihara anjing di tengah kiamat zombie?” Darius menatap Samuel dengan pandangan tidak percaya.
Samuel tersenyum tipis. "Kita semua butuh teman, Darius. Mungkin anjing ini bisa membantu kita." Ia mengelus kepala anjing itu sebelum berdiri kembali. “Namanya... apa ya?”
Darius mengangkat bahu, masih tampak skeptis. "Kau serius memberi nama? Baiklah, panggil saja dia 'Scrappy'."
Samuel tertawa kecil, merasa aneh bisa menikmati momen kecil seperti ini di tengah situasi yang begitu mencekam. Anjing itu mengikuti mereka dengan setia, seolah telah menemukan pemilik barunya. Scrappy, meski kecil, tampak siap menghadapi bahaya bersama mereka.
***
Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini dengan tambahan anggota baru yang tampaknya tak akan menyulitkan. Justru, anjing kecil ini seolah memberikan mereka kepercayaan bahwa ada hal-hal yang masih bisa bertahan, bahkan dalam keadaan yang sangat buruk.
Saat mereka berbelok menuju jalan utama yang akan membawa mereka ke arah safe house, Samuel dan Darius melihat sesuatu yang mengejutkan. Di tengah jalan, mereka menemukan gerombolan zombie yang mengelilingi bangunan apartemen yang tampak hancur sebagian. Beberapa jendela terlihat pecah, dan suara jeritan samar terdengar dari dalam apartemen itu.
Samuel mengerutkan kening. "Seseorang masih hidup di sana."
Darius tampak ragu. “Kita sudah cukup repot menjaga diri sendiri. Menyelamatkan orang lain hanya akan memperbesar risiko.”
Namun, jeritan itu semakin keras, suara seorang wanita yang tampak ketakutan. Samuel merasa hatinya terguncang. Bagi Samuel, ia tidak bisa membiarkan seseorang mati begitu saja jika ia masih bisa menolong. Tanpa berpikir panjang, ia mulai melangkah mendekat.
“Aku akan menolongnya. Ikut atau tidak, terserah padamu.”
Darius hanya menghela napas panjang, tetapi pada akhirnya ia mengikuti Samuel. Dalam situasi ini, ia tahu bahwa membiarkan Samuel sendirian hanya akan lebih berbahaya. Meski ia enggan mengakui, keberadaan Samuel membuatnya merasa sedikit lebih aman.
Mereka mendekati gerombolan zombie dengan hati-hati. Samuel mengangkat tombaknya, bersiap menyerang dari belakang. Dengan gerakan cepat, ia menancapkan tombak itu ke kepala salah satu zombie, sementara Darius menggunakan perisai kayunya untuk memukul jatuh yang lainnya.
Ketika Samuel dan Darius berhasil membuka jalan, wanita itu keluar dari apartemen dengan tatapan ketakutan. Luka-luka kecil terlihat di lengannya, dan wajahnya tampak pucat.
“Kalian… kalian penyelamatku,” ucap wanita itu dengan suara gemetar. “Namaku Lara. Aku… aku tahu tempat yang aman, dan aku bisa membawa kalian ke sana. Aku hanya… butuh bantuan kalian.”
Samuel menatap wanita itu penuh perhatian, berusaha menilai apakah ia bisa dipercaya atau tidak. Namun, suara lirih Lara dan tatapan memohonnya mengingatkan Samuel pada keluarganya yang mungkin masih bertahan di luar sana. Sementara itu, Darius tampak masih ragu, jelas tidak sepenuhnya setuju.
“Kita sudah cukup susah payah bertahan hidup, Samuel,” gumam Darius pelan. “Dan sekarang kita menambah orang lain?”
Samuel menghela napas. “Ini bukan tentang jumlah orang, Darius. Ini tentang kesempatan untuk bertahan lebih lama. Jika Lara tahu tempat aman, kita seharusnya mendengarkannya.”
Darius tak banyak bicara lagi, akhirnya setuju untuk mengikuti keputusan Samuel. Bersama-sama, mereka melangkah menjauh dari area apartemen yang penuh dengan zombie, bergerak ke arah yang ditunjukkan oleh Lara. Scrappy, anjing kecil yang baru saja mereka temui, mengikuti mereka dengan setia, seakan memahami bahwa mereka sedang berada dalam perjalanan yang berbahaya namun penuh harapan.
Mereka berjalan dalam keheningan, dengan Samuel yang sesekali menengok ke arah Lara untuk memastikan kondisinya. Mereka semua tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Namun, dengan persahabatan yang mulai terbentuk di antara mereka, ada harapan bahwa mungkin, di tengah kehancuran, mereka masih memiliki peluang untuk bertahan.