Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#8•
#8
POV Adhisty Putri Narendra
Desir angin terasa panas, laksana berdiri ditengah padang pasir. Padahal biasanya udara terasa bertiup sepoi-sepoi jika aku di dekatnya, melihat kehadiran Mas Raka, entah kenapa selalu membuat hatiku tenang dan nyaman.
Tapi kini, aku tak bisa merasakan hal itu, penyebabnya tentu saja karena aku teramat kecewa dengan apa yang sudah Mas Raka perbuat di belakangku. “Katakan, Mas, sudah berapa lama??!!” teriakku, aku sungguh tak tahan ingin mengeluarkan makian, padahal sejak kecil aku selalu belajar sopan santun dan tata krama, hal mendasar yang harus dimiliki para gadis keturunan ningrat.
“4 tahun.”
Jawab Mas Raka, seolah membenarkan pernyataan Yoga hari sebelumnya, lagi-lagi aku biarkan air mataku mengalir deras. Gumpalan rasa sakit, marah serta kecewa kini pecah menjadi satu, “apa karena dia lebih cantik dariku?” tanyaku, karena aku cemburu, amat sangat cemburu. Selama ini ku biarkan rasa cemburuku pada Mas Raka semakin besar, agar Mas Raka mengerti jika dia adalah segalanya bagiku.
Namun gelengan Mas Raka membuatku tertawa sumbang, “lantas ini pasti karena anak? Aku benar, kan? Apa sejak 4 tahun yang lalu, kamu menyesal, karena menikahi wanita mandul sepertiku?” cecarku, yang justru membuat air mata Mas Raka semakin deras mengalir.
Mas Raka masih bersimpuh tak jauh dari tempatku berdiri. “Tidak, sayang, kamu salah.”
“Jika aku salah, maka perbuatan Mas Raka adalah benar? begitu?” tanyaku lagi.
Lagi-lagi Mas Raka menggeleng, “sampai kapanpun, Mas tidak akan membenarkan apa yang sudah Mas perbuat di belakangmu. Tapi kamu harus tahu satu hal, semua ini Mas lakukan, karena Mas sangat mencintaimu.”
“Berhenti mengatakan cinta, Mas, karena kini, kata-kata itu membuatku muak!!”
“Bencilah Mas, sayang, tapi sampai kapanpun, Mas tak bisa membencimu, kamu terlalu berharga bagi Mas, semua yang ada pada dirimu, sempurna tanpa celah. Hingga Mas bahkan tak rela melihatmu menangis.”
Sungguh tak masuk akal, tapi aku mulai penasaran pada alasan Mas Raka yang sesungguhnya. “Setiap kali mendengar sindiran dari Ibu kepadamu, aku yang merasa paling sakit, setiap kali melihat wajah pucat dan rasa bersalahmu karena belum juga hamil, hatiku tersayat. Walau begitu, Ibuku tak mau tahu dengan tekanan yang kamu alami, bahkan tega memintaku menikah lagi, hanya karena kamu belum juga hamil.”
“Tapi Mas mengabulkannya!”
“Ya!! Mas akui Mas bersalah, tapi Mas melakukannya karena terpaksa,” pekik Raka.
Aku kembali tertawa, kali ini sungguh pahit ku rasakan, “terpaksa, tapi suka, terpaksa, tapi Mas terlihat bahagia bersamanya. Kalian tertawa, menikmati rumah tangga yang sempurna, bahkan dia … dia sangat diterima oleh keluargamu, sementara aku seperti mesin pencetak anak yang gagal berproduksi.”
Tak ayal lagi, kalimatku membuat Mas Raka semakin meradang marah, karena kulihat wajahnya merah padam usai mendengar ucapanku. Hingga ia bangun dari posisinya saat ini, dan memeluk erat tubuhku. Tentu saja aku berontak, tapi semakin berontak, semakin erat pelukannya ku rasakan. “Kumohon, jangan mengatakan itu,” erangnya, seolah-olah hatinya sangat tersakiti. “Kamu terlalu berharga, jika disamakan dengan istilah tak berperikemanusiaan tersebut. Asal kamu tahu, aku memang menikahinya, tapi tak sedikitpun ia mendapatkan cinta dariku.”
Bagai dihujam belati untuk kesekian kali, ucapan Mas Raka kali ini lebih menyakiti hatiku, entah bagaimana perasaan Anggi. Walau aku tak tahu harus memberi rasa seperti apa pada Anggi, tapi sebagai sesama wanita aku tahu pasti, hingga saat ini Anggi pasti juga sangat tersakiti.
“Baru aku tahu, ternyata kamu sejahat itu,” tuduhku, tapi entah kenapa Mas Raka hanya mengangguk, ia seolah menerima mentah-mentah tuduhan dariku.
“Iya, katakan saja begitu, aku memang suami jahat untukmu,” Ulang Mas Raka, ia bahkan masih memeluk tubuhku, bahkan berkali-kali menghujani puncak kepalaku dengan ciuman. “Tak apa kamu menilai perbuatanku sangatlah jahat, asal kamu tahu, di dunia ini, perasaanmu adalah hal yang sangat ingin aku jaga. Walau aku nyaris gila karena caranya adalah melakukan hal yang paling kamu benci.”