Dicampakkan saat sedang mengandung, itu yang Zafira rasakan. Hatinya sakit, hancur, dan kecewa. Hanya karena ia diketahui kembali hamil anak perempuan, suaminya mencampakkannya. Keluarga suaminya pun mengusirnya beserta anak-anaknya.
Seperti belum puas menyakiti, suaminya menalakknya tepat setelah ia baru saja melahirkan tanpa sedikitpun keinginan untuk melihat keadaan bayi mungil itu. Belum hilang rasa sakit setelah melahirkan, tapi suami dan mertuanya justru menorehkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh meski waktu terus bergulir.
"Baiklah aku bersedia bercerai. Tapi dengan syarat ... "
"Cih, dasar perempuan miskin. Kau ingin berapa, sebutkan saja!"
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lampu hijau
Kini Alvian telah berada di dalam mobilnya, melaju dengan kecepatan cukup tinggi membelah jalanan. Waktu sudah hampir Maghrib, sebisa mungkin ia memacu mobilnya agar segera tiba di rumah.
Sekelebat ingatan cerita Nova mengenai Zafira cukup membuatnya ikut sakit hati. Setangguh apa wanita itu pikirnya hingga mampu bertahan selama 7 tahun dalam pernikahan toxic itu? Tak dapat ia pungkiri, rasa kagumnya kini kian melesat tinggi. Jarang ada wanita yang masih sanggup bertahan dalam ujian hidup yang sedemikian rumit seperti yang Zafira alami. Bila perempuan lain yang mengalami, ia sangsi mereka sanggup bertahan hingga titik ini. Bahkan mungkin saja mereka telah mereka lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan mengajak anak-anaknya dengan dalih untuk menyelamatkan anak-anaknya agar dapat terlepas dari penderitaan. Dapat kita lihat di berita-berita yang menayangkan seorang ibu mengakhiri nyawanya dan anak-anaknya karena baik permasalahan ekonomi maupun karena perselisihan dengan suami, sungguh miris memang mendengarnya. Tapi Alvian tak bisa menyalahkan mereka meskipun cara yang ditempuh salah sebab setiap orang memiliki kemampuan bertahan yang berbeda. Tekanan hidup terkadang membuat mental seseorang benar-benar hancur apalagi bila ia tidak memiliki seorang yang bisa dijadikan tempat berbagi. Belum lagi mulut-mulut nyinyir baik itu anggota keluarga, teman, bahkan tetangga yang membuat psikis mereka makin tertekan hingga menempuh jalan yang dipikirnya benar padahal salah.
Oleh sebab itu, Alvian makin mengagumi sosok ibu 2 anak itu. Bila selama ini ia menganggap ibunya lah wanita yang paling hebat dan tangguh, tapi kini bertambah lagi satu wanita yang bukan hanya membuatnya kagum, tapi juga jatuh hati.
Timbul di benaknya keinginan untuk menjadi pelindung wanita itu. Tapi sebelum itu, ia ingin meminta restu sang ibu. Ia akan meminta restu dan ridhonya, serta menanyakan pendapatnya berharap setiap langkah yang ia tempuh nanti berjalan lancar.
Sungguh, mengetahui apa yang Zafira alami membuatnya sangat-sangat murka. Ia tak menyangka, masih ada keluarga yang melakukan diskriminasi gender. Padahal apa salahnya memiliki anak perempuan toh mau anak laki-laki maupun perempuan, mereka sama-sama anugerah dari yang kuasa. Banyak di luar sana orang-orang yang berjuang mati-matian bahkan sampai bertahun-tahun demi mendapatkan seorang anak, tapi apa yang mereka lakukan? Mereka bahkan tega membuang wanita yang telah tinggal satu atap dengan mereka selama 7 tahun berikut anak-anaknya, darah daging mereka sendiri.
"Gila ... Keluarga itu benar-benar gila. Mereka memasang tampang bak malaikat di hadapan umum, padahal hati mereka benar-benar iblis. Iblis berkedok malaikat, hm? Benar-benar iblis. Aku makin tak sabar menghancurkan kalian. Ku kira orang tuanya saja yang iblis, tapi ternyata anaknya pun juga. Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya," geram Alvian sambil mencengkram erat kemudinya. Rahangnya mengeras. Api kebencian berkobar di netra hitam pekatnya. "Kalian bilang anak perempuan itu anak yang tak berguna, hm? Baiklah, aku akan membuat kalian menyesal karena telah menyia-nyiakan permata seperti Regina dan Refina. Kalian bodoh membuang berlian seperti mereka. Bila kalian tidak menginginkan mereka, maka aku dengan senang hati akan menjadikan mereka permata dalam hidupku," gumam Alvian dengan smirk di bibirnya.
...***...
Setelah menghabiskan satu jam perjalanan, akhirnya Alvian telah tiba di rumahnya bertepatan dengan suara adzan Maghrib yang menggema.
"Assalamu'alaikum, Bun," ucap Alvian yang langsung mencium punggung tangan sang ibu.
"Wa'alaikum salam, Al. Kok pulangnya telat dari biasanya, nak?" tanya Bu Ayu pada sang putra.
"Al baru pulang dari Bali, ma." Jawab Alvian santai.
"Hah, dari Bali? Kamu serius?" Bu Ayu merasa sangsi. Tidak pernah sekalipun putranya itu pergi jauh tanpa izinnya.
"Al serius, Bun. Al ada keperluan di sana. Urgent banget karena itu Aku nggak sempat kabarin bunda."
"Terus habis dari sana langsung pulang lagi gitu? ang kamu berangkat jam berapa?"
"Iya, Bun. Al ikut penerbangan jam 12.55, Bun," ucap Alvian sambil menggaruk tengkuknya kemudian terkekeh.
"Astaga, anak ini! Emangnya kamu mau ngapain di sana?" tanya Bu Ayu penasaran sampai-sampai anaknya rela bolak-balik antar provinsi bahkan pulau.
"Nanti Aku cerita, Bun. Tapi nggak sekarang. Udah magrib, takut kehabisan waktunya. Al juga jam 7 nanti mau pergi lagi, ke rumah sakit. Nanti kita bahas lagi, Al mandi terus maghriban dulu ya, Bun." Ucapnya sambil tersenyum kemudian segera berlari menaiki tangga membuat Bu Ayu geleng-geleng kepala.
Setengah jam kemudian, Alvian telah menuruni tangga dengan setelan santai, baju kaos hitam dan celana pendek selutut berwarna senada. Tampilannya terlihat santai namun tak mengurangi kadar ketampanannya.
"Kamu serius Al mau pergi lagi? Emang nggak capek?" tanya Bu Ayu yang langsung menghampiri Alvian yang baru saja menuruni anak tangga.
"Iya, Bun. Al nggak papa kok, nggak usah khawatir. Al mau ke rumah sakit, bun. Mungkin pulangnya entar pagi, bunda nggak papa kan Al tinggal sama bibik dan mbak saja?"
"Rumah sakit? Emang siapa yang sakit sampai kamu mau repot-repot gini?"
"Emmm ... sebelum Al bilang, Al boleh nanya sesuatu nggak sama bunda?"
"Tanya apa sih? Sok misterius banget. Biasanya mau nanya aja tinggal tanya aja nggak pake permisi lagi," cetus Bu Ayu merasa aneh dengan tingkah sang anak.
Alvian terkekeh, "iya ya! Emmm ... gini. Bun, kalau ... kalau Al sukanya sama janda yang udah punya anak dan pingin seriusin dia, bunda ngasi izin atau nggak?" tanya Alvian sambil menatap lekat netra sang ibu yang sudah membeliakkan matanya.
"Janda? Udah punya anak? Bukannya kamu sukanya sama Zafira si sekretaris kamu itu ya?"
"Yah, malah balik tanya. Jawab aja dulu, Bun," protes Alvian yang sudah merengek manja.
"Idih, udah dewasa aja masih manja. Nggak malu sama umur," cibir Bu Ayu.
"Mumpung Al masih single, Bun, kalau udah punya istri, Al pasti manjanya ke istri," ujarnya seraya terkekeh.
"Idih, sok udah ada calon aja. Oh ya, jawaban bunda untuk pertanyaan kamu tadi ya bunda serahkan ke kamu, kalau kamu cocok kenapa nggak. Bunda nggak masalah kok asalkan kamu bahagia, bunda fine-fine aja. Tapi ... ada tapi ini ya, pastikan dulu statusnya benar-benar udah single atau bagaimana. Jangan sampai di mulut bilang single, kenyataan dia masih istri orang. Terus pastiin juga keluarganya, mau menerima kamu atau nggak. Apalagi ... bunda yakin, kamu yang paling tahu apa yang harus kamu lakukan, Al," ucap Bu Ayu sungguh-sungguh membuat Alvian tersenyum senang atas lampu hijau dari sang ibu. "Jujur nih ya, Al, bunda malah suka banget kalau ternyata dia udah punya anak, artinya kan bunda langsung punya cucu. Bunda suka kesepian di rumah. Kalo nunggu cucu dari kamu produksinya lama. Kalo ada yang instan, ya nggak masalah. Bunda senang-senang aja kok," seloroh Bu Ayu membuat Alvian tergelak.
"Emangnya mie instan," seloroh Alvian. "Tapi Alhamdulillah kalo bunda nggak masalah. Sebenarnya Al itu ke rumah sakit mau temenin Zafira, Bun. Anaknya sakit, kecelakaan gitu, jadi dirawat di rumah sakit. Mereka hanya tinggal berempat, Zafira, ibunya, dan kedua putrinya. Nah, ibunya kan mesti jagain putrinya yang lebih kecil, jadi Zafira sendirian di rumah sakit, Aku nggak tega. Makanya Al mau balik ke rumah sakit buat temenin. Boleh kan Bun Al temenin Zafira di rumah sakit?"
"Innalilahi, putrinya Zafira kecelakaan? Tapi dia nggak papa kan? Bunda sih nggak papa, asal jangan macam-macam."
"Tadi kata dokter yang mengoperasinya, Regina udah nggak papa cuma masih mesti dikontrol. Tenang aja, Bun, Al nggak bakal macam-macam kok. Palingan juga satu macam doang," canda Alvian yang membuat dirinya mendapatkan sebuah jeweran di telinga kirinya.
"Mau semacam atau bermacam-macam pokoknya nggak boleh. Awas ya kalau sampai macam-macam, bunda sunat lagi kamu biar tahu rasa," ancam Bu Ayu membuat Alvian melotot.
"Astaga Bun, jangan dong! Gimana Al mau buatin bunda cucu kalo Al disunat lagi."
"Makanya jangan macam-macam!"
"Iya, iya, Al ngerti kok, Bun. Al akan jaga diri sebaik mungkin."
"Good. Tapi bunda nggak nyangka banget kalau Zafira ternyata udah punya anak, keliatan kayak masih gadis lho. Cuma ya itu, perutnya aja yang kayak lagi ... "
"Hamil?" sambung Alvian yang diangguki Bu Ayu. "Emang Zafira sedang hamil, Bun. Nanti Al bakal ceritain semuanya yang Al tahu. Tapi Al harus pergi sekarang. Udah mau jam makan malam juga, kasihan Zafira kalau sampai telat makan."
"Al, bunda bawain kamu bekal aja ya buat kalian makan di rumah sakit. Kebetulan bunda masak agak banyak tadi, mubazir kalo nggak dimakan." Tawar Bu Ayu yang langsung membalikkan badannya menuju dapur tanpa menunggu jawaban Alvian. Alvian pun segera mengekori sang ibu. Tak butuh waktu lama, makan malam pun telah Bu Ayu siapkan dan berikan kepada Alvian. Alvian pun menerimanya dengan senang hati. Sebelum pergi, tak lupa Alvian mencium punggung tangan sang ibu. Setelah mengucapkan salam, Alvian pun segera berangkat menuju rumah sakit.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...