Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika Aruna harus menikah setelah kehilangan calon suaminya 1 tahun yang lalu. Ia dengan terpaksa menyetujui lamaran dari seorang pria yang ternyata sudah beristri. Entah apapun alasannya, bukan hanya Aruna, namun Aryan sendiri tak menerima akan perjodohan ini. Meski demikian, pernikahan tetap digelar atas restu orang tua kedua pihak dan Istri pertama Aryan.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bertahan lama? Dan alasan apa yang membuat Aruna harus terjebak menjadi Istri kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trilia Igriss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Siapa Adnan?
*"Tante.... Alice kangen. Tante kemana aja?" Suara teriakan memekik telinga itu berhasil menarik perhatian pengunjung lain. Namun, suara Alice berubah pelan saat Aruna memberi kode agar dirinya tidak terlalu berisik. Dengan renyah canda tawa, Alice menurut dan tak memperlihatkan kekesalan karena Aruna larang.
"Mau main?" Tanya Aruna langsung ditanggapi anggukan antusias oleh Alice sendiri.
"Ayo Tante... Aku mau main di situ." Ujarnya menarik tangan Aruna seraya menunjuk ke arah beberapa wahana permainan anak-anak di taman itu. Adnan tak bisa melepaskan pandangannya dari Aruna. Bahkan terlihat Ia tersenyum ketika mengikuti langkah wanita itu bersama putrinya.
"Alice.. kamu mainnya sendiri ya! Papa mau bicara dengan Tante." Tutur Adnan dengan suara yang begitu lembut. Meski kesal, namun Alice tak bisa membantah. Ia merasa senang jika Aruna masih di sana.
"Tapi Tante jangan pergi ya!" Pintanya sedikit merengek. Sifat asli anak-anak yang tak bisa dihindari, menangis.
"Iya sayang. Tante di sini." Aruna segera meyakinkan dengan harap Alice bisa menghentikan tangisnya. Dengan satu kali bujukan, gadis kecil itu berhasil dibuat tenang. Terlihat Alice berlari dan mulai asyik dengan permainan yang ada di sana. Sementara itu, Adnan dan Aruna memilih duduk mengamati di sebuah kursi yang tak jauh dari Alice.
"Aruna!". "Dok!" Keduanya sama-sama berucap, namun tiba-tiba terdiam menyadari lawan bicaranya akan berucap juga.
"Dokter dulu."
"Kamu saja dulu. Siapa tahu lebih penting."
"Dokter saja. Saya tidak terlalu penting."
"Kau yakin?" Aruna mengangguk menanggapi pertanyaan penuh keraguan dari Adnan tersebut. "Ya sudah. Boleh saya minta sesuatu dari kamu?" Tanyanya kemudian. Aruna kembali mengangguk menanggapi. "Jangan panggil saya dokter terus. Gak enak didengar kalau di luar. Panggil Adnan saja."
"Tapi Dok..."
"Kamu bukan pasien saya. Kalau di rumah sakit, silahkan saja. Tapi kalau di luar, panggil nama saja gapapa."
"Emm.. Mas Adnan?"
'Deg!' Meski suara Aruna terdengar ragu dan sangat pelan, namun suaranya itu berhasil memporak-porandakan hati Adnan seketika. Jantungnya berdegup keras tak bisa Ia kendalikan. Sialnya, Ia seorang dokter, tapi untuk menghentikan kegugupan saja, Ia tak bisa. Beberapa kali Ia meraih dadanya dan menghela nafas tak beraturan. Dan pandangannya terus berpaling menghindari Aruna.
"Kenapa Mas?" Tanya Aruna mendadak cemas. Lagi, Adnan merasakan ada perasaan lain mendengar panggilan baru dari wanita di depannya ini.
"Ga-gapapa. Ini... sepertinya saya gemetaran." Jawabnya.
"Loh, kenapa Dok? Emm maksud saya, Mas?" Bukan hanya Adnan yang merasa aneh dengan panggilan itu, bagi Aruna pun, rasanya seperti sangat menggelikan. Ia merasa jika panggilan itu terdengar tabu dan seperti bukan pada seorang teman.
"Sudah bagus dia panggil Dokter, kenapa aku menyuruhnya memanggil nama. Dan dia malah memanggilku dengan sebutan itu. Apa karena aku tak biasa dengan panggilan yang hanya aku dengar 4 tahun yang lalu?" Batin Adnan mendadak melamun dan tak menyadari kecemasan Aruna.
"Mas!" Panggilnya lebih keras. Ia tak tahu sudah berapa kali Ia memanggil Adnan namun tak juga menyahuti. "Mas belum makan? Mas sakit?" Lanjutnya bertanya. Namun sedetik kemudian Ia mendadak bungkam menyadari kebodohannya melempar pertanyaan. Sakit? Memang ada dokter sakit? Mungkin ada, tapi kali ini pertanyaannya terasa ambigu.
"Se-sepertinya saya lapar." Jawabnya asal. Ia tak tahu lagi harus menjawab apa. Tidak mungkin Ia menjawab karena Aruna, Ia menjadi gemetar begitu.
"Ya sudah, saya beli makanan dulu. Mas mau makan apa? Atau mau pesan online saja? Kita makan di sini?" Tanya Aruna masih terlihat khawatir. Ia tak tahu harus memberi bantuan seperti apa.
"Boleh." Sontak, Aruna terdiam mendengar jawaban Adnan demikian. Maksudnya boleh? Apa pesan online, atau Ia yang pergi membeli langsung?
"Saya saja yang pesan. Kamu mau apa?" Ujar Adnan tiba-tiba. Aruna tak langsung menjawab, Ia sendiri tak merasa lapar saat ini. Saat Ia akan menolak, Adnan memperlihatkan layar ponselnya pada Aruna, dimana Ia melihat beberapa menu makanan di sana.
"Terserah Dokter saja." Ujarnya.
"Tuh kan? Saya bilang jangan panggil dokter!" Tegur Adnan sedikit gemas akan kekeliruan Aruna tersebut.
"Iya maaf Mas." Lirihnya terdengar malu-malu.
"Aku sendiri yang mencari penyakit memang. Sudah sembuh, sekarang tidak bisa dikendalikan lagi. Setelah dari sini, aku harus ke rumah sakit langsung. Aku butuh CPR." Batin Adnan lagi.
...----------------...
"Dari mana?" Tanya Aryan dari kursi ruang tamu berhasil membuat Aruna terhenyak dan menoleh langsung ke arahnya.
"Mas?" Pekiknya begitu terkejut mendapati suaminya ada di sana. Bagaimana tidak, beberapa hari terakhir Aryan tak pulang ke sana dan Ia pikir hari ini pun Aryan tak ada di rumahnya.
"Kenapa kau terkejut begitu? Kau tak suka ada di sini?" Aryan beranjak dari duduknya lalu menghampiri Aruna yang masih terdiam di dekat pintu.
"Eng-enggak gitu maksudnya." Jawabnya terbata, meski dalam hati berkata lain. "Aku memang tak suka kamu di sini, Mas." batinnya memalingkan wajah menghindari Aryan.
"Kamu belum jawab. Dari mana?" Kembali Ia mengulang pertanyaan.
"Dari taman."
"Di taman? Sama siapa?"
"Sama Alice."
"Alice itu siapa?"
"Dia...." Aruna terlihat ragu untuk menjawab siapa Alice. Tak mungkin Ia memberitahu Aryan jika Alice adalah anak Adnan. Terlalu jujur hanya akan membuatnya masuk ke dalam masalah baru. Dan mengapa Aryan begitu ingin tahu tentang urusan pribadinya?
"Ibunya sudah meninggal Mas. Dia mau aku temani. Berhubung aku gak ada teman, ya sudah aku temani Alice saja." Jawabnya mengelak. Setelah mendengar alasan Aruna, Aryan tak pikir panjang, Ia berlalu begitu saja meninggalkan Aruna di tempatnya. Wajah Aruna mendadak berubah seketika saat melihat Aryan yang begitu acuh.
0"Dasar." Batinnya mengumpat. Hal mengesalkan seperti ini dapat Ia kesampingkan ketika mengingat kebersamaannya dengan Adnan dan Alice. Senyumnya kembali mengembang meski di depannya Aryan memasang wajah kesalnya.
"Kenapa dia tenang begitu? Aku harus cari tahu sebenarnya siapa Alice itu, dan kenapa sepertinya sangat betah dengan Aruna?" Batin Aryan seraya terus berjalan tak menghiraukan Aruna yang berbelok ke arah dapur.
...----------------...
Malamnya, Aruna kembali mengobrol dengan seseorang lewat telepon. Aryan yang penasaran pun pada akhirnya mencaci tahu juga. Ia bersikap seolah tengah mencari angin malam dengan niat menguping pembicaraan Aruna bersama kontak nama Alice itu. Apa memang Aruna tidak mengada-ada? Atau sebenarnya Alice itu hanya alasan?
"Alice harus makan. Kasihan Papa sama Oma." Ujarnya berusaha ikut membujuk kala Ia mendengar jika setelah perpisahaannya dengan Alice dan Adnan, gadis itu tak mau makan karena beralasan ingin ditemani olehnya.
"Alice mau Tante...." terdengar teriakan dari seberang membuat Aruna menjauhkan ponselnya.
"Iya besok kita main lagi ya! Sekarang sudah malam. Ayah Tante lebih galak dari Papanya Alice. Kalau Tante ke sana, tidak dibolehkan." Lagi, Ia mengatakan alasan yang tak Aryan mengerti. Bukankah Ayah Aruna sudah meninggal? Kenapa berbohong sampai begitu?
"Aruna... sekali lagi Ibu minta maaf ya. Soalnya Ibu tak tahu harus meyakinkan Alice bagaimana lagi." Ujar Rahayu yang diketahui merebut ponsel dari Alice yang masih tantrum di sana.
"Iya bu. Saya yang minta maaf karena tak bisa ke sana sekarang. Ada beberapa alasan kenapa saya tidak bisa. Besok saja saya temui Alice."
"Iya nak terima kasih. Maaf ibu dan Adnan selalu merepotkan."
"Tidak Bu. Justru Ibu dan Mas Adnan sangat membantu saya." Mendengar nama laki-laki asing disebut langsung oleh istrinya, Aryan tak bisa menahan diri, Ia menghampiri Aruna tiba-tiba sehingga wanita itu terhenyak dan segera mengakhiri panggilan. Setelahnya Ia mematikan layar ponsel dan berniat menyimpannya, namun tangan Aryan lebih cepat. Pria itu berhasil merebut benda canggih itu dari tangan istrinya.
"Siapa Adnan?" Pertanyaan yang seakan tak didengar oleh Aruna sendiri. "Siapa Adnan?" Aryan mengulang pertanyaan dengan nada semakin tinggi, dan Aruna belum berani menjawab. "Dia selingkuhanmu?" Kali ini, Aruna berani menoleh ke arahnya dan menatap matanya tajam-tajam. Ingin sekali Ia menampar kembali wajah Aryan sekeras mungkin, namun Ia tak ingin jika balasannya Aryan berikan lebih brutal dari pada malam sebelumnya. Sebisa mungkin, malam ini dan seterusnya, Aryan tak lagi menyentuhnya.
"Dia dokter yang nangani aku, Mas." Jawabnya sedikit tegas.
"Hubungan Adnan dengan Alice apa?"
"Apa Mas tidak punya kerjaan? Kenapa mencaritahu urusanku?" Mendengar pertanyaan tersebut, tentu saja Aryan mulai tersulut emosinya. Ia meraih dagu Aruna dan mencengkram kuat-kuat, tatapannya lebih tajam dan kebencian diantara keduanya tak bisa disembunyikan lagi.
"Siapa Adnan?" Lagi, Aryan bertanya, namun kali ini Aruna tak berani menjawab. "Oke, aku cari tahu sendiri." Lanjutnya berhasil membuat Aruna terbelalak panik. Apa Ia harus menjawab jujur, atau berbohong pada suaminya ini? Sebenarnya Aryan kenapa? Mengapa bersikeras ingin tahu siapa Adnan?
...-bersambung...
gimana ya thor aruna dg Adnan
biar nangis darah suami pecundang
masak dak berani lawan
dan aku lebih S7, Aruna dg Adnan drpd dg suami pecundang, suami banci
drpd mkn ati dg Aryan, sbg istri ke 2 pula
berlipat lipat ,
memikiran gk masuk akal sehat..