Anastasia, wanita berhijab itu tampak kacau, wajahnya pucat pasi, air mata tak henti mengalir membasahi wajah cantiknya.
Di sudut rumah sakit itu, Ana terduduk tak berdaya, masih lekat diingatannya ketika dokter memvonis salah satu buah hatinya dengan penyakit yang mematikan, tumor otak.
Nyawanya terancam, tindakan operasi pun tak lagi dapat di cegah, namun apa daya, tak sepeser pun uang ia genggam, membuat wanita itu bingung, tak tahu apa yang harus di lakukan.
Hingga akhirnya ia teringat akan sosok laki-laki yang telah dengan tega merenggut kesuciannya, menghancurkan masa depannya, dan sosok ayah dari kedua anak kembarnya.
"Ku rasa itu sudah lebih dari cukup untuk wanita rendahan seperti mu... ."
Laki-laki kejam itu melempar segepok uang ke atas ranjang dengan kasar, memperlakukannya layaknya seorang wanita bayaran yang gemar menjajakan tubuhnya.
Haruskah Anastasia meminta bantuan pada laki-laki yang telah menghancurkan kehidupannya?
IG : @reinata_ramadani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinata Ramadani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Tidak Ingin Mencarinya?
°°°~Happy Reading~°°°
"Dokter Steavee..." Tanpa sengaja Ana menatap siluet sang dokter di ujung pintu.
"Maaf, Ana. Aku tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Aku tak ingin mengganggu kalian," ucap Stephanie terus terang.
"Tidak apa dokter. Hanya percakapan biasa antara ibu dan anak. Dokter tidak perlu sungkan." Perempuan itu menyingkir, mempersilahkan Stephanie untuk memeriksa keadaan sang putra.
Dokter Stephanie pun memeriksa keadaan Mallfin dengan seksama. Setelahnya, pandangannya beralih pada Ana.
"Baiklah, biarkan Mallfin beristirahat. Kamu ikutlah denganku."
Ana menurut, setelah berpamitan dengan si kecil Mallfin, perempuan itu lantas membuntuti Stephanie yang berjalan keluar ruangan. Duduk di kursi tunggu, mereka harus berbincang sejenak.
"Bagaimana, apa ada keluhan?"
"Kemarin, Mallfin sempat kehilangan pendengarannya. Dan sekarang, dia tidak bisa melihat," tatapannya kosong, perempuan itu bagai kehilangan harapan di tengah keputusasaan.
"Tidak apa. Setelah operasi dilakukan, Mallfin akan baik-baik saja, Ana. Mungkin 5 hari lagi, Mallfin sudah siap untuk menjalani operasinya."
Ana menundukkan pandangannya. Bagaimana ini, ia bahkan belum sanggup melunasi biaya operasi. Sedang operasi tak akan bisa dilakukan sampai ia bisa membayar seluruhnya.
"Tidak apa. Jangan takut. Mallfin, dia bocah yang kuat." Tangannya mengusap punggung itu dengan lembut.
"Oh iya, apa aku boleh bertanya sesuatu?"
"Ya, silahkan dok."
"Eummm, dimana ayah mereka. Sepertinya aku belum pernah melihatnya?"
Ana terdiam cukup lama, membuat Stephanie sadar, pertanyaan itu tak sepantasnya keluar dari mulutnya. "Ahhh, maaf Ana. Jika pertanyaanku terlalu lancang."
"Tidak apa-apa, Dok."
Ana menghela nafas cukup berat sebelum akhirnya kembali membuka suara.
"Sebenarnya, saya korban pelecehan. Saya tidak tau dimana ayah mereka." tunduk Ana, mengingat masa-masa itu, sungguh itu sangat menyakitkan.
"Maafkan aku Ana, tidak seharusnya aku membuka luka lama untukmu."
Perempuan itu menyunggingkan senyum seolah semua baik-baik saja. "Tidak apa dokter, lagi pula itu sudah lama terjadi."
"Apa-- kamu tidak ingin mencarinya?"
"Tidak."
"Kenapa? Apa anak-anak tidak pernah bertanya tentang ayah mereka?"
"Mallfin, dia putra yang pengertian. Dia sama sekali tak pernah menanyakan dimana ayahnya. Tapi Maurin, gadis itu selalu saja menanyakan ayahnya. Maurin sering menangis karena aku tak bisa menurutinya. Tapi mencarinya juga akan percuma, karena mungkin dia tidak akan pernah mengakuinya. Aku tak ingin membuat anak-anakku lebih terluka karena di tolak ayah kandungnya."
Helaan nafas terdengar dari perempuan itu. Ternyata masih sama. Rasa sakit itu tak dapat ia lupakan. Sesak di dada itu bahkan masih bersarang di tempatnya.
"Kau mengingat bagaimana wajahnya?"
"Ya. Aku sangat mengingatnya. Bahkan kedua anakku sepertinya menurun darinya. Apalagi Mallfin, mereka sangat mirip."
Dokter Stephanie terdiam tak menimpali. Kedua manik matanya hanya menyorot, menatap Ana penuh tanda tanya.
"Ahahaha, maaf dokter. Apa cerita saya sangat membosankan?" Perempuan itu tertawa di tengah bola matanya yang berembun. Sejujurnya tangis itu akan runtuh, namun sekuat hati Ana menahannya. Ia tak ingin terisak dihadapan siapapun. Termasuk dokter Stephanie sekalipun.
"Tidak Ana. Kamu-- pasti tidak mudah menjalani semua ini. Kamu perempuan hebat."
"Onty dotell..." Pekikan si kecil Maurin berhasil menyadarkan keduanya. Membuat Ana dan dokter muda itu sontak menoleh.
"Hai cantik. Kamu dari mana saja?" Sapa Stephanie lebih dulu. Dokter muda itu selalu saja di buat gemas oleh tingkah gadis kecil itu.
"Tadi Mollin main shama Nono shana. Kita main petak umpet tullush keudall-keudallan, shellu sheukalli onty dotell... ."
"Oh iya... Apa boleh aunty ikut bermain?"
Gadis kecil itu terdiam cukup lama.
"Onty dotell udah beushall endak bolleh main-main ladi. Nanti mallahin mommy na onty dotell gimana?"
"Nggak kok. Mommy nya aunty baik. Maurin pasti suka kalau bertemu dengan mommy nya aunty."
'Nanti Maurin bisa memanggilnya granny, Maurin mau kan bertemu dengan mommy nya aunty?' bisik Stephanie. Membuat gadis kecil itu sontak memekik.
"Shius onty?"
"Ya, tentu saja."
"Mollin mau Mollin mau. Yeayyy... ."
"Ahahaha... ."
🍁🍁🍁
Annyeong Chingu
Happy reading semua
Saranghaja 💕💕💕