Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Kedatangan Triani
Malam ini Tatiana dan Samudera tidak pulang ke rumah. Mereka diminta ayah dan ibu Samudera untuk menginap di sana. Sebenarnya ada rasa enggan di benak Tatiana, tapi melihat antusiasme Ariana, Tatiana tak tega. Setiap menginap, mereka tidak perlu membawa pakaian sebab mereka memang sengaja meninggalkan pakaian di rumah itu untuk mempermudah bila sewaktu-waktu mereka akan menginap di sana.
Kini ia sudah berbaring di ranjang. Pintu yang terbuka, membuat Tatiana segera memejamkan matanya. Ranjang yang bergoyang pertanda Samudera telah naik ke sisinya.
"Tiana, bisa kita bicara? Mas tau, kau belum tidur," ucap Samudera.
Tatiana yang merasa tak ada gunanya berpura-pura tidur pun segera beranjak dan mendudukkan tubuhnya.
"Apa yang Mas ingin bicarakan?" tanya Tatiana tanpa mau mengalihkan pandangannya ke arah Samudera sama sekali.
"Sebenarnya kau kenapa?"
"Mas masih bertanya aku kenapa? Begini saja, aku balik bertanya, apakah aku tidak berarti apa-apa dalam hidupmu, Mas?" tanya Tatiana dengan tatapan sendu.
Samudera bungkam. Ia bingung harus menjawab apa.
"Tak perlu dijawab. Diamnya Mas sudah memberikan jawaban secara tersirat padaku."
"Tiana, kau ini sebenarnya kenapa?" tanya Samudera lagi. Ia bingung melihat perubahan sikap Tatiana. Tatiana lebih banyak diam. Tidak seceria biasanya. Bahkan beberapa kali ia kerap mengatakan sesuatu secara ambigu.
"Mas, mari kita berpisah."
Mendengar kalimat itu meluncur dengan lancar dari bibir Tatiana membuat darah Samudera seketika menggelegak. Rahangnya mengeras.
"Mau berapa kali pun kau meminta, aku takkan pernah menceraikan mu," sentak Samudera.
"Tapi kenapa? Kenapa Mas tidak mau menceraikan ku? Mas pikir aku bahagia hidup seperti ini? Tidak. Aku saja yang terlalu naif berpikir aku bisa meluluhkan hatimu, tapi ternyata aku salah. Bahkan setelah dua tahun bersama pun, kau tak pernah sekalipun menoleh ke arahku. Yang ada di hati dan pikiranmu hanya ada mbak Triana. Aku mengerti kalau dia cinta sejati Mas, tapi ... tak adakah sedikit saja tempat untukku? Bahkan saat menyentuhku pun yang kau sebut Mbak Triana. Rumah ini milik Mbak Triana. Isinya pun tak boleh ku geser sedikit saja karena semua ini milik Mbak Triana. Kau dan Ariana pun milik Mbak Triana, lantas aku ini apa? Apa Mas pikir aku ini patung yang tidak memiliki hati dan perasaan? Aku sakit, Mas. Sakit. Sakit sekali," ucapnya yang awalnya menggebu, tapi perlahan berubah lirih seiring derai air mata yang menganak sungai di pipi Tatiana.
Samudera terpengkur menatap raut putus asa Tatiana. Perlahan tangannya terulur untuk menarik pundak Tatiana dan memeluknya. Tatiana tidak menolak sebab ia pun begitu merindukan pelukan ini.
"Maaf, maafkan Mas yang sudah menyakitimu."
"Maaf, tapi setelahnya Mas akan melakukan hal yang sama."
"Mas akan berusaha berubah. Mas mohon, jangan ucapkan lagi kata perpisahan. Sampai kapanpun Mas tidak akan pernah menceraikan mu," ujar Samudera sambil mengusap punggung Tatiana.
Melihat Tatiana sudah cukup tenang, Samudera lantas merenggangkan pelukannya. Disekanya sisa-sisa air mata yang membasahi pipi Tatiana. Lalu Samudera perlahan mendekatkan wajahnya sambil membaringkan tubuh Tatiana. Malam panjang pun akhirnya mereka lewati. Sama seperti pasangan lain yang berseteru, hangatnya ranjang bisa menjadi obat pereda ketegangan antara mereka.
Ingin hati Tatiana menolak sentuhan itu, tapi ternyata telah tubuhnya berkhianat. Ia pun merindukan sentuhan lembut Samudera. Apalagi Samudera masih menjadi suami sahnya. Dosa besar bila ia menolak. Akhirnya, Tatiana hanya bisa pasrah. Tatiana akan mencoba bersabar untuk terakhir kali. Bila Samudera kembali mengabaikannya, maka tanpa pikir panjang Tatiana pasti akan memilih pergi. Ia harap Samudera memang merealisasikan ucapannya untuk berusaha berubah.
Pagi hari Tatiana seperti biasa bangun lebih awal. Meskipun hari itu akhir pekan, ia tetap bangun pagi seperti biasanya. Ia membantu bibik menyiapkan sarapan di dapur.
"Tiana, kamu udah bangun? Duh, kenapa sih kamu selalu repot-repot siapkan sarapan! Kan sudah ada bibik," ucap Ibu Samudera.
"Iya nih, Nya, kayak takut banget masakan bibik nggak enak jadi milih masak sendiri," seloroh bibik sambil mencebikkan bibirnya.
Tatiana terkekeh lalu memeluk tubuh tambun bibik dari belakang, "cie, bibik ngambek nih? Jangan ngambek dong, entar hilang cantiknya lho."
Si bibik terkekeh geli, "cantik dari mana, Neng? Dari Hongkong."
Ibu Samudera terkekeh melihat interaksi menantu dan asisten rumah tangganya itu. Tatiana memang wanita yang ramah dan berhati lembut. Ia tidak melihat seseorang dari status maupun kekayaan yang orang miliki. Ia memperlakukan semua orang sama. Bahkan ia tak segan-segan memeluk asisten rumah tangganya.
"Tiana, kamu habis nangis, Nak?" tanya ibu Samudera khawatir saat melihat wajah sembab Tatiana. Apalagi di area lingkar matanya terlihat begitu jelas.
"Nangis? Nggak kok, Ma."
"Kamu nggak usah bohong. Apa Samudera menyakiti kamu?" cecar ibu Samudera.
Tatiana gelagapan. Ia mengumpat dalam hati, seharusnya ia tidak bertengkar dengan Samudera di rumah ini. Hal itu justru akan memperunyam masalah saja.
"Nggak, Ma, Mas Samudera nggak nyakitin Tiana kok. Ini tuh karena Tiana nonton Drakor Ma semalam sampai larut. Terus ceritanya itu sad ending jadi Tiana nangis jadi mata Tiana kayak gini deh," dusta Tatiana.
"Awas ya kalau kamu bohong! Pokoknya, kalau sampai Samudera nyakitin kamu, bilang sama Mama," peringat ibu Samudera.
Lalu mereka pun kembali berbincang sambil menyiapkan sarapan.
"Tiana, ini biar mama aja yang lanjut. Kamu panggil saja Samudera dan Ana kemari!" titah ibu Samudera.
"Baik, Ma," ucap Tatiana yang segera melepas apron yang menutupi tubuhnya.
Namun baru saja Tatiana hendak beranjak memanggil Samudera, tiba-tiba kakinya terpaku. Sebab di ruang tamu, ia melihat Samudera sedang terpaku memandang seorang gadis yang sedang menggendong Ariana. Wajah gadis itu begitu familiar membuat dahi Tatiana mengernyit.
"Mbak Triana ... Bagaimana mungkin?" gumamnya terkejut.
"Tiana, kok malah bengong di sini? Kamu liatin apa sih?" Lalu ibu Samudera pun mengikuti arah pandangan Tatiana dan matanya seketika membola melihat siapa yang datang.
"Jeng Marni? Triani?" gumamnya terkejut.
Ibu Samudera pun segera beranjak menuju ruang tamu untuk menyambut tamu dadakannya itu.
"Jeng Marni."
"Jeng Sakinah," ucap wanita paruh baya yang datang berkunjung di pagi hari itu. Mereka lantas berpelukan kemudian saling bercipika-cipiki.
"Tante ... "
"Triani ... Kamu ... Ya, ampun, kamu akhirnya kembali ke kota ini juga. Sudah berapa tahun ya?" sambut ibu Samudera pada tamunya tersebut.
"Sudah hampir 6 tahun, Tante. Lebih tepatnya, sehari setelah Triana menikah dengan Kak Samudera," ujar perempuan bernama Triani tersebut yang tak lain adalah saudara kembar Triana, mendiang istri Samudera.
"Ibu," panggil Ariana yang mengira Triani adalah ibunya sebab wajah Triani bagai pinang dibelah dua, begitu mirip, tanpa perbedaan sama sekali kecuali gaya berpakaian mereka saja yang berbeda. Bila Triana selalu berpakaian sopan dan anggun, maka Triani suka mengenakan pakaian minim dan terkesan seksi.
Semua orang tercengang mendengar Ariana memanggil Triani ibu.
Triani lantas tersenyum lebar, "iya, Sayang, ada apa?"
"Ana kangen ibu. Huhuhu ... " Ariana yang sejak tadi berada dalam gendongan Triani pun menangis tergugu. Mereka tidak menyangka, Ariana akan mengira Triani sebagai ibu kandungnya.
Triani pun mencoba menenangkan Ariana. Lalu saat ia melihat Samudera yang masih saja berdiri mematung, ia pun segera menghampiri.
"Halo kak Sam, apa kabar?" ucapnya sambil tersenyum manis. Samudera yang memang begitu merindukan Triana pun tanpa sadar memeluk tubuh ramping Triani. Tatiana yang berada di ujung tangga terpaku. Ia menatap nanar semua orang di sana.
Tak ada yang menyadari keberadaan Tatiana. Barulah saat sang ayah mertua yang baru turun dari tangga menegurnya, semua orang pun mengalihkan pandangannya ke arah Tatiana yang matanya sudah memerah.
"Tiana, kamu sedang melihat apa?"
"Tiana ... "
"Tiana ... "
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
menyiksa diri sendiri.