John Roki, Seorang siswa SMA yang dingin, Cerdas, dan suka memecahkan misteri menjadi logis (Bisa diterima otak)
Kehidupan SMA nya diawali dengan kode rahasia yang tanpa disadari, membawanya ke misteri yang lebih mengancam. Misteri apa itu? kok bisa makin besar? Selengkapnya dalam cerita berikut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoro Z, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Game 15. Hujan dan ketenangan.
Setelah mendengar semua cerita dari Pak Nila, Taro diselimuti dengan perasaan bersalah, siapa sangka, penyebab surat teror ini adalah dirinya sendiri.
Tentu saja Pak Nila juga bersalah, karena dia sudah berlebihan dalam membalas dendam. Dia telah mengacaukan mental Taro dan hebatnya, dia masih ingin terus lanjut entah sampai kapan.
Taro mulai minta maaf kepada Pak Nila duluan, melihat Taro yang meminta maaf duluan, memicu perasaan campur aduk didalam hati Pak Nila, perasaan bersalah, menyesal dan malu mulai menyelimutinya.
Dengan respon cepat, Pak Nila juga langsung meminta maaf kepada Taro dan sempat bilang, ingin berhenti dari pekerjaannya sebagai pembantu keluarga Taro. Namun permintaan ini ditolak Taro, karena permasalahan ini antara Taro dan Pak Nila, bukan Ayah Taro dan Pak Nil, paham maksud ku?. Yang mengaji Pak Nila adalah Ayahnya Taro, bukan Taro, jadi Taro tidak punya hak untuk memecat Pak Nila.
Kasus ini pun diselesaikan dengan cara kekeluargaan, Taro tidak melaporkan Pak Nila ke polisi, namun sebagai gantinya, Taro meminta bantuan Pak Nila untuk membujuk Nila menjadi teman baik Taro lagi.
Apa sih untungnya balas dendam? Memicu perasaan puas? Itu hanya sementara, perasaan puas yang sementara dan akan digantikan dengan penyesalan yang mendalam.
Balas dendam bukan hanya merugikan orang lain yang kamu balas, namun juga merugikan kamu sendiri, kita lihat kasus ini, untung Taro tidak melaporkan Pak Nila ke polisi, tapi bukan ini yang paling rugi, Pak Nila untuk kedepannya bakalan merasa malu dan takut saat melihat Taro, apakah ini sesuai dengan perasaan puas?.
Satu hari sebelum hari masuk sekolah, Roki dan Kevin baru ingin pulang dari rumah Taro. Yap, selama dua hari setelah kasus selesai, Roki dan Kevin masih dirumah Taro. Karena masih ada waktu untuk liburan, kenapa tidak liburan sekalian? Bagi Roki liburan sesungguhnya adalah, memecahkan misteri.
Taro sangat berterimakasih ke Roki dan Kevin yang telah membantu dirinya memecahkan kasus surat teror. Tentu saja, Roki dan Kevin balik berterimakasih ke Taro yang telah mengasihi tempat dan makanan gratis diwaktu liburan ini.
Roki dan Kevin pulang mengunakan bus lagi, setelah sampai di halte bus yang lumayan dekat dengan rumah Roki maupun Kevin, mereka pun berpisah di sana..
Sebelum pulang, Roki memutuskan untuk singgah ke toko buku favorit Roki. Ia perlu membeli beberapa buku untuk mengisi waktu luangnya selama sisa liburan.
Saat memasuki toko buku, aroma kertas yang khas langsung menyeruak ke hidungnya. Suasana tenang toko membuatnya merasa nyaman. Roki berjalan menyusuri rak-rak buku dengan langkah lambat, melihat-lihat berbagai judul yang ditawarkan.
"Roki?"
Sebuah suara lembut memecah keheningan. Roki menoleh dan melihat Marlina berdiri di dekat rak yang sama, memegang sebuah buku di tangannya. Mata mereka bertemu sejenak, lalu Marlina tersenyum tipis.
“Kamu sering juga ke sini?” tanya Marlina, mencoba mencairkan suasana.
Roki mengangkat bahu ringan, “Kadang. Kalau ada waktu luang.”
Mereka berjalan beriringan menyusuri deretan rak buku, Marlina mulai berbicara tentang beberapa buku yang baru saja ia baca. Roki hanya menanggapi seperlunya, menjaga interaksi tetap minimal tanpa terlihat dingin. Marlina tampaknya sudah cukup mengerti bagaimana cara berbicara dengan Roki—tidak memaksanya untuk banyak bicara, tapi tetap mencoba menjaga percakapan agar tidak terasa canggung.
Setelah beberapa menit mencari-cari buku, akhirnya Roki menemukan yang ia butuhkan. Sebuah novel misteri baru yang dia dengar cukup menarik. Marlina juga sudah mendapatkan beberapa buku yang dia incar.
“Kamu biasanya baca genre apa?” tanya Marlina ketika mereka berjalan menuju kasir.
“Genre misteri, atau apa saja yang bikin mikir,” jawab Roki datar, namun masih sopan. “Kamu?”
“Aku suka fiksi romantis, kadang baca komedi juga,” jawab Marlina dengan senyum malu. “Tapi, misteri? Bukannya itu terlalu berat?”
Roki hanya mengangkat alis. “Berat atau enggak, tergantung dari cara kita lihatnya. Lagipula, aku suka tantangan.”
Percakapan mereka terhenti sejenak saat tiba di kasir. Setelah membayar, keduanya berjalan keluar dari toko buku. Ketika mereka melangkah keluar, tiba-tiba langit yang tadi cerah berubah kelabu, dan hujan mulai turun dengan deras.
“Oh, tidak!” Marlina buru-buru membuka tasnya, mencari-cari payung, tapi tak menemukannya. Roki yang tidak membawa payung hanya memandang langit dengan tatapan biasa. Dia tidak terlihat khawatir atau kesal, meski hujan deras di hadapannya.
“Rumahku lebih dekat dari sini,” kata Marlina setelah sejenak berpikir. “Kalau kamu mau, bisa berteduh dulu di rumahku sampai hujan reda.”
Roki melihat langit, hujan sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Setelah beberapa detik mempertimbangkan, dia mengangguk.
“Boleh juga,” jawabnya singkat.
Mereka berdua pun berjalan menuju rumah Marlina, menembus gerimis yang mulai terasa dingin. Setibanya di sana, Marlina membuka pintu dan mempersilakan Roki masuk.
"Maaf ya, mungkin sedikit berantakan," Marlina tertawa kecil sambil meletakkan bukunya di meja ruang tamu.
Ruangan itu sebenarnya cukup rapi. Tak ada tumpukan barang atau kekacauan yang mencolok, namun mungkin bagi Marlina, ada hal-hal yang tak terlihat yang membuatnya merasa ruangan itu kurang sempurna.
Roki melihat sekeliling ruangan dengan tatapan tenangnya. Tidak banyak yang dia komentari, tapi matanya memperhatikan setiap sudut dengan detail, sebagaimana kebiasaannya.
“Kamu bisa duduk dulu, aku buatkan teh,” kata Marlina sembari berjalan ke dapur.
Roki duduk di sofa dengan tenang, membuka buku barunya dan mulai membaca halaman pertama. Waktu seolah berhenti sejenak. Hanya terdengar suara hujan di luar yang jatuh dengan ritme lembut di atap rumah Marlina.
Tak lama kemudian, Marlina kembali dengan dua cangkir teh hangat. Dia duduk di seberang Roki, menyodorkan cangkirnya.
“Ini, biar hangat.”
Roki menerima cangkir itu dengan anggukan singkat, tidak banyak bicara. Mereka berdua duduk diam dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara hujan dan bau teh hangat yang mengisi ruangan. Sesekali, Marlina mencuri pandang ke arah Roki, tetapi lelaki itu tetap tenang, tampak larut dalam pikirannya.
“Kamu pernah berpikir,” Marlina akhirnya membuka suara, “gimana jadinya kalo hidup ini tidak ada masalah?”
Roki menatapnya sejenak, lalu kembali menyesap tehnya. “Hidup itu penuh masalah, tapi kalau kita punya logika yang kuat, semuanya bisa dipecahkan.”
Marlina tersenyum tipis. “Kamu selalu begitu ya, melihat semuanya dari sisi logika?”
“Logika selalu membantu. Perasaan kadang bikin kita kehilangan arah,” jawab Roki datar.
“Tapi kadang perasaan juga penting, kan?” Marlina menatap Roki dengan lembut. “Mungkin bukan untuk memecahkan masalah, tapi untuk membuat kita lebih mengerti diri kita sendiri dan orang lain.”
Roki terdiam. Mungkin ada benarnya juga, tapi dia jarang memikirkan hal seperti itu. Dia lebih suka berfokus pada hal-hal yang bisa dia kontrol dan atur dengan akal.
Saat mereka terus berbicara, suasana di antara mereka perlahan berubah. Meski percakapan masih ringan, ada kehangatan yang mulai tumbuh. Marlina, dengan caranya yang lembut, seolah membuat Roki sedikit lebih terbuka meski tak banyak yang berubah dari ekspresinya.
Waktu berlalu begitu saja. Hujan di luar masih belum reda, tapi Marlina tampak tidak terganggu. Malah, dia tampak menikmati momen ini, duduk bersama Roki dalam keheningan yang nyaman.
“Sepertinya hujan tidak akan berhenti cepat,” kata Marlina sambil melihat ke luar jendela. “Tapi kalau kamu mau pulang, aku bisa pinjamkan payung.”
Roki menatap jendela, hujan memang masih deras. Dia tidak ingin merepotkan Marlina lebih lama, jadi dia mengangguk.
“Boleh,” jawabnya singkat.
Marlina mengeluarkan payung dan menyerahkannya ke Roki. “Kembalikan kapan-kapan saja.”
“Terima kasih.” Roki berdiri, bersiap untuk pulang. Sebelum membuka pintu, dia menoleh kembali ke Marlina, “Sampai ketemu.”
Marlina hanya tersenyum. “Sampai ketemu.”
Roki keluar dari rumah Marlina, berjalan di bawah payung di tengah hujan deras, menuju apartemennya. Di balik wajahnya yang datar, ada sesuatu yang terasa berbeda—mungkin karena percakapan tadi, atau mungkin karena Marlina. Namun, seperti biasa, Roki memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Baginya, hari itu hanyalah salah satu dari sekian banyak hari yang ia jalani dengan tenanang.