Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Zidan baru saja melangkah masuk ke ruang guru setelah selesai dari ruang BK. Baru saja ia akan duduk, Pak Rizal memanggilnya dengan suara yang terdengar agak ragu.
“Eh, Pak Zidan, maaf tiba-tiba saya minta tolong seperti ini,” kata Pak Rizal sambil mendekat. "Apa mulai hari ini Bapak bisa menggantikan saya mengawasi bimbingan belajar malam hari untuk kelas dua belas?
Zidan terdiam sejenak, memikirkan permintaan itu, sementara Pak Rizal menjelaskan lagi, “Maaf banget ya, saya minta tolong dua hari saja pak. Saya ada keperluan keluarga, jadi sementara waktu ini agak sulit kalau harus lembur.”
Zidan mengangguk “Baik, Pak. Saya mengerti,” jawabnya tegas.
Pak Rizal tersenyum lega. “Terima kasih banyak Pak Zidan, karena bersedia membantu.”
Namun, sebelum Zidan sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara antusias Pak Bakri yang menyela, “Eh, Pak Zidan, kalau kamu naik gunung, rasa lelah akibat lembur bisa hilang, loh!”
Zidan mengangguk refleks, sambil menjawab ucapan terima kasih Pak Rizal, “Iya Pak, tentu.”
Pak Rizal tersenyum puas mendengar kesediaan Zidan, sementara Pak Bakri menepuk pundaknya dengan riang. Tampaknya, Pak Bakri juga cukup puas dengan jawaban itu.
Beberapa saat kemudian, Zidan terdiam, otaknya mulai mencerna apa yang baru saja terjadi. Tunggu… naik gunung?! Zidan perlahan menoleh kearah samping pundaknya yang di tepuk, matanya membelalak sempurna, seketika Wajah Zidan langsung berubah pucat, baru sadar bahwa tanpa sengaja ia sudah menyetujui ajakan Pak Bakri, ajakan yang dari tadi berusaha ia hindari.
Dia menghela napas panjang, merutuki dirinya sendiri. Aduh, gimana caranya menghindar sekarang?
Melihat ekspresi Zidan, Pak Rizal tertawa kecil, sambil mencoba terdengar meyakinkan. “Haha… cobalah sekali-kali Pak Zidan. Naik gunung itu nggak buruk-buruk amat kok,” ucapnya, meski dalam hatinya dia tahu betul betapa melelahkan pengalaman itu. Ia sendiri pernah ikut sekali bersama Pak Bakri dan hampir menyerah di tengah jalan.
Zidan menatap Pak Rizal dengan penuh keraguan, tapi Pak Bakri, yang berdiri di samping, langsung menepuk pundaknya dengan semangat. “Nah, itu dia! Udah setuju, ya, Pak Zidan! Kalau begitu besok kita tentukan jadwalnya, pokoknya weekend ini kita berangkat."
Zidan tersenyum kaku, tak bisa lagi mengelak. Dalam hati, ia mulai merutuki kenapa tadi tidak lebih teliti saat menjawab. Sementara Pak Rizal menahan tawa, teringat betapa susah payahnya ia bertahan saat mendaki bersama Pak Bakri dulu.
ya sudah kalau begitu saya pulang duluan ya pak Zidan, maaf sudah merepotkan, dan selamat bersenang-senang saat weekend nanti. Kata pak Rizal terkikik
"Iya Pak Zidan, anak muda itu harus semangat, hehe! Selamat lembur yaa. Weekend nanti jangan lupa refreshing kita, poko'e semangat teros. Daaah, saya duluan!" pamit Pak Bakri dengan riang.
Zidan mendesah pasrah, masih duduk termenung di ruang guru, memikirkan bagaimana ia harus menghadapi jadwal yang semakin padat. Tugas bimbingan malam, ajakan mendaki dari Pak Bakri, dan nasib kucingnya zahra yang mungkin akan sering ditinggal.
*
*
Di dalam kelas, Alana sedang melipat buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia melirik ke arah Zayn yang masih duduk di mejanya, tampak santai.
“Za, nggak pulang?” tanya Alana sambil berjalan ke arah pintu.
Zayn menoleh, “Ah, nggak dulu, aku masih ada piket hari ini,” jawabnya sambil kembali menatap meja.
Alana tersenyum, “Ooh, yaudah kalau gitu, selamat bekerja keras Za, aku duluan. Hati-hati ya, dadah!”
Zayn hanya mengangguk, menyaksikan Alana keluar kelas. Begitu pintu kelas tertutup, Zayn mendesah pelan. menyayangkan dalam hati, namun ia hanya bisa duduk di tempatnya, merasa sedikit kecewa karena tak bisa pulang bareng Alana.
setelah menutup pintu Alana berjalan melewati lorong kelas yang mulai sepi setelah bel pulang. Sesaat, ia berhenti untuk merapikan tas di bahunya. Ketika matanya melirik ke depan, ia melihat Zidan berdiri di dekat dinding lorong, bersandar santai sambil menatapnya dengan senyum.
"Kamu mau pulang, La?" tanya Zidan.
"Eh pak! Iya, saya baru mau pulang, sahut Alana. bapak kenapa masih di sini? Nggk pulang?
Oh aku memang sengaja menunggumu di sini, boleh minta waktumu sebentar La?
Alana mengangguk, hatinya bertanya-tanya, namun ia tetap mengikuti Zidan sampai ke teras depan bawah pohon tabebuya yang berbunga. Dan duduk di sana.
Zidan mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya menoleh ke arah Alana yang duduk di sebelahnya. Ia menggenggam bukunya kuning yang sejak tadi dibawanya sedikit lebih erat.
"La, aku mau nanya sesuatu," ucap Zidan dengan suara yang terdengar serius, pandangannya tetap tertuju ke Bukunya.
Alana menelan ludah, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Apa ini? Kenapa pak zidan tiba-tiba serius begini?
"Apakah... kamu suka sesuatu yang..." Zidan menggantungkan kata-katanya, terlihat ragu melanjutkan. "Sesuatu yang berambut hitam lembut, lucu, dan... selalu ingin diperhatikan?"
Alana mengerjap, wajahnya memanas. Apa ini? Apakah pak Zidan baru saja menyatakan perasaan padanya secara tidak langsung?
"Wah, kenapa tiba-tiba bapak nanya kayak gitu?" jawab Alana sambil tersenyum malu, matanya berusaha menghindari tatapan Zidan.
Zidan mengangkat alis, bingung melihat reaksi Alana. "Ya, aku cuma penasaran... Kamu suka, nggak?"
Alana mengangguk pelan, masih ragu-ragu. "Y-ya, suka..."
Zidan tersenyum lega. "Oh, syukurlah. Soalnya aku punya kucing hitam di rumah, dan aku lagi cari orang yang bisa bantu jagain. Aku bakal sibuk lembur beberapa hari, jadi nggak bisa merhatiin makannya. Kalau bisa, aku mau minta tolong sama kamu buat jagain. Rumah kita kan deket."
Alana terdiam, wajahnya memerah. Ternyata... tentang kucing! aduuh lagi-lagi aku mengharapkan sesuatu yang nggak mungkin!
"Gimana, La? Bisa nggak? Kamu nggak ada alergi bulu kucing, kan? Atau mungkin sibuk?" tanya Zidan lagi.
"Ah... nggak kok! Bisa, Aku bisa jagainnya," sahut Alana cepat.
"Oke, jadi dia makan tepat jam tujuh, ya. Kucing itu sudah biasa dibatasi makannya, jadi kamu harus memberinya makan sesuai pola. Dan ini," Zidan menyerahkan sebuah buku kecil berwarna kuning, "di sini aku sudah menuliskan hal-hal penting lainnya."
Alana mengangguk, menerima buku itu dengan senyum mengembang. "Oke, siap, aku perhatikan."
"Oh iya, La, nanti kamu tinggal menuangkan makanan dan air saja. Kamu boleh main dulu sama dia, tapi hati-hati, biasanya kalau sama orang asing, dia suka mencakar," lanjut Zidan.
"Serius? Wah, terima kasih banyak, Pak!" sahut Alana penuh semangat.
Zidan tersenyum menatap Alana yang begitu antusias, tanpa menyadari rambutnya terjatuh ke depan, sedikit menutupi bibir manisnya. Dengan lembut, Zidan menyentuh rambut itu dan menyelipkannya di balik telinga Alana.
Alana terpaku sejenak, wajahnya langsung memanas, dan hatinya berdebar kencang. Sentuhan Zidan yang tak terduga membuatnya merasakan getaran yang aneh, namun menyenangkan. Ia hanya bisa menatap Zidan dengan kikuk, sambil mencoba menyembunyikan senyum malu yang perlahan muncul di wajahnya.
Zidan tersenyum kecil. "Aku yang makasih banyak, La. Kamu udah bersedia bantu aku buat jagainnya. Yaudah, aku nggak ganggu kamu lagi kalau Mau pulang. Aku masih ada yang harus dikerjain. Daaah, Alana."
Alana masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Zidan yang perlahan menjauh. Seketika, ia sadar akan senyum di bibirnya yang tak kunjung hilang, dan menyentuh rambutnya yang baru saja disentuh Zidan.