Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan Kenneth dan Calista
Setelah Calista pergi, Kenneth duduk di tepi tempat tidur, mengacak-acak rambutnya yang berantakan. Rasa frustrasi menghimpit dadanya. Ia merasa bodoh karena telah menuruti ajakan teman-teman gila yang memaksanya untuk pergi ke klub malam itu. Harusnya ia bisa menolak, tetapi malam itu, ia terjebak dalam suasana yang menggoda, dan keputusan untuk ikut serta seolah menjadi pilihan yang tampaknya menyenangkan saat itu. Kini, semua terasa hancur.
"Kenapa aku bisa sebodoh ini?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya serak. Setiap kali ia mencoba untuk tenang, bayangan Calista yang tertegun dan penuh rasa takut muncul di benaknya. Ia tidak hanya mengkhianati dirinya sendiri, tetapi juga seorang perempuan yang kini membawa beban yang berat. Kenneth merasakannya seperti belenggu di hatinya, sesuatu yang terus mengikat dan tak bisa ia lepaskan.
Selama perjalanan pulang, Calista hanya bisa terdiam, menatap kosong jalanan yang berlalu. Otaknya berputar-putar, berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika benar dia hamil, itu artinya dia akan mengecewakan banyak orang, termasuk orang tuanya, teman-temannya, dan dirinya sendiri. Ia tak pernah membayangkan situasi ini akan menimpa dirinya. Kalimat "jaga mahkota" yang sering dia dengar dari ibunya kini berputar-putar di pikirannya, membuat hatinya semakin tertekan.
Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi ia cepat-cepat menghapusnya dengan tangan. Calista merasa sangat kotor sekarang. Tubuhnya seolah membawa beban malu yang tak bisa ia lepaskan. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia ingin menangis sepuasnya, merasakan semua kesedihan dan penyesalan yang menumpuk dalam dirinya. La jijik dengan tubuhnya sendiri, dan setiap gerakan terasa menyakitkan, terutama saat ia merasakan bekas ciuman Kenneth yang masih ada di lehernya. Ia bahkan tak berani bercermin, karena takut melihat bayangannya yang kini dianggapnya sangat hina.
Setelah beberapa saat terkurung dalam kesedihan, Calista diam-diam membuka media sosial milik Kenneth. Ia melihat profilnya dan memperhatikan beberapa unggahan yang menunjukkan bahwa Kenneth bukan orang jahat. Di banyak foto, ia terlihat bersama keluarganya, tersenyum dan tampak bahagia. Kenneth adalah seorang pengusaha muda yang sukses, tetapi saat ini semua itu tidak berarti bagi Calista. Rasa penyesalan dan kesedihan masih mengisi hatinya. Kenapa dia tidak lebih berhati-hati? Kenapa ia tidak bisa menolak ajakan teman-temannya?
Di sisi lain, Kenneth merasa terjebak dalam penyesalan yang mendalam. Setiap kali ia memikirkan Calista, rasa bersalahnya semakin dalam. “Aku sudah menghancurkan hidupnya,” pikirnya. Kenneth berusaha keras untuk memahami bagaimana ia bisa terjebak dalam situasi ini. Mungkin dia terlalu percaya diri, menganggap bahwa pergi ke klub malam adalah hal yang biasa dan tidak berbahaya. Ia hanya ingin bersenang-senang, tetapi kini semua itu terasa seperti mimpi buruk.
Ketika ia sampai di rumah, ia berusaha mencari cara untuk mengalihkan pikirannya. Namun, setiap sudut rumahnya mengingatkannya pada Calista. Ia membayangkan wajahnya yang pucat dan ketakutan saat mereka terbangun di pagi hari. Kenneth mencoba menghibur diri dengan berpikir bahwa mereka berdua tidak berniat untuk melakukan hal itu, tetapi pikiran tersebut hanya menambah rasa bersalah di hatinya. "Ini semua salahku," ucapnya lirih, meresapi perasaannya.
Keesokan harinya, Calista masih terkurung dalam kamarnya. Ia merasakan perutnya bergejolak, bukan karena lapar, tetapi karena rasa cemas dan takut yang menyelimutinya. Ia mengingat apa yang terjadi semalam, momen-momen yang seharusnya menjadi kenangan indah berubah menjadi mimpi buruk. Calista merasa terjebak dalam kegelapan, tak ada jalan keluar. Ia tahu bahwa jika orang tuanya mengetahui ini, mereka tidak akan memaafkannya. Ia mungkin akan diusir dari rumah, dan semua impian yang telah ia bangun akan hancur dalam sekejap.
Dengan berat hati, Calista memutuskan untuk menyimpan semua ini sendirian. Ia tidak ingin membebani sahabat-sahabatnya dengan masalahnya. Mereka sudah cukup memiliki masalah mereka sendiri. Satu-satunya pilihan adalah berjuang sendirian, meskipun terasa sangat menyakitkan.
Sementara itu, Kenneth merasa terpuruk. Ia berusaha mencari cara untuk bertanggung jawab. Ia mulai merencanakan untuk menghubungi Calista, berharap bisa mendiskusikan situasi mereka dan mencari solusi. Namun, setiap kali ia memikirkan untuk menghubunginya, rasa takut menyelimuti hatinya. Bagaimana jika Calista marah? Bagaimana jika dia tidak ingin bertemu lagi? Semua pertanyaan itu hanya menambah beban di pundaknya.
Dua minggu berlalu, dan Calista berusaha menjalani hari-harinya seolah semuanya baik-baik saja. Namun, setiap kali seseorang menanyakan kabarnya, ia hanya bisa tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Di dalam hatinya, ia merasa seperti penipu. Ia takut jika suatu saat kebenaran akan terungkap. Keberanian dan keteguhan hatinya diuji setiap hari. Dia harus berpura-pura kuat, meskipun dia merasa hancur.
Kenneth akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Calista. Ia mengirim pesan singkat yang penuh penyesalan dan tawaran untuk bertemu. “Calista, aku ingin minta maaf. Aku tahu ini semua salahku. Aku ingin bertanggung jawab. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan,” tulisnya dengan hati-hati. Namun, saat ia menekan tombol kirim, rasa takut kembali menghantuinya. Apa yang akan terjadi jika Calista menolak untuk bertemu?
Setelah beberapa jam menunggu, Calista akhirnya membalas pesan Kenneth. “Kita tidak perlu bertemu. Ini adalah kesalahan yang tidak akan pernah bisa kita perbaiki. Aku ingin melupakan semuanya,” tulisnya. Kenneth merasa hatinya hancur membaca balasan itu. Dia berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki segalanya, tetapi sekarang semua harapannya sirna.
Malam itu, Kenneth duduk di teras rumahnya, merenungkan semua yang telah terjadi. Dia ingin mengubah keadaan, tetapi semua terasa sia-sia. Rasa bersalah menyelimuti pikirannya, dan ia tidak bisa menemukan cara untuk melepaskan diri dari perasaan ini. Di dalam hati, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia harus bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukannya, dan ia akan melakukannya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi konsekuensi yang berat.
Di sisi lain, Calista merasa sangat kesepian. Meski ia berusaha menyembunyikan semuanya, rasa sakit itu terus menghantuinya. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari semua masalah, tetapi awal dari sesuatu yang lebih menakutkan. Keputusan untuk tidak memberi tahu siapa pun adalah keputusan yang sulit, tetapi ia merasa tidak ada pilihan lain. Ia harus menghadapi ini sendirian, meskipun hati dan pikirannya terus berperang.
Penyesalan menjadi bagian dari hidup mereka berdua. Kenneth dan Calista mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke keadaan sebelumnya, tetapi mereka berdua harus belajar dari kesalahan itu. Penyesalan adalah guru yang paling berat, tetapi terkadang, itu juga bisa menjadi titik awal untuk perbaikan.