Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manipulasi Media
Ketegangan terus meningkat saat aparat keamanan semakin mendesak maju, mendorong barisan mahasiswa dengan tameng dan pentungan. Teriakan dari kedua belah pihak saling bersahutan. Di tengah kekacauan itu, Haki berusaha keras menjaga ketenangan barisan mahasiswa di depannya, namun ia tahu bahwa kesabaran massa mulai mencapai batas.
“Kita nggak boleh kalah di sini!” Haki berteriak sambil mencoba menahan mahasiswa yang mulai terpancing amarah. “Mereka ingin kita bikin kerusuhan, tapi kita harus tetap damai!”
Namun, situasi semakin sulit dikendalikan. Seorang mahasiswa di barisan belakang terjatuh saat aparat mendorongnya dengan tameng, membuat beberapa mahasiswa lainnya mulai membalas dengan melemparkan botol air dan benda-benda lain ke arah aparat. “Jangan balas serangan mereka!” teriak Yudi dengan suara serak, berusaha mengingatkan teman-temannya.
Luvi, yang terus merekam, menyadari bahwa ini adalah momen kritis. Kamera kecilnya bergetar di tangannya saat ia mencoba mendokumentasikan setiap detik dari peristiwa itu. “Ini nggak boleh lepas kendali,” bisiknya, berharap situasi bisa kembali tenang.
Namun, tiba-tiba, bunyi letupan keras terdengar dari arah barisan aparat. Gas air mata ditembakkan ke arah mahasiswa, dan kepanikan segera menyebar di antara mereka. Asap tebal mulai memenuhi udara, memaksa mahasiswa untuk mundur sambil terbatuk-batuk dan menggosok mata mereka yang terasa perih.
“Gas air mata! Mundur! Semua mundur!” teriak Haki dengan suara keras, mencoba mengendalikan situasi. Namun, kepanikan sudah melanda. Mahasiswa berlari ke segala arah, berusaha menghindari asap tebal yang menyesakkan dada mereka.
Luvi, yang terkena gas air mata, jatuh berlutut di tanah sambil batuk keras. Matanya terasa terbakar, dan dia berusaha keras untuk bernapas. Di tengah kepanikannya, dia meraba-raba kamera kecilnya, memastikan bahwa rekaman terus berjalan. Di balik rasa sakit dan kepanikan, Luvi tahu bahwa dokumentasi ini adalah bukti penting yang bisa mereka gunakan untuk melawan balik.
Dito, yang berada di barisan belakang, segera menarik Luvi berdiri. “Kita harus keluar dari sini! Mereka nggak akan berhenti sampai kita semua mundur!” serunya sambil membimbing Luvi menjauh dari barisan depan.
Sementara itu, Yudi dan beberapa mahasiswa Teknik berusaha menahan barisan aparat yang terus mendesak maju. Mereka membentuk barikade sementara dengan tubuh mereka sendiri, melindungi mahasiswa-mahasiswa lain yang masih panik. “Kita nggak boleh menyerah!” teriak Yudi, meskipun ia tahu bahwa mereka sudah kalah jumlah dan kekuatan.
Di tengah kekacauan, Haki melihat salah seorang mahasiswa di dekatnya terjatuh dan dikerumuni oleh aparat. Tanpa berpikir panjang, Haki berlari menuju mahasiswa itu, mencoba menariknya keluar dari kerumunan aparat yang mulai memukulinya. Namun, sebelum ia sempat menarik mahasiswa itu, Haki sendiri terkena pukulan keras di punggung, membuatnya terjatuh di atas aspal.
“Jangan serang dia!” teriak Haki, tapi suaranya tenggelam di tengah suara benturan dan teriakan. Rasa sakit menyebar di punggungnya, namun ia terus berusaha bangkit dan menarik mahasiswa itu keluar dari kerumunan. Dengan bantuan Yudi, mereka berhasil mengangkat mahasiswa itu dan membawanya menjauh dari barisan aparat.
“Lo baik-baik aja?” tanya Yudi dengan napas tersengal-sengal, melihat luka di tubuh Haki.
Haki mengangguk, meskipun rasa sakit masih terasa jelas di tubuhnya. “Kita nggak boleh biarin mereka menang.”
Di sisi lain, Mayuji yang melihat kekacauan ini segera menghubungi beberapa pengacara yang telah siap sedia untuk situasi seperti ini. “Mereka udah mulai menyerang mahasiswa. Kita harus siap untuk bertindak secara legal,” katanya dengan nada tegas, meskipun di dalam hatinya ia merasa takut bahwa aksi damai ini sudah mulai lepas kendali.
Asap gas air mata semakin tebal, dan mahasiswa yang tersisa mulai mundur. Beberapa di antara mereka terlihat lemas, sebagian lainnya mencoba menahan air mata sambil terus berteriak menuntut kebebasan. Namun, satu hal jelas—mereka tidak akan menyerah. Meskipun tubuh mereka dipukul mundur, semangat mereka tetap hidup.
“Ini belum selesai,” gumam Haki sambil menatap ke arah barisan aparat yang masih berdiri dengan tameng dan pentungan mereka. “Mereka mungkin bisa menyerang kita, tapi kita bakal terus berjuang.”
Di dalam benaknya, Haki tahu bahwa ini adalah titik kritis dalam perjuangan mereka. Aksi damai ini mungkin sudah berakhir dengan kekerasan, tapi perlawanan mereka baru saja dimulai. Di tengah kabut gas air mata dan kekacauan, satu hal tetap jelas bagi mereka semua—mereka tidak akan mundur. Perlawanan ini adalah tentang sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar protes. Ini tentang kebebasan, hak, dan masa depan yang lebih baik.
---
Keesokan harinya, suasana kampus tampak jauh berbeda. Berita tentang bentrokan besar-besaran antara mahasiswa dan aparat keamanan tersebar di seluruh negeri. Media pemerintah, seperti yang sudah diperkirakan, menggambarkan mahasiswa sebagai biang kerusuhan, menyebut aksi tersebut sebagai perusakan ketertiban publik. Di layar televisi, berita-berita menyebutkan bahwa mahasiswa lah yang memulai kekacauan dan menyerang aparat.
“Ini semua bohong!” seru Haki, menatap layar televisi di kantin kampus dengan amarah. “Mereka muter balikkan fakta.”
Dito yang duduk di sebelahnya menundukkan kepala. “Gue udah duga ini bakal terjadi. Media mereka dikendalikan penuh oleh pemerintah. Mereka bakal bikin kita kelihatan jahat.”
Luvi, yang sedang mengedit rekaman-rekaman yang dia ambil saat aksi, tampak tenang namun fokus. “Gue masih punya bukti. Semua rekaman ini bisa kita pake buat ngelawan balik. Kita bisa tunjukin ke orang-orang apa yang sebenernya terjadi.”
Di luar sana, situasi semakin sulit. Banyak mahasiswa yang ditangkap selama bentrokan, dan beberapa di antaranya mengalami luka serius akibat kekerasan aparat. Wajah-wajah penuh luka dari mahasiswa-mahasiswa itu mulai tersebar di media sosial, tapi pemerintah berusaha keras untuk mengendalikan narasi. Mereka terus menyebut aksi mahasiswa sebagai upaya pemberontakan dan berusaha menggiring opini publik ke arah yang negatif.
“Kita harus sebarin fakta yang sebenarnya,” kata Yudi sambil menatap layar ponselnya, melihat komentar-komentar negatif tentang aksi mereka. “Kalau kita nggak bertindak cepat, mereka bakal terus bikin kita kelihatan buruk di mata publik.”
Mayuji yang duduk di sudut ruangan sambil memeriksa dokumen-dokumen hukum, mengangguk setuju. “Gue udah hubungin beberapa pengacara yang bisa bantu mahasiswa-mahasiswa yang ditangkap. Kita harus buat ini jadi isu legal, bukan sekedar aksi protes di jalan.”
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini, mereka berlima menyadari bahwa gerakan mereka kini berada di persimpangan. Mereka tidak bisa lagi hanya bergerak di jalanan, karena pemerintah memiliki kekuatan penuh di ranah itu. Mereka harus memanfaatkan media sosial, hukum, dan segala cara yang ada untuk melawan balik.
Haki, yang masih merasakan rasa sakit di punggungnya akibat dipukul aparat, mengangguk pelan. “Kita nggak boleh menyerah sekarang. Mereka mungkin bisa menyebar kebohongan, tapi kita punya bukti. Kalau kita bisa nyebarin ini ke publik, orang-orang bakal tahu kebenarannya.”
Luvi langsung menyela. “Gue bakal mulai unggah rekaman yang gue ambil kemarin. Kita bisa pastiin kalau orang-orang liat apa yang bener-bener terjadi.”
Dito tersenyum tipis, meskipun kelelahan jelas terpancar di wajahnya. “Gue udah siapin beberapa akun cadangan. Kalau pemerintah nyoba blokir lagi, kita masih bisa sebarin konten dari akun-akun itu.”
Mereka berlima tahu bahwa ini adalah momen kritis. Setelah aksi yang berakhir dengan bentrokan, mereka harus bergerak dengan lebih cerdas dan terorganisir. Pemerintah mungkin memiliki kekuasaan di media mainstream, tapi mereka masih memiliki media sosial, jalur hukum, dan dukungan dari mahasiswa-mahasiswa lain yang sepikiran.
---