Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ¹⁵
Gio berlari menuju pintu rumah sambil meneriakkan nama Darmi dengan lantang seolah dia tak ingin kehilangan satu-satunya objek kemarahan dan sumber jawaban walau perutnya berguncang tak karuan.
“Darmi... Darmi...” Di depan rumah dia menatap garang sembarang arah, mencari-cari jawab ke mana perginya Bibi Darmi sekarang. “Wanita bau tanah itu pasti di warung depan rumah!”
Agaknya kehormatan usia perempuan paruh baya itu sudah hilang di mata Gio. Kemarahan meledak-ledak di riwayat hidupnya yang kacau saat ini, dan semuanya lebih aneh ketika penolakan mendadak dari pagar gaib—pagar tak kasat mata—membuatnya terpental.
Gio bermuka heran setelah kejadian yang menimpanya, apa-apa ini, mungkin begitu kiranya isi batinnya saat ini. Tidak manusiawi.
Tenggorokannya tercekat rapat, lumpuh oleh keanehan yang terjadi bahkan ketika dia mulai berusaha menerobos pagar tak kasat mata itu lagi, tubuhnya berkali-kali terpental sampai pemilik warung di depan rumahnya heran.
“Kenapa, Mas?” teriaknya dari jauh sambil memakai sendal.
Gio memandangi gas biru yang tertinggal di halaman rumah, hatinya mengeras.
“Darmi tahu sesuatu, Darmi tau kenapa ada kambing sialan itu!” Tangannya mengepal, Gio memukul-mukul tanah dengan berang sampai pemilik warung itu tambah heran dengan tingkahnya yang aneh.
“Mas... Mas kenapa?” teriaknya sambil menimbang-nimbang cara untuk masuk ke dalam tanpa mencelakai dirinya sendiri setelah melihat bagaimana Gio mengamuk, membanting gas biru itu seolah membanting kambing dan memaki-makinya seperti orang kesurupan.
Pemilik warung itu pun menoleh ke kanan-kiri, bingung, membantu atau cari kawan dulu.
“Mas... mas... ada yang bisa di bantu?” ucapnya resah.
Gio tak mendengar, kedatangan pria itu pun baginya hanya buih yang tak mengganggu. Tak dia gubris bahkan tak dia lihat. Gio sibuk pada dunianya yang aneh, janggal dan memuakkan.
“Awas kamu Darmi. Awas kamu!” Gio mengecam tindakan itu seraya pergi ke dalam rumah. Mengecek kondisi Mona, berharap dia akan baik-baik saja dan sikap agresifnya mereda, naas langkahnya berhenti seketika dengan mata yang mendelik tajam. Isi perutnya kembali bergejolak sampai tenggorokan.
Mona menyantap gulai kepala kambing itu dengan lahap sambil memegangi kedua tanduknya. Mulutnya di penuhi kuah gulai merah, sebagian kuah itu menetes di baju dan lengannya.
Mona tersenyum sambil memandangi suaminya, giginya merah, dan dengan konyolnya dia menawarkan kepala kambing itu dengan menghampirinya.
“Ayo makan, Mas.”
Gio menggelengkan kepala sambil menjauh. Jijik bukan main rasanya melihat kepala kambing itu dan dia benci jika harus memakannya.
“Ini enak, Mas. Bumbunya terasa.” Mata kosong Mona menatap Gio dengan senang. Tangannya terulur untuk menyerahkan gulai kepala kambing itu sambil meyakinkannya bahwa gulai itu enak. Sesekali Mona mengigit bagian kambing itu, entah kuping atau dagingnya yang tak seberapa.
Gio menjauh, wajahnya tidak lagi marah dan dia bersedia mengesampingkan Bibi Darmi untuk menganggap Mona sedang kumat.
“Jangan membujukku, Mona. Aku tidak suka kepala kambing!” Gio memperingatkan.
Mona menatapnya seolah-olah Gio kehilangan akal sehat. “Kenapa kamu tidak suka, Mas? Apa gara-gara giginya kelihatan?”
Mona memanyunkan bibirnya sambil menatap moncong kambing itu. Dia meringis geli, dan semuanya semakin mengerikan saat dia menciumnya.
Gio tak tahan melihat kegilaan Mona, dia terbirit-birit ke kamar seraya memuntahkan isi perutnya yang belum terisi penuh makanan pokok sejak pagi di wastafel.
Rasa pahit tertinggal di lidah dan tenggorokan, Gio menatap cermin. Matanya merah, jiwanya terguncang. Dia tak mengerti bagaimana hal-hal tadi bisa terjadi dan satu-satunya penjelasan yang dapat dia simpulkan dari gosip murahan yang tersebar di kantor tentang tumbal di pabrik mebel, tas dan rambut palsu milik keluarga Condro Wongso adalah benar.
Sedikit terlambat mengetahui? Gio merasa perkiraan itu seperti penghiburan kecil yang menamparnya bertubi-tubi.
“Mereka pemain ilmu hitam?” Gio terkesima, betapa mulus rahasia itu tertutup dari dirinya. Betapa bodoh dirinya menyangkal reputasi gila keluarga Condro Wongso yang bergelimang harta dan berbaik hati selama itu.
“Sepuluh tahun bangsat. Sepuluh tahun aku gak tahu akar keluarga Miranda!”
Pintu kamar di ketuk dari luar. Gio menoleh dengan gusar sekaligus frustasi. Mona mengetahui keberadaannya. Ada rasa takut bergerak dari sana.
“Kalo benar mereka pemain, jadi mimpi buruk ini dalangnya Miranda?” Perkiraan-perkiraan itu masih skeptis di kepala, terjebak dalam kebaikan, kesenangan, keintiman dan kenangannya bersama Miranda. Dan saat kebenaran telah tiba, ikatan sakral dan keji yang terbentuk antara dirinya dan Miranda mungkin akan hancur berantakan dan tak terlupakan.
“Mas Gio...”
Dalam beberapa detik, sekujur tubuh Gio merinding mendengar namanya di sebut dengan nada merayu seperti malam kepulangannya ke rumah itu sebelum terjadinya babak pertama yang terhindarkan lagi.
“Aku mungkin kawin dengan setan yang menyerupai Mona sementara Mona malam itu di teror tiruan Bibi Darmi di bawah?” Teka-teki itu terkoneksi, Gio yakin kengerian itu benar. Tangannya terasa menjadi lebih dingin seolah-olah oksigen di kamar mandi itu menipis.
“Mas Gio... Mas Gio.”
Suaranya terasa di dekat telinga, Gio menutup keduanya secepat mungkin sambil menelan ludah.
“Mungkin Mona kesurupan lagi. Dan ini karena Miranda cemburu buta!” Ada secuil perasaan senang yang hinggap di hatinya, cemburu kan tandanya cinta, tapi sejurus kemudian, dicintai wanita pemilik ilmu hitam agaknya bukan suatu kesenangan yang didambakan atau dirindukan.
Gio menghela napas. Rasa mual telah hilang, tergantikan oleh sakit hati dan kelegaan tak sempurna.
“Jadi perselingkuhanku ini gak benar-benar salah? Miranda yang salah, hidupnya salah besar.”
Pintu terpentang dengan kasar seolah Mona mendobraknya. Gio berbalik dan mengambil sikap waspada.
“Aku bisa menyerangnya, tapi gimana dengan Mona yang asli?”
“Mas Gio sayang.” Mona menarik selimut di ranjang seolah guling yang ada di sana adalah Gio yang bersembunyi. “Mas di mana?”
Matanya pindah ke pintu kamar mandi tepat ketika suara keran menyala.
“Kamu di situ ya?” Dengan riang Mona melangkah dan membuka pintu kamar.
Gio bersiap, dan sewaktu tubuhnya terlihat, alangkah sunyi dunia Mona setelah Gio memukul kepalanya dari balik pintu.
“Aku minta maaf, Mona. Aku terpaksa. Ini demi kebaikan kita!” Gio membaringkannya di ranjang. Meski jijik, dia berusaha membersihkan kuah gulai kepala kambing dari mulut dan tangannya dengan selimut.
“Kita nggak bisa keluar dari rumah ini, kemungkinan Miranda dan Pak Condro sudah kirim ilmu hitam ke sini. Kita dalam bahaya.”
Sejenak, Gio mengamatinya sebelum mengambil ikat pinggang dan tali baju di lemari.
“Aku harap kamu gak salah paham aku ikat begini, Mona. Kamu belum stabil dan kelemahanmu gampang diperdaya!”
Penyesalan agaknya belum ada di benak Gio, dari aktivitasnya sekarang, dia justru berusaha menelepon seseorang yang dapat membantunya.
Gio tercenung. Mungkinkah pagar gaib itu juga bisa menahan sinyal telekomunikasi?
-
next
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.