Binar di wajah cantik Adhisty pudar ketika ia mendapati bahwa suaminya yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya ternyata memiliki istri lain selain dirinya.
Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan tersebut di lakukan hanya karena untuk menjadikannya sebagai ibu pengganti yang akan mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn, suaminya, dan juga madunya Salwa, karena Salwa tidak bisa mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn.
Dalam kurun waktu satu tahun, Adhisty harus bisa mmeberikan keturunan untuk Zayn. Dan saat itu ia harus merelakan anaknya dan pergi dari hidup Zayn sesuai dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh ayah Adhisty tanpa sepengetahuan Adhisty.
Adhisty merasa terjebak, ia bahkan rela memutuskan kekasihnya hanya demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pria pilihan mereka. Karena menurutnya pria pilihan orang tuanya pasti yang terbaik.
Tapi, nyatanya? Ia hanya di jadikan alat sebagai ibu pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Dengar! Bagaimanapun kau berstatus sebagai istriku, meskipun pada akhirnya kita akan berpisah setelah kau melahirkan anak untukku nanti. Tapi, selama kamu masih menyandang status itu, jaga sikapmu! Jangan jadi murahan! Jangan mau di sentuh sembarangan oleh pria lain!" ucap Zayn ketika dokter sudah pamit dengan ketakutan, karena kemarahan Zayn. Pria itu memang tidak suka apa yang menjadi miliknya di sentuh oleh orang lain.
Adhisty memutar bola matanya malas,"Bukankah kau yang mengirimnya untuk memeriksaku? Lalu kenapa kau marah? Dia hanya melakukan tugasnya sebagai dokter untuk memeriksaku. Untung cuma perut, padahal aku ingin dia juga memeriksa bawah perut yang kamu buat terluka," ujarnya. Yang tentu saja ucapannya itu memancing amarah Zayn.
" Apa? Kenapa marah? Bukankah kau hanya akan menyentuhku sekali jika aku langsung hamil anakmu dan mbak Salwa? Lalu kenapa marah? Jangan bertindak seolah aku benar-benar milikmu. Kecuali kalau kau sedang cemburu?" Adhisty langsung menancapkan panah kepada Zayn.
"Jaga mulutmu! Aku tidak mau mengundang kesalah pahaman atas ucapanmu itu! Kau di sini di bayar mahal, jadi bersikaplah sopan,," peringat Zayn tak kalah sengit.
Rasanya percuma Zayn buru-buru pulang untuk memastikan kondisi Adhisty yang ternyata tak seburuk yang ia pikirkan. Buktinya, wanita itu masih bisa melawan ucapannya.
Zayn memutuskan kembali ke kantor," Salwa kemana, bi?" tanya Zayn pada salah satu pembantunya yang ia temui.
"Nyonya keluar, tuan. Bibi tidak tahu kemana, tuan mau makan siang di rumah? Biar bibi siapkan," ujar bibi.
"Tidak, saya akan kembali ke kantor. Pastikan anak itu makan dan meminum obatnya," ucap Zayn.
Bibi melihat ke lantai atas, "Baik tuan," ucapnya kemudian.
Di mobil, Zayn kembali teringat sikap refleksnya tadi yang membentak dokter pribadinya. Padahal, dokter hanya melakukan tugasnyas seperti yang Adhisty katakan tadi.
"Ck, gadis itu. Bisa-bisanya dia menuduhku cemburu?" gumamnya bedecak. Sejurus kemudian, ia mengusap wajahnya kasar.
Tiba-tiba saja, ia ingat percintaannya semalam dengan Adhisty. Rasanya sangat luar biasa. Berbeda dengan Salwa, bahkan ia bukanlah menjadi yang pertama saat melakukan malam pertama mereka dulu.
Zayn kembali mengusap wajahnya kasar, menghela napasnya pelan untuk mengembalikan kesadarannya.
.
.
.
Ini adalah hari ketiga Adhisty sakit. Dan selama itu pula ia mengurung diri di kamar. Berbagai alasan ia utarakan untuk menolak makan di meja makan.
Selama itu pula Zayn tak pernah lagi menemuinya. Tapi, dia diam-diam melihat gadis itu tengah malam dari celah pintu yang ia buka sedikit.
Di hari keempat ini, Zayn kembali tak mendapati Adhisty di meja makan saat ia bergabung dengan Salwa di meja makan. Tapi, ia tak peduli.
"Bi, apa Adhisty belum sembuh? Coba tolong panggilkan, biar kita sarapan bersama, biar dia tidak kebiasaan makan di kamar, biar nggak manja," ucap Salwa, lembut tapi tajam.
"Baik, nyonya!" sahut bibi.
"Tidak perlu bi, aku udah di sini," ujar Adhisty yang tiba-tiba sudah berada di sana.
"Syukurlah kalau kamu udah sehat, ayo sarapan di sini! Kamu harus makan banyak, Dhisty biar sehat dan cepat hamil," ucap Salwa.
"Nggak mbak, aku nanti makan di kantin kampus aja," sahut Adhisty. Di lihat dari penampilannya, memang ia sudah rapi dan membawa tasnya. Hari ini ia akan kembali kuliah setelah dua minggu libur semester.
"Kamu kuliah?" tanya Salwa.
"Iya, nggak ada perjanjian antara mbak sama ayah yang melarang aku tetap kuliah, kan? Kalau ada dan itu bisa buat ayahku di penjara, aku nggak akan jadi berangkat," kata Adhisty.
"Berangkatlah!" bukan Salwa yang menyahut, melainkan Zayn.
Adhisty menatap suaminya tersebut, apakah ia harus pamit dengan menyalami tangan dan menicumnya layaknya istri sungguhan? Tidak, Adhisty memilih melenggang begitu saja melewati Zayn.
Tepat di belakang Zayn, pria itu menyodorkan sebuah kartu debit miliknya kepada Adhisty, "Walaupun kamu kerja di sini, statusmu tetap istriku. Ini nafkah buat kamu," ucap Zayn.
"Tidak perlu, bayaran dari kalian saja sudah lebih dari cukup!" tolak Adhisty.
Zayn tak peduli, ia menyelipkan kartu itu di tas Adhisty lalu melanjutkan makannya. Sementara Adhisty memilih melanjutkan langkahnya daripada harus berdebat soal kartu itu.
"Dhisty! Sekalian bareng sama Bang Zayn saja! Nanti pulangnya biar di jemput sopir!" seru Salwa.
Adhisty menghentikan langkahnya lalu menoleh, "Nggak perlu, aku biasa naik angkot. Aku kan di sini kerja buat kalian, nggak mau nyusahin siapa-siapa, termasuk dia!" Adhisty melirik Zayn.
"Dhisty, yang sopan kamu! Dia suami kamu, panggil dengan sopan!" tegur Salwa.
"Lebih tepat bos kali mbak, aku kan kerja buat kalian di sini. Maaf mbak, aku berangkat, assalamualaikum!" Adhisty melenggang pergi.
"Nggak sopan banget sih, aku aja nggak pernah begitu sama abang," gumam Salwa.
"Namanya juga abege, biarkan saja," sahut Zayn. Ia lalu menyudahi makannya dan berpamitan untuk berangkat kerja.
"Pak, saya bawa mobil sendiri!" ucap Zayn pada sopir. Ia naik salah satu mobilnya yanga ada di carport mobil kediamannya.
Melewati gerbang rumahnya yang menjulang tinggi, Zayn melihat Adhisty masih berdiri di tepi jalan, seperti gadis itu masih menunggu angkot.
"Ck, dia pikir di sini ada angkot ?" gumam Zayn. Ia pun melaju mendekati Adhisty. Bukannya menawarkan tumpangan, melainkan hanya melewatinya begitu saja.
Adhisty berdecak sebal saat menyadari mobil yang barusan lewat di depannya adalah mobil suaminya, "Emang dasar kulkas! Eh tidak, lebih mirip genderuwo, memyebalkan dan menyeramkan!" gerutunya.
Menunggu beberapa saat lamanya, ternyata memang tak ada angkot lewat, Adhisty terpaksa jalan hingga keluar komplek perumahan elit tersebut untuk mendapat angkot. Untung saja rumah Zayn tak begitu jauh dari perempatan jalan di luar komplek tersebut.
.
.
.
"Dhis, gimana rasanya nikah sama cowok ganteng dan kaya?" tanya seorang teman kuliah Adhisty yang mengetahui kalau Adhisty sudah menikah karena mereka berasal dari kampung yang sama, hanya beda RT saja.
Adhisty hanya tersenyum tipis menanggapinya, "Biasa aja. Mau sama pria ganteng atau tidak, kaya atau tidak, asal saling mencintai akan indah rasanya. Aku doain ya, semoga kamu cepat nyusul biar tahu rasanya menikah kayak gimana, aku duluan, ya Sis?" ucapnya tersenyum lalu pergi.
"Masa sih, ya pasti bedalah nikah sama yang ganteng dan jelek, dari sudut pandang mata aja udah pasri beda, yang satu seger di mata yang satunya pedes di mata. Dari segi dompet juga beda, yang dompet tebal bisa beki skincare sammpai tas mahal, lah kalau dompet kembang kempis? Bisa buat makan aja kayaknya udah syukur," gumam Siska.
Adhisty menghela napasnya setelah meninggalkan Teman sekampungnya tersebut. Beruntung Siska bukanlah gadis ember dan suka ghibah jadi berita pernikahannya tidak tersebar luas. Sebenarnya tidak masalah jika yang lainnya tahu, tidak ada larangan untuk mahasiswa menikah, tapi jika ingat ini hanya pernikahan kontrak dan Adhisty dianggap bekerja untuk menghasilkan anak, rasanya ia malu jika di ketahui oleh orang-orang lain.
Adhisty terus melangkah, ia baru saja selesai dengan mata kuliahnya yang terakhir hari ini. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia menyadari di depannya berdiri seseorang yang tak lain adalah mantan kekasihnya yang ia putuskan secara sepihak demi menuruti keinginan orang tuanya, yaitu Arka.
Sudah berada di depan mata, tak mungkin Adhisty menghindar. Pria itu tersenyum hangat kepadanya, seolah mereka masih menjalin hubungan dan tak ada masalah.
Arka berjalan mendekati Adhisty, "Dhisty," sapa Arka.
"Mas Arka," sahut Adhisty lirih.
"Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu," ucap Arka.
"Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Mas. Semuanya sudah jelas, diantara kita sudah tak ada hubungan apa-apa lagi, permisi!" Adhisty hendak pergi, Namun tangan kirinya di cekal oleh Arka.
"Tunggu Dhisty! Justru itu yang ingin aku tanyakan, kenapa kamu memutuskan hubungn kita sepihak? Apa aku ada salah? Katakan kalau memang aku ada salah, tapi jangan begini. Kita bicarakan baik-baik," ucap Arka.
"Lepas, mas! Aku ini istri orang sekarang, jangan kayak gini! Nggak enak di lihat orang," ujar Adhisty. Kedua matanya terasa menghangat, sekuatnya ia menahan supaya air matanya tak jatuh.
Degh!
"Maksud kamu apa, Dhisty? Jangan mencari-cari alasan yang tidak masuk akal begitu. Oke, aku memang tidak punya banyak waktu bersama kamu karena pekerjaanku, tapi selama ini kita baik-baik saja. Dan sekarang kau beralasan punya suami?" Arka tak terima dengan alasan Adhisty yang menurutnya konyol tersebut.
Adhisty mengangkat tangan kanannya ke depan muka Arka. Di sana terlihat jelas tersemat cincin pernikahannya dengan Zayn," Aku memang sudah menikah, mas. Cincin ini buktinya!" ucapnya bergetar, menahan sesak di dalam dadanya.
...----------------...