Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Hasil pemeriksaan kesehatan Indy sudah menemukan titik terang. Dokter mengemukakan bahwa kondisi Indy masih terhitung bukan pengidap namun sudah ada warning gejala. Di beberapa catatan, tim dokter menemukan hasil tes ada yang kurang dan melebihi rentang referensi tetapi masih dalam batas yang tidak terlalu signifikan.
Limfosit adalah sel efektor yang membantu melindungi tubuh dari perkembangan beberapa tumor. Sedangkan hasil Indy menunjukkan nilai lebih rendah dari kisaran referensi normal. Selain itu, hasil tes ditemukan indikasi peradangan yang terkait dengan sistem imun dan dialami sebagai respons terhadap paparan zat beracun. Ini baru hasil tes darah.
Adapun pada bagian paru-paru hasilnya cukup menyedot atensi tim dokter. Maka untuk bagian tersebut, masih butuh pemeriksaan lanjutan. Hasil ini belum dapat dikatakan Indy menderita penyakit apa, namun dia sudah masuk dalam kategori 'beresiko'.
Indy tercenung, di dalam kamar....
Ceklek.
"Kak Indy?" Rio mengerjap, mengucek mata guna memastikan yang dilihat betulan Indy. Tapi jika benar, ada hal apa Indy sampai berada di kamar Rio?
"Rio, maaf saya sudah lancang masuk-masuk ke kamar kamu." Ujar perempuan itu dengan tangan masih memegang hasil pemeriksaan dokter.
"Iya gak apa-apa kak. Apa ada yang kakak butuhkan disini?"
"Ada."
"Kalau begitu saya keluar dulu," Rio sudah memegang handle pintu.
"Huh, yang dibutuhkan malah keluar kamar. Saya ingin bertemu dengan mu Rio. Duduklah di sini."
Rio pun manut seraya melepaskan pegangannya pada gagang pintu lalu mendudukkan dirinya di ruang kosong yang ditepuk-tepuk Indy. Pada saat dia sudah berjarak dekat dengan perempuan tersebut, terbesit dalam benak Rio keinginan untuk membenarkan penampilannya yang masih berseragam sekolah. Pasti berantakan dan terlihat tidak rapi. Rio pun menyugar rambutnya.
"Rio, katakan bagaimana kamu bisa tahu kondisi saya sampai-sampai membuat racikan obat untuk saya konsumsi? tolong jawab yang jujur."
"Maksudnya?"
"Saya sangsi, anak sekolah seperti mu bisa memiliki keterampilan di luar biasanya. Kamu betul-betul keajaiban yang dikirimkan untuk saya, atau kamu sebenarnya bekerja di bawah tekanan seseorang? bisa saja kamu adalah orang suruhan Juni kan. Jujur, saya merasa kebingungan dengan semua ini."
Mendengar Indy berkeluh kesah, Rio menatap kedua obsidian Indy. Beralih memandang ke arah kertas yang ada di tangan Indy lalu beralih kembali menatap mata gadis tersebut. Rio sudah siap menjawab keresahan Indy. Kalau bisa, dia mau menyita kepercayaan Indy secara penuh.
Kebingungan akan sirna dengan penegasan.
"Saya punya buku ini kak," Rio mengambil buku usang yang sering dia baca dan menyerahkannya ke hadapan Indy. Seiring wanita di sampingnya tercurah pada buku milik Rio--memperhatikan dan mengebet halamannya--Rio mulai bercerita bagaimana ia bisa bertemu dengan buku tersebut.
Rio bercerita tentang masa lalunya saat berumur tujuh tahun. Dia bercerita soal pertemuan dengan paman misterius yang menjadikannya seperti ini.
Tidak hanya itu, Rio juga menegaskan masalah-masalah yang Indy alami tidak berkaitan dengan dirinya. Rio benar-benar orang lain yang masuk dan berada di pihak Indy tanpa khianat. Ibarat perumpamaan, Rio seperti kertas putih tanpa tulisan dan Indy sebagai pena yang menari-nari diatasnya. Segalanya tentang Indy sudah menjadi prioritas Rio.
Indy menundukkan kepala saat Rio bertekuk lutut di hadapan wanita tersebut.
"Boleh saya pegang tangannya?" pinta Rio.
"Buat apa? buat simetris?"
"Kalau tidak boleh juga tidak apa-apa." Rio tersenyum. Jika diperhatikan, kalimat Rio sudah jarang menggunakan panggilan kakak. Saran dari Dimas masuk dalam pertimbangannya.
"Nih ambil," seru Indy kemudian sambil menjulurkan kedua tangannya. Rio langsung menyambut tangan itu.
"Percaya sama saya, kalau saya bukan bagian dari penjahat-penjahat itu. Saya bahkan sudah menyiapkan ramuan jebakan untuk pelakor tersebut. Lihat saja saat dia datang kesini, saya pastikan dia mendapat pelajaran yang akan dia ingat selalu. Saya sudah menyiapkan senjatanya" Rio menyeringai. Indy tertegun dengan ucapan Rio yang penuh dendam.
"Kenapa kamu seyakin itu mau menjadi pelindung saya?"
"Karena..No-na adalah malaikat penolong saya. Tanpa adanya Nona Indy, saya tidak memiliki arah tujuan hidup."
Indy terganggu akan pernyataan Rio bahwa dia malaikat penolongnya. Sungguh, itu tidaklah benar. Indy pun gusar dengan panggilan kakak yang sudah hilang dari mulut adik kecilnya ini. Gadis itu melayangkan protes.
"Dek, kenapa kamu tidak panggil kakak?"
"Dek?" Rio bertanya balik. Ini kesempatan pas untuk mempertegas hubungan antara mereka. Tangan Indy sudah dingin gemetar. Fungsi tangan Rio di sana untuk menjaga kehangatan. Pemuda itu tahu, jika pembahasan sudah berat apalagi mengerucut ke masa lalu, Indy kembali cemas.
"I-ya Dek, emang kenapa? panggilan Dek buat kakak panggil ke adiknya kan? bu-bu-kan kah begitu?"
"Iya benar. Panggilan itu untuk kakak kepada adiknya, atau bisa juga untuk suami kepada istrinya. Saya bukan istrinya Nona Indy, betul kan? juga nama saya Rio Erlangga, bukan Ryuga. Kalau panggilan 'kakak' menjadikan Nona menganggap saya Ryuga, saya tidak akan menggunakan panggilan itu lagi."
Indy tercengang.
"Ryuga sudah tenang di sana. Dia ingin kakaknya bahagia di sini." Sambungnya, membuat Indy kian sulit berkata-kata.
"Apa maumu Rio? kenapa kamu seperti ini? aku tidak suka panggilan Nona dari mulut kamu."
"Aku?" Rio mengeryit.
Astaga, kenapa aku bisa jadi tidak seformal ini? bodo amat lah. Kata anak ini, biar tidak banyak pikiran, jangan terlalu dipikirkan apa yang kita lakukan. Asal bukan perbuatan yang merugikan orang lain.
"Aku suka kamu memanggilku kakak. Aku janji, tidak menganggap kamu sebagai Ryuga. Aku menganggap mu sebagai Rio."
"Baiklah, kak Indy. Aku Rio, dan aku bukan adikmu."
"I-ya Rio. Kamu bukan adikku."
Tangan Indy menghangat tanda ia berhasil mengusir bayang-bayang masa lalu. Rio senang Indy sedikit demi sedikit mau bangkit dari keterpurukan.
"Rio, apa bukti kalau kamu bukan adikku?"
Blam!
Seketika listrik padam. Rio yang bangkit ingin memeriksa panel listrik tiba-tiba gerakannya terhenti karena ditarik duduk kembali oleh Indy.
"Rio, sekali lagi aku bertanya, apa bukti kalau kamu bukan adikku?"
Detak jantung Rio serupa alunan musik malam ketika Indy memejamkan matanya. Dia tidak bisa mencari jawaban dari mata wanita tersebut dan hanya mengandalkan insting belaka. Sementara Indy masih terpejam, Rio menatap kepada kedua tangan mereka yang saling menggenggam. Rio menajamkan pikirannya. Otak kecilnya diperas, tidak boleh salah langkah untuk hal sensitif ini.
Akhirnya, Rio memajukan wajahnya mendekat. Mencium sekilas bibir ranum Indy.
Dan itu adalah jawaban yang benar.
Indy membuka matanya, sementara Rio gugup takut kalau-kalau jawaban darinya salah Indy akan murka padanya. Tetapi yang terjadi adalah; wanita itu tersenyum.
.
.
.
Bersambung.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣