Kaina Syarifah Agatha. Gadis cantik yang cerdas. Mengetahui dirinya dijodohkan dengan pria pujaannya. Sam.
Samhadi Duardja Pratama. Pria yang diidolai Kai, begitu nama panggilan gadis itu. Sejak ia masih berusia sepuluh tahun.
Sayang. Begitu menikah. Berkali-kali gadis itu mendapat penghinaan dari Sam. Tapi, tak membuat gadis itu gentar mengejar cintanya.
Sam mengaku telah menikahi Trisya secara sirri. Walau gadis itu tak percaya sama sekali. Karena Trisya adalah model papan atas. Tidak mungkin memiliki affair dengan laki-laki yang telah beristri.
Kai menangis sejadi-jadinya. Hingga ia terkejut dan mendapati kenyataan, bahwa ia mendapat kesempatan kedua.
Gadis itu kembali pada masa ia baru mengenal Sam selama dua minggu, sebagai pria yang dijodohkan dengannya.
Untuk tidak lagi mengalami hal yang menyakiti dirinya. Gadis itu mulai berubah.
Bagaimana kisahnya? Apakah Kai mampu merubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMPERKENALKAN KAINA
Senin pagi. Semua mestinya sibuk dengan pekerjaan. Kai mengetuk pintu kamar ayahnya.
"Masuk, Nak!" seru sang ayah.
Kai masuk ternyata, Umar baru masuk ke kamar mandi. Gadis itu pun melihat sang ayah belum menyiapkan bajunya. Kai berinisiatif, dengan cekatan ia pun mengambilkan semua keperluan sang ayah.
Kai pun keluar kamar dan menutup pintunya. Gadis itu bergegas ke ruang makan. Di sana, ternyata para asisten rumah tangga sudah sibuk membersihkan rumah. Kai hanya bisa menggeleng.
"Salah satu dari kalian bereskan kamar Bapak, setelah beliau keluar kamar!"
"Tidak perlu Kai. Ayah sudah memberhentikan mereka hari ini. Nenekmu sudah menyiapkan asisten rumah tangga baru untuk kita!" potong Umar cepat.
Semuanya menunduk dengan muka sedih. Kaina pun tak dapat melakukan apa pun. Ini lah yang selalu dia adukan pada Umar. Selama bertahun-tahun Kai memperingatkan mereka akan tugas-tugasnya.
Umar duduk dan memakan sarapannya. Kai juga memakan sarapannya dengan cepat. Hari ini dia harus mempersiapkan ruang meeting jam sepuluh nanti.
"Pak Udin!" panggil Kai.
Pria yang dipanggil tak kunjung datang. Bejo sudah menyiapkan mobil untuk tuannya. Trisya sudah pergi maka Bejo menjadi supir Umar.
"Pak Udin mana?" tanya Kai.
"Katanya tadi sih sakit perut, Non," jawab Bejo tampak cuek, padahal yang bertanya adalah anak majikannya.
"Wah, hebat kamu jawabnya ya, Bejo!" hardik Umar.
Bejo terkejut. Ia pun mulai pasi. Umar melangkah lebar menuju garasi. Ia melihat Udin tengah begitu santai meminum kopinya.
"Bagus sekali kamu ya!" bentak Umar.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk!" Udin tersedak seketika hingga wajahnya memerah.
Ijah istrinya yang baru saja selesai bebenah, langsung memberi air minum untuk suaminya. Udin langsung mengabiskan air minum itu.
"Ayah, aku pakai motor. Ini sudah telat!" teriak Kai sudah mengambil kunci motor yang ia dapat.
"Hei, kau dapat dari mana kunci itu. Ayah sudah menyembunyikannya!" teriak Umar lalu bergegas menuju Kai yang sudah menaiki motornya.
Gadis itu mencengklak dan memutar gas. Bunyi mesin motor memekakkan telinga.
"Turun!" titah Umar.
Kai menuruti perintah ayahnya dengan bibir mengerucut. Umar mengambil helm yang Kai kaitkan di samping jok belakang.
"Ayah ikut kamu. Mereka semua sudah ayah pecat. Nenek sebentar lagi datang membawa semua pembantu dan supir baru," jelas Umar.
Pria berusia empat puluh dua tahun itu pun menaiki motor anak gadisnya. Kai pun naik di belakang jok, memeluk pinggang ayahnya.
Bejo terdiam mendengar dirinya sudah dipecat. Umar menjalankan motor milik putrinya meninggalkan para pekerja yang tak tahu diri itu.
Selang sepuluh menit dua mobil datang memasuki halaman rumah. Satu mobil sedan mewah dan satu mobil minibus. Sosok nyonya besar yang begitu sangat disiplin. Wanita berusia enam puluh dua tahun itu turun dengan anggun.
"Semuanya suruh mereka berkumpul di ruang utama!" titah Febriani Safitri Kusuma.
"Baik, Ibu besar!" sahut Hutomo, asisten sekaligus kepala pelayan rumah utama.
Wanita itu berjalan dengan anggunnya ke ruang tengah. Febri, mengenakan dress selutut warna coklat tua. tas warna senada keluaran branded ternama ia serahkan pada salah satu ajudan wanita bertubuh sintal berpakaian hitam.
Hingga di ruang utama, semua asisten rumah tangga lama dan baru berkumpul. Febri meminta dipisahkan antara yang lama dan yang baru. Hutomo pun melaksanakan perintahnya.
"Coba, Ijah, Wati, Tuti, Bejo dan Udin maju sini!" sebuah suara penuh intimidasi menggema di ruangan itu.
Kelima orang yang dipanggil pun maju dengan wajah tertunduk. Febri duduk di kursi dengan menyilangkan kakinya dengan anggun.
"Saya sudah tekankan dari pengajaran saya dulu, jika kalian harus bertanggung jawab dengan pekerjaan tanpa harus diperintah!"
Kelimanya hanya menunduk tanpa bisa membantah. Kesalahan mereka terlalu fatal, bekerja semena-mena mereka. Putri majikan memanjakan semuanya. Mengabaikan tanggung jawab.
"Sudah, biarin aja Kai ngoceh. Masa kalian mau diperintah sama anak kecil?" begitu sulut Trisya memprovokasi.
"Jangan takut, aku akan membela kalian jika dia mengadu pada Ayah!" begitu janjinya.
Sempat berubah sikap meminta maaf pada Kai. Tetapi, setelah gadis itu berubah total dan tak menggubris pekerjaan mereka lagi. Membuat semuanya pun kembali acuh pada pekerjaan.
"Sehabis ini. Saya akan pulang kan kalian ke rumah masing-masing. Saya tidak butuh pekerja malas seperti kalian!" ujar Febri tegas.
"Naik ke mobil. Saya harap kalian sudah berkemas!" titahnya lagi.
Kelimanya masih bergeming di tempat. Febri menatap para pekerja itu.
"Cepat!" bentaknya lagi.
Kelimanya pun akhirnya membereskan semua pakaian dan peralatan mereka. Butuh satu jam menunggu mereka. Ketika semuanya sudah di letakkan ke bagasi. Mereka pun menaiki mobil. Febri menyuruh sopir memulangkan mereka ke rumah masing-masing. Sopir yang memang sudah tahu di mana kampung halaman mereka pun langsung melaksanakan perintah.
Kini tiga pembantu perempuan, tiga pria. Febri memberi banyak wejangan dan titah. Setelah itu semuanya menuju kamar mereka masing-masing yang ada di belakang. ada enam kamar tidur pembantu di sana.
"Saya akan di kamar. Bereskan semua pekerjaan yang terbengkalai. Bangunkan saya ketika makan siang!" titahnya lagi.
"Baik, Ibu besar!" sahut semua pekerja.
"Tomo, kamu awasi pekerjaan mereka!"
"Baik, Bu besar!"
Febri ke kamar tamu yang ada di lantai bawah. Dari dulu, ia menentang keinginan putranya beristrikan Arin. Bukan masalah statusnya yang seorang ibu tunggal. Tetapi firasat seorang ibu pasti selalu tepat.
"Kaina, Nenek sudah lama tidak bertemu dengan dirimu, sayang. Sejak usia sebelas tahun. Nenek malas ke rumah ini, ksrena memang tidak suka dengan ibu dan kakakmu yang selalu cari muka itu," ujarnya bermonolog.
Wanita itu pun merebahkan tubuhnya di ranjang setelah menyalakan pendingin ruangan.
Sedangkan di tempat lain. Umar yang datang mengendari motor trail sempat membuat semua karyawannya kaget.
Pria itu mengantar putrinya terlebih dahulu k perusahaan Sam, baru menuju perusahaannya. Vicky menyambutnya dengan wajah terpukau. Atasannya begitu gagah menggunakan motor itu.
"Apa jadwal saya hari ini?" tanyanya pada Vicky setelah menyerahkan kunci motor kepada petugas vallet.
”Ada meeting dengan perusahaan milik Tuan Samhadi nanti siang bersama kolega asing dari Rusia," jelas pria yang masih betah melajang itu.
"Baik, apa para wartawan sudah kau hubungi untuk datang ke rumahku?"
"Sudah Tuan."
Keduanya pun berjalan menuju ruangan Umar. Dengan menggunakan lift khusus mereka pun sampai di lantai sepuluh.
Waktu berlalu. Jam menunjukkan pukul 16.22. para awak media pun telah berkumpul. Febri sudah menyiapkan segalanya Umar sudah mengatakan maksudnya.
"Setelah acara Ibu ingin bicara banyak padamu!" begitu pinta Febri ketika ditelepon putranya.
"Selama dua puluh tahun kau mengabaikan Putrimu!"
Febri geleng-geleng kepala. Ia juga merasa bersalah. Dirinya pun ikut andil mengabaikan sang cucu.
"Kai tidak salah apa-apa. Tapi, aku sudah tidak menyukainya semenjak kelahirannya!" runtuknya pada diri penuh sesal.
Umar datang berboncengan dengan putrinya. Para awak media pun langsung mengambil gambar tersebut. Wajah keduanya yang mirip menjadi sorotan.
Tatapan keduanya tajam, aura kepemimpinan pun menguar. Umar tadi baru saja mengetahui kecerdasan putrinya yang menguasai bahasa Rusia. Semakin merasa bersalah karena dulu pernah putus asa karena Kai tak menunjukkan satu prestasi pun.
Umar menggandeng Kai. Febri melotot melihat kendaraan yang putranya pakai untuk menjemput cucunya. Setelah memberi salam dan mencium punggung tangan wanita itu. Mereka pun menghadap mik.
"Saya perkenalkan langsung putri kandung saya. Kaina Syarifah Agatha!"
Semua mata memandang layar televisi yang menampilkan wajah gadis cantik. Banyak kalangan terkejut dengan sosok yang dikenalkan Umar.
Menurut rumor yang beredar. Putri kandung Umar buruk rupa, bodoh dan kasar juga sombong.
Namun, melihat paras cantik dan cerdas dengan balutan baju formal. Banyak menyangsikan rumor tersebut.
Sedang di tempat lain. Trisya mengamuk sejadi-jadinya melihat wajah Kai ada di layar kaca. Seumur hidup, ia tak pernah muncul di media televisi. Pemotretan pun hanya berkisar pada produk yang ia pakai.
Model berkelas dan terkenal itu hanya isapan jempol Trisya. Khayalan lah yang mengakui dirinya seorang model profesional.
"Aku akan membunuhmu Kai!"
bersambung.
Nah loh ...
next?